Kamis, 08 Januari 2015

Merawat Rumah Hukum

Merawat Rumah Hukum

Sudjito  ;  Guru Besar Ilmu Hukum dan Kepala Pusat Studi Pancasila UGM
KORAN SINDO,  07 Januari 2015

                                                                                                                       


Si Mamad, tukang pijat langganan, sengaja saya panggil ke rumah di penghujung tahun ini. Sembari memijat, obrolan ringan menghiasi suasana santai. “Mad, apa harapanmu ke depan di tahun 2015?” Dijawab, “Mengalir saja Pak, seperti air.

Rezeki sudah ada yang ngatur. Asal mengalir di jalan yang benar, pasti sampai tujuan. “Lho, tujuannya ke mana? Saya mencoba mengelaborasi lebih dalam. Jawabnya, “Anak dan istri sehat, tidur nyenyak, tidak punya utang.“ Tersirat dari tutur kata yang jujur dan polos, nyata benar bahwa falsafah hidup “wong cilik“ cukup sederhana.

Ungkapan, sikap, dan perilakunya seakan mengingatkan dengan bijak terhadap semua orang tentang kehidupan yang kini kian serakah, keras, dan ganas. Terlalu banyak manusia memilih jalan pintas untuk mencapai tujuan, tanpa hirau terhadap moralitas hukum. Sesungguhnya, menemukan manusia Indonesia yang jujur, polos, dan tangguh menghadapi dekadensi moral tidaklah sulit.

Mereka ada di mana-mana, pada setiap rumah tangga. Pasangan suamiistri yang mampu menanam bibit kesalehan dan memupuknya dengan kasih sayang, rumah tangganya laksana pohon rindang, buahnya lebat, rasanya manis. Itulah gambaran rumah tangga idaman. Di sela renungan yang melambung, si Mamad menyela bertanya, “Pak, kenapa korupsi sulit diberantas? Apa karena hukumannya kurang berat?” Saya jawab, “Benar.

Salah satu sebabnya karena hukumannya terlalu ringan. Tetapi sebab yang lebih mendasar karena bibit korupsi sudah ditanam di dalam keluarga. Anak-istri setiap hari diberi santapan makanan haram. Jarang diberi santapan rohani. Akibatnya, korupsi dipandang sebagai tradisi, panggilan zaman. Zaman edan, zaman kalabendu. Kalau tidak korupsi, khawatir tidak mendapatkan bagian.

Agar korupsi bisa dicegah, mestinya, negara hukum Indonesia seperti rumahmu itu Mad, rumah hukum yang setiap hari dirawat dengan kasih sayang “. Ada fenomena, keluarga sakinah dan bibit anak-anak saleh kini kian menjadi kerdil. Mengapa? Karena kurang disiram air kesejukan, air kedamaian, air suci perwitasari. Genangan air comberan, penuh sampah, dan bakteri mengitarinya.

Celotehan, sikap, dan perilaku elite, setiap saat ditayangkan media, telah memaksa setiap orang berkubang dalam air comberan. Diprediksi, pada 2045, ketika kemerdekaan Indonesia berusia 100 tahun, akan terjadi bencana demografi. Anak-anak saleh, cerdas, dan cendekia akan memilih bekerja di luar negeri karena muak dengan kondisi negeri sendiri yang koruptif, manipulatif, dan tidak populis.

Anak-anak dan keluarga jangan sekali-kali dipersalahkan. Mereka korban keserakahan elite, korban mismanajemen negara, dan korban korupsi. Sebaik apa pun bibit-bibit anak bangsa, kalau keliru mendidik, merawat, dan memperlakukannya, anak saleh bisa menjadi orang jahat, dan anak pendusta menjadi tokoh durhaka.

Pertanyaannya, bagaimana merawat bibit-bibit bangsa agar tumbuh berkembang menjadi patriot, pembela negara, atau negarawan? Kuncinya, pada pendidikan. Dalam perspektif Pancasila, sebenarnya semua komponen bangsa Indonesia memiliki potensi menjadi patriot bangsa. Potensi itu ada di dalam jiwanya. Potensi itu akan termanifes menjadi sikap dan perilaku patriotik manakala dibina dan dikembangkan.

Wahana pembinaan dan pengembangan terbaik adalah pendidikan. Mengacu pada pendapat Ki Hadjar Dewantara, pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect), dan tubuh anak untuk memajukan kesempurnaan hidup yakni kehidupan dan penghidupan selaras dengan dunianya. Melalui pendidikan, dapat ditumbuhkembangkan karakter patriotik. “Character “ dari kata “charasein “ (Yunani dan Latin).

Artinya mengukir corak yang tetap dan tidak terhapuskan. Karakter menjadi tanda pembeda yang bersifat tetap antara satu bangsa dan bangsa lain. Dasar karakter adalah bakat yang melekat pada kodrat biologisnya. Bakat akan berkembang manakala bersentuhan dengan “ajar” yakni pendidikan yang berlangsung sejak manusia masih dalam kandungan hingga akil balig.

Betapapun di dalam setiap jiwa ada karakter individual, namun sebagai bangsa, karakter yang menonjol pada bangsa Indonesia adalah gotong-royong, komunalistik-religius. Bung Karno menyebut rakyat Indonesia sebagai rakyat gotong-royong. Bela negara, merebut kemerdekaan dilakukan secara gotong-royong, dengan semboyan holopis kuntul baris. Inilah karakter bangsa, kunci keberhasilan membangun negara.

Dengan demikian, pendidikan karakter patriotik perlu dikelola dalam semangat gotong-royong, terorganisasi, bersifat long life education, dimulai dengan penanaman nilai-nilai Pancasila oleh keluarga, masyarakat, dan negara, baik melalui jalur pendidikan nonformal maupun formal. Seberapa potensial bibitbibit anak bangsa dapat dikembangkan menjadi negarawan? Ihwal ini dapat dikenali dari jawaban atas pertanyaan, “bagaimana semestinya kita bernegara hukum?”

Benar bahwa Indonesia adalah negara hukum, tetapi negara hukum baru merupakan kerangka besar dan bukan resep standar bersifat mutlak. Segalanya bergantung manusia-manusia di dalamnya. Satjipto Rahardjo (2009) mengajarkan bahwa negara hukum Indonesia adalah “a state with conscience and compassion“, negara yang ingin mewujudkan moral terkandung di dalamnya dan bukan sekadar negara “by job description“.

Dengan demikian, semestinya seluruh komponen bangsa, utamanya penyelenggara negara, memiliki komitmen moral dalam kerangka “affirmative action “ mewujudkan kebahagiaan seluruh rakyat. Selanjutnya negara hukum perlu dirawat sebagai rumah hukum yakni tempat berinteraksi, membina kasih sayang atas dasar nilai-nilai gotong-royong (communitarian values).

Si Mamad dan banyak wong cilik, dalam eksistensi dan posisinya masing-masing, telah berusaha merawat rumah hukum sebaik-baiknya dengan cara menjalankan kebajikan secara ajek (kontinu). Sebagai tukang pijat, boleh jadi nilai amalannya kecil. Walau demikian, bila hal serupa dijalankan secara kontinu, amat besarmanfaatnya bagi terwujudnya rumah hukum yang sehat. Sebaliknya, bila amalan jahat (maksiat) sekecil apa pun dilakukan secara terusmenerus, muaranya rumah hukum hancur-berantakan. WallahuWallahualam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar