Merawat
Rumah Hukum
Sudjito ; Guru Besar Ilmu Hukum dan Kepala Pusat Studi Pancasila UGM
|
KORAN
SINDO, 07 Januari 2015
Si Mamad,
tukang pijat langganan, sengaja saya panggil ke rumah di penghujung tahun
ini. Sembari memijat, obrolan ringan menghiasi suasana santai. “Mad, apa
harapanmu ke depan di tahun 2015?” Dijawab, “Mengalir saja Pak, seperti air.
Rezeki sudah
ada yang ngatur. Asal mengalir di jalan yang benar, pasti sampai tujuan.
“Lho, tujuannya ke mana? Saya mencoba mengelaborasi lebih dalam. Jawabnya,
“Anak dan istri sehat, tidur nyenyak, tidak punya utang.“ Tersirat dari tutur
kata yang jujur dan polos, nyata benar bahwa falsafah hidup “wong cilik“
cukup sederhana.
Ungkapan,
sikap, dan perilakunya seakan mengingatkan dengan bijak terhadap semua orang
tentang kehidupan yang kini kian serakah, keras, dan ganas. Terlalu banyak
manusia memilih jalan pintas untuk mencapai tujuan, tanpa hirau terhadap
moralitas hukum. Sesungguhnya, menemukan manusia Indonesia yang jujur, polos,
dan tangguh menghadapi dekadensi moral tidaklah sulit.
Mereka ada di
mana-mana, pada setiap rumah tangga. Pasangan suamiistri yang mampu menanam
bibit kesalehan dan memupuknya dengan kasih sayang, rumah tangganya laksana
pohon rindang, buahnya lebat, rasanya manis. Itulah gambaran rumah tangga
idaman. Di sela renungan yang melambung, si Mamad menyela bertanya, “Pak,
kenapa korupsi sulit diberantas? Apa karena hukumannya kurang berat?” Saya
jawab, “Benar.
Salah satu
sebabnya karena hukumannya terlalu ringan. Tetapi sebab yang lebih mendasar
karena bibit korupsi sudah ditanam di dalam keluarga. Anak-istri setiap hari
diberi santapan makanan haram. Jarang diberi santapan rohani. Akibatnya,
korupsi dipandang sebagai tradisi, panggilan zaman. Zaman edan, zaman
kalabendu. Kalau tidak korupsi, khawatir tidak mendapatkan bagian.
Agar korupsi
bisa dicegah, mestinya, negara hukum Indonesia seperti rumahmu itu Mad, rumah
hukum yang setiap hari dirawat dengan kasih sayang “. Ada fenomena, keluarga
sakinah dan bibit anak-anak saleh kini kian menjadi kerdil. Mengapa? Karena
kurang disiram air kesejukan, air kedamaian, air suci perwitasari. Genangan
air comberan, penuh sampah, dan bakteri mengitarinya.
Celotehan,
sikap, dan perilaku elite, setiap saat ditayangkan media, telah memaksa
setiap orang berkubang dalam air comberan. Diprediksi, pada 2045, ketika
kemerdekaan Indonesia berusia 100 tahun, akan terjadi bencana demografi.
Anak-anak saleh, cerdas, dan cendekia akan memilih bekerja di luar negeri
karena muak dengan kondisi negeri sendiri yang koruptif, manipulatif, dan
tidak populis.
Anak-anak dan
keluarga jangan sekali-kali dipersalahkan. Mereka korban keserakahan elite,
korban mismanajemen negara, dan korban korupsi. Sebaik apa pun bibit-bibit
anak bangsa, kalau keliru mendidik, merawat, dan memperlakukannya, anak saleh
bisa menjadi orang jahat, dan anak pendusta menjadi tokoh durhaka.
Pertanyaannya,
bagaimana merawat bibit-bibit bangsa agar tumbuh berkembang menjadi patriot,
pembela negara, atau negarawan? Kuncinya, pada pendidikan. Dalam perspektif
Pancasila, sebenarnya semua komponen bangsa Indonesia memiliki potensi
menjadi patriot bangsa. Potensi itu ada di dalam jiwanya. Potensi itu akan
termanifes menjadi sikap dan perilaku patriotik manakala dibina dan
dikembangkan.
Wahana
pembinaan dan pengembangan terbaik adalah pendidikan. Mengacu pada pendapat
Ki Hadjar Dewantara, pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan
bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect),
dan tubuh anak untuk memajukan kesempurnaan hidup yakni kehidupan dan
penghidupan selaras dengan dunianya. Melalui pendidikan, dapat
ditumbuhkembangkan karakter patriotik. “Character “ dari kata “charasein “
(Yunani dan Latin).
Artinya
mengukir corak yang tetap dan tidak terhapuskan. Karakter menjadi tanda
pembeda yang bersifat tetap antara satu bangsa dan bangsa lain. Dasar
karakter adalah bakat yang melekat pada kodrat biologisnya. Bakat akan
berkembang manakala bersentuhan dengan “ajar” yakni pendidikan yang
berlangsung sejak manusia masih dalam kandungan hingga akil balig.
Betapapun di
dalam setiap jiwa ada karakter individual, namun sebagai bangsa, karakter
yang menonjol pada bangsa Indonesia adalah gotong-royong,
komunalistik-religius. Bung Karno menyebut rakyat Indonesia sebagai rakyat
gotong-royong. Bela negara, merebut kemerdekaan dilakukan secara
gotong-royong, dengan semboyan holopis
kuntul baris. Inilah karakter bangsa, kunci keberhasilan membangun
negara.
Dengan
demikian, pendidikan karakter patriotik perlu dikelola dalam semangat
gotong-royong, terorganisasi, bersifat long
life education, dimulai dengan penanaman nilai-nilai Pancasila oleh
keluarga, masyarakat, dan negara, baik melalui jalur pendidikan nonformal
maupun formal. Seberapa potensial bibitbibit anak bangsa dapat dikembangkan
menjadi negarawan? Ihwal ini dapat dikenali dari jawaban atas pertanyaan,
“bagaimana semestinya kita bernegara hukum?”
Benar bahwa
Indonesia adalah negara hukum, tetapi negara hukum baru merupakan kerangka
besar dan bukan resep standar bersifat mutlak. Segalanya bergantung
manusia-manusia di dalamnya. Satjipto Rahardjo (2009) mengajarkan bahwa
negara hukum Indonesia adalah “a state
with conscience and compassion“, negara yang ingin mewujudkan moral
terkandung di dalamnya dan bukan sekadar negara “by job description“.
Dengan
demikian, semestinya seluruh komponen bangsa, utamanya penyelenggara negara,
memiliki komitmen moral dalam kerangka “affirmative action “ mewujudkan
kebahagiaan seluruh rakyat. Selanjutnya negara hukum perlu dirawat sebagai
rumah hukum yakni tempat berinteraksi, membina kasih sayang atas dasar
nilai-nilai gotong-royong (communitarian
values).
Si Mamad dan
banyak wong cilik, dalam eksistensi dan posisinya masing-masing, telah
berusaha merawat rumah hukum sebaik-baiknya dengan cara menjalankan kebajikan
secara ajek (kontinu). Sebagai tukang pijat, boleh jadi nilai amalannya
kecil. Walau demikian, bila hal serupa dijalankan secara kontinu, amat
besarmanfaatnya bagi terwujudnya rumah hukum yang sehat. Sebaliknya, bila
amalan jahat (maksiat) sekecil apa pun dilakukan secara terusmenerus,
muaranya rumah hukum hancur-berantakan. WallahuWallahualam.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar