Menguji
Ketegasan Jokowi
Yasmi Adriansyah ; Kandidat
PhD,
School of Politics and International Relations Australian
National University
|
REPUBLIKA,
26 Januari 2015
Prahara perpolitikan Indonesia terkini dapat
dihipotesiskan bermula dari ketidaktegasan Presiden Jokowi. Bola liar kasus
Budi Gunawan yang kini memasuki fase pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) sudah terbilang mengkhawatirkan. Jika lembaga KPK yang menjadi harapan
terakhir rakyat menjadi tak berkutik, Indonesia akan jatuh ke dalam genggaman
para oligark politik, sebuah kondisi berbahaya bagi negeri.
Pertanyaannya, bagaimanakah solusi politik terbaik agar
hipotesis di atas tidak terjadi? Kuncinya ada di kepemimpinan dan ketegasan
Jokowi, baik selaku presiden maupun pelaku utama perpolitikan elite. Dan
ketegasan ini tengah diuji, khususnya oleh para elite politik maupun rakyat
selaku pemberi amanah.
Krisis dan ketegasan
Cendekiawan sudah kerap mengingatkan, kualitas
sesungguhnya kepemimpinan seseorang terlihat ketika ia menghadapi krisis
(Lussier & Achua 2009). Berangkat dari premis ini, kita dapat menguji
apakah Jokowi termasuk pemimpin tegas atau sebaliknya. Sayangnya, melihat
dinamika terkini perpolitikan Indonesia, penulis berasumsi bahwa Jokowi belum
memiliki ketegasan.
Tentu ada yang akan berpendapat bahwa Jokowi sejatinya
telah menunjukkan ketegasan sejak menjadi presiden. Kebijakan menenggelamkan
kapal-kapal asing pencuri ikan, menghukum mati gembong narkoba, dan bahkan
menghapuskan subsidi BBM adalah beberapa contoh ketegasan Jokowi.
Namun perlu dicatat, kebijakan-kebijakan di atas tidak
dibuat ketika Jokowi menghadapi sebuah krisis. Kebijakan-kebijakan di atas
masih dapat diputuskan dengan didahului sejumlah cara, termasuk riset ilmiah,
dialog politik, atau bahkan konsultasi dengan tokoh-tokoh publik.
Adapun dalam bola liar kasus Budi Gunawan yang bergulir
cepat dan kini bertransformasi pada fase pelemahan KPK, sikap tegas Jokowi
seakan menguap. Anis Hidayah dari Migrant Care bahkan menyindir sikap Jokowi
tidak lebih tegas dari seorang ketua RT. Sarkastis memang, namun Jokowi harus
membuktikan bahwa ia memang layak menjadi presiden rakyat Indonesia.
Ada beberapa asumsi bahwa prahara terkini perpolitikan
Indonesia bermula dari ketidaktegasan Jokowi. Pertama, Jokowi tidak tegas
dalam mencoret nama Budi Gunawan sebagai calon kapolri. Padahal, Jokowi sudah
pernah melihat catatan merah KPK dan PPATK terhadap perwira polisi pemilik
rekening gendut tersebut.
Publik mahfum bahwa pihak yang sangat menginginkan Budi
Gunawan sebagai kapolri adalah Megawati Soekarnoputri dan PDIP. Hal ini
semakin disulut oleh tekanan Partai Nasdem. Tentu wajar jika publik membaca
ada kepentingan politis yang kuat dari dua partai pendukung Jokowi ini.
Namun, publik tidak gentar. Perlawanan terhadap Budi dilakukan dengan
berbagai cara.
Sayangnya, Jokowi tidak tegas atau bahkan minim keberanian
menolak tekanan Megawati cs. Bola semakin liar karena Sidang Paripurna DPR
secara cepat menyetujui Budi Gunawan, padahal dua hari sebelumnya ia baru
dinyatakan KPK sebagai tersangka. Hal ini memang aneh sekaligus lucu, bahwa
DPR sebagai representasi suara rakyat justru hampir secara bulat mendukung
dan bahkan memuji-muji Budi Gunawan. Seorang pengamat menyebutkan, memang
demikianlah kualitas sebagian besar wakil rakyat kita.
Dalam kondisi "lampu kuning" negara, rakyat
sedikit lega ketika Jokowi memutuskan menunda pelantikan Budi Gunawan.
Kekhawatiran akan sebuah prahara dapat diredam. Tentu saja para elite politik
di sekeliling Jokowi tidak langsung menyerah. Mereka selanjutnya secara
brutal menyerang KPK. Para pimpinan KPK diserang secara politik dan
kriminalisasi. Indonesia kini berada dalam situasi "lampu merah".
Ketegasan Jokowi kembali diuji.
Menuntut ketegasan Jokowi
Asumsi kedua ketidaktegasan Jokowi terlihat dari sikap
normatifnya dalam menghadapi perseteruan KPK-Polri (baca: pelemahan KPK), dan
hal ini amat patut disesalkan. Seorang pemimpin memang harus adil. Namun,
sikap adilnya harus dilandasi pada kebenaran dan bukan semata akomodatif
berusaha menyenangkan pihak-pihak berseteru.
Solusi bagi Jokowi sejatinya sangatlah sederhana. Ia hanya
perlu bersikap tegas dengan berpihak kepada suara rakyat. Pertanyaannya,
suara rakyat yang mana? Ini pun mudah dijawab. Logika sederhana menunjukkan
bahwa suara yang menginginkan Budi Gunawan sangat sarat kepentingan politik,
baik tersembunyi maupun kasat mata. Sementara suara rakyat sangat jelas,
mereka menolak Budi karena menginginkan pemberantasan korupsi, sebuah
penyakit kronis bangsa ini.
Jika memihak kepada suara rakyat, sebagian pihak akan
berkilah bahwa Jokowi memerlukan dukungan politik, khususnya dari Megawati
dan parpol koalisi pendukung pemerintahan. Ini pun logis. Namun, sekiranya
sikap dan suara para elite politik sudah jelas-jelas melawan suara rakyat,
pilihan Jokowi hanya satu, yaitu rakyat.
Allah SWT sudah mengajarkan hal ini. Dalam Alquran, Allah
memerintahkan Rasulullah SAW bahwa jika ada pihak yang sesungguhnya tidak
berniat baik dan meminta keputusan, maka berilah putusan di antara mereka
atau berpalinglah dari mereka. Kemudian, jika engkau berpaling dari mereka,
maka mereka tidak akan membahayakanmu sedikit pun (QS 5: 42).
Intinya, Jokowi hanya perlu berpaling dan bersikap tegas
dengan mengatakan "tidak" kepada para elite politik yang memiliki
kepentingan menjerumuskan. Jokowi pun harus yakin bahwa sikap ini tidak akan
membahayakannya karena ada rakyat yang akan selalu mendukung. Ia cukup
meminjam adagium "suara rakyat adalah suara Tuhan".
Sekalipun
misalnya ketegasan Jokowi menolak tekanan akan berisiko ia dipaksa mundur
oleh para oligark politik, hal ini lebih baik daripada berkhianat kepada
rakyat. Karena, sejarah akan mengenang nama baik seorang pemimpin yang
memperjuangkan kemaslahatan umat, bukan sebaliknya. Wallahu a'lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar