Bukan
Sekadar Oknum
Dinna Wisnu ; Co-Founder
& Direktur Program Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina
|
KORAN
SINDO, 28 Januari 2015
Dalam beberapa minggu terakhir ini dunia politik kita memanas
akibat timbulnya perseteruan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan
Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Pendapat umum menyimpulkan bahwa
perseteruan ini adalah ulah oknum dan bukan lembaga. Oleh sebab itu dalam
wilayah media sosial, masyarakat mendorong kampanye untuk menyelamatkan tidak
hanya KPK, tetapi juga Polri dalam bentuk #saveKPK dan #savePolri.
Tanpa mengurangi penghargaan atas advokasi yang dilakukan
masyarakat terhadap dua institusi penegak hukum yang sangat kita hormati ini,
konflik antar kedua institusi penegak hukum ini harus menjadi peringatan dini
bagi kita. Bahwa masih ada masalah dalam upaya menguatkan lembaga penegakan
hukum secara keseluruhan dan khususnya upaya pemberantasan korupsi.
Keberadaan KPK yang awalnya sebagai pelengkap dari institusi
penegakan hukum yang sudah ada ternyata telah berkembang menjadi kompetitor
dari institusi lain. Kita perlu mengakui bahwa masalah korupsi sudah menjadi
kanker di dalam lembaga penegakan hukum kita. Korupsi memang terjadi tidak
hanya di Indonesia, tetapi juga di negara-negara lain seperti di Benua
Amerika dan Eropa.
Hal yang membedakannya adalah bahwa korupsi di
negara-negara yang sistem hukumnya sudah mapan dan kuat dilakukan sebagian
besar oleh individu atau kelompok (alias oknum), sementara di negara
berkembang seperti Indonesia, korupsi dilakukan secara melembaga. Berdirinya
KPK dan legitimasi yang diperolehnya dari masyarakat adalah buah dari kinerja
KPK yang baik, tetapi sayangnya secara tidak langsung juga mengurangi
penghargaan atas institusi lain, khususnya kepolisian.
Permasalahannya, apa yang telah dilakukan dengan baik oleh
KPK ternyata tidak otomatis mendorong instansi lain untuk melakukan hal
serupa. Sebaliknya lembaga lain menganggap KPK sebagai ancaman dan
kompetitor. Pertanyaannya kemudian adalah sampai kapan kompetisi ini akan
terus terjadi?
Semakin tingginya tuntutan pertumbuhan ekonomi dan semakin
besarnya arus investasi yang akan masuk ke Indonesia, peluang terjadinya
korupsi baik di pusat maupun daerah juga akan semakin terbuka. Apabila tidak
ada perbaikan dalam institusi penegakan hukum kita, konflik- konflik seperti
ini terbuka untuk terjadi kembali di masa depan.
Apakah kompetisi ini harus berakhir sampai satu institusi
terdominasi oleh institusi lain? Berapa biaya sosial yang akan ditimbulkan
dari konflik-konflik yang terjadi nanti? Pertanyaan ini mungkin perlu dijawab
melalui kajian ilmiah dengan berbagai pendekatan yang komprehensif, terutama
tentang keberadaan institusi kepolisian yang memiliki kewenangan dan wilayah
operasi yang sangat luas dari Sabang sampai Merauke.
Sebagai
sebuah institusi yang telah berdiri bersamaan dengan berdirinya republik ini,
reformasi di dalam tubuh kepolisian tidak hanya dapat mengandalkan atau
mengharapkan polisi yang bersih, tetapi juga perlu membersihkan lingkungan di
dalam tubuh lembaga itu sendiri. Lingkungan yang dimaksud adalah praktik,
kebiasaan, norma, nilai, kepemimpinan, struktur organisasi, atau pengawasan.
Usaha untuk
menciptakan lingkungan yang bersih di dalam sebuah organisasi sangat berbeda
antara satu dengan yang lain. Organisasi seperti lembaga kepolisian tidak
dapat disamakan dengan organisasi lain seperti departemen atau perusahaan.
Organisasi kepolisian adalah sebuah institusi yang memiliki sebuah hierarki
dengan distribusi kekuasaan atau kewenangan yang jelas dan sulit untuk
ditentang (challenged).
Sifat alamiah
organisasi kepolisian yang tidak egaliter membutuhkan sebuah intervensi
pemberantasan korupsi yang khusus. Teori sosial dominasi sebagai contoh
menjelaskan bahwa seseorang yang berdiri di puncak organisasi cenderung
menjadi tidak terlalu peduli dengan praktik korupsi.
Hal ini
terjadi karena ia memiliki perasaan sebagai bagian dari kelompok yang kuat,
dengan kekuatan yang lebih besar dan kecenderungan untuk melakukan
subordinasi pihak lain sesuai dengan sifat dari organisasi yang membutuhkan hierarki
ketat. Intervensi untuk membersihkan organisasi yang memiliki hierarki ketat
seperti ini mempersyaratkan perlunya perbaikan sejak awal, terutama dari
rekrutmen, pendidikan dasar hingga jenjang pendidikan kepemimpinan.
Contohnya, di
tengah masyarakat masih berkembang keyakinan bahwa mendaftarkan diri menjadi
aparat keamanan baik TNI maupun kepolisian membutuhkan uang pelicin agar
dapat diterima di akademi. Secara ekonomis, hal ini menciptakan motivasi bagi
para kadet untuk melakukan korupsi ketika telah bekerja agar dapat
mengembalikan dana yang telah dikeluarkan dan secara moril mereka juga sudah
tidak melihat lembaga penegakan hukum sebagai organisasi yang ideal.
Selain
perbaikan internal, lingkungan eksternal yang terkait dengan penegakan hukum
juga menyumbangkan atau mendorong praktik korupsi. Misalnya, dalam beberapa
kasus, polisi bekerja keras dalam mengembangkan penyelidikan sebuah kasus.
Mereka melakukan pengintaian berhari-hari, menyamar, mengumpulkan bukti-bukti
dan menyusunnya agar sesuai dengan berkas yang diperlukan kejaksaan.
Pada saat
sampai di pengadilan, kasus tersebut kemudian dimentahkan atau bahkan
terdakwanya dapat bebas karena korupsi yang terjadi di antara para hakim.
Kasus-kasus demikian yang secara tidak langsung membuat demoralisasi anggota
kepolisian yang terlibat dalam kasus tersebut. Uraian di atas hanyalah puncak
dari gunung es masalah yang terdapat di dalam lembaga penegakan hukum kita.
Penyelesaian
dari masalah-masalah tersebut perlu dilakukan melalui sebuah rangkaian yang
konstruktif dan sistematis. Kita berharap tidak hanya dapat memiliki pejabat
penegakan hukum yang bersih, tetapi juga lingkungan yang bersih yang
diupayakan secara bertahap. Presiden Joko Widodo sebagai kepala negara perlu
mengupayakan agar kinerja lembaga penegakan hukum dapat kembali menjadi
saling melengkapi ketimbang saling berkompetisi.
Pemerintah
perlu menyiapkan secara lebih detail rencana reformasi penegakan hukum yang
tampaknya lebih sulit ketimbang agenda reformasi birokrasi lainnya. Problem
KPK vs Polri ini ternyata cukup menarik bagi para Indonesianis alias ilmuwan
yang mengamati Indonesia. Yang mereka soroti adalah terobosan kelembagaan dan
kepemimpinan.
Untuk itu,
jangan heran bila tanggapan atas problem KPK vs Polri ini kemudian membuka
peluang kerja sama capacity building
dari negara donor. Pertanyaannya, seberapa serius kita sebagai bagian dari
masyarakat Indonesia bergerak memperbaiki sistem? Atau kita cenderung merasa
tidak berdaya dan menunggu inisiatif dari presiden atau pendonor?
Semoga ulasan
di atas mengingatkan kita akan pentingnya kontribusi kita sebagai warga
negara dalam menjaga suasana lingkungan ”bersih korupsi” dan konsisten
menindak siapa pun yang berniat melakukan atau melanggengkan praktik curang
yang merugikan para pembayar pajak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar