Private
Vices Public Virtues
Ahmad Baedowi ; Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 26 Januari 2015
BAGI para politikus dan
pemerintah, langkah penetapan tersangka terha dap calon tunggal Kapolri
Komjen Budi Gunawan (BG) oleh KPK dianggap sebagai masalah etika karena KPK
tidak menghitung sistem ketatanegaraan. KPK dianggap berpolitik karena waktu
penetapan BG seolah kesengajaan yang kasatmata dan seperti tak
mempertimbangkan nilai-nilai keadaban hubungan antarsesama. Akhirnya KPK
tetap dianggap benar karena lebih menetapkan BG sebagai tersangka sebelum
menduduki Kapolri daripada sesudahnya yang pasti akan lebih menyakitkan hati.
Tak pelak, setelah itu muncul
perlawanan yang sengit dari pihak kepolisian dan partai penyokong BG.
Tudingan terhadap Abraham Samad yang bermain politik dan berminat dengan
jabatan wakil presiden hingga penangkapan Bambang Widjojanto oleh Bareskrim
menunjukkan sedang terjadi proses demoralisasi terhadap isu korupsi.Korupsi
sebagai sebuah keburukan memang harus dibuktikan melalui keburukan orang per
orang, barulah kemudian akan muncul kebenaran.Artinya, kebenaran baru tampak
setelah adanya keburukan, kebenaran ialah buah dari orang-orang yang berbuat
keburukan.
Dalam teori psikososial, berlaku
adagium private vices public virtues.
Formula semacam itu meniscayakan sebuah metafora bahwa jika kita ingin
menciptakan sebuah kebaikan, ciptakanlah keburukan. Karena itu, saya tak
pernah terlibat secara emosional terhadap kegaduhan polemik KPK-Polri dan
sebaliknya, karena pada kedua lembaga tersebut saya meyakini ada orang-orang
dengan perilaku jahat yang pada akhirnya akan menyadarkan masyarakat tentang
adanya sebuah kebenaran. Jika dilihat dalam konteks pendidikan, bisa jadi apa
yang saya dan teman-teman alami selama kurang lebih dari 8 tahun, terutama
ketika meyakini ada banyak keburukan dalam mekanisme ujian nasional (UN),
ialah penjelasan normatifnya.
Bagaimana tidak, sebagai sebuah
sekolah yang mengusung nilai-nilai kejujuran, tak sedikit para tokoh politik,
tokoh agama, tak terkecuali birokrasi pendidikan menganggap Sekolah Sukma
Bangsa sebagai sekolah yang mengusung kesombongan.Pernah suatu ketika di
2011, ketika kami memecat siswa yang kedapatan menyontek dalam proses UN dan
manajemen sekolah langsung memecat para siswa, sontak muncul perlawanan hebat
dari seluruh lapisan masyarakat yang mengatakan sekolah kami sok jujur dan
sok bersih. Akan tetapi, ya, itu tadi, karena untuk menunjukkan kebenaran
perlu contoh yang radikal semacam keburukan, kami memandang anakanak yang
menyontek tersebut sesungguhnya sudah membantu kami untuk menunjukkan kepada
masyarakat luas bahwa UN memang harus dilakukan secara jujur dan karenanya
praktik-praktik sebaliknya harus dilawan.
Saya teringat pernyataan almarhum
Nurcholish Madjid (Cak Nur) bahwa di Indonesia untuk jangka waktu yang cukup
lama setelah reformasi, suasana psikologis para penguasa dan politisinya
dalam situasi saling mengunci (grid-lock).
Semua memiliki boroknya sendiri-sendiri dan mereka pada waktunya akan saling
membuka borok masingmasing melalui cara-cara yang tak lazim. Dan Tuhan masih
sayang dengan KPK, karena dengan institusi ini satu per satu orang-orang yang
memiliki luka, sakit hati, ingin selalu berkuasa, mulai ditampakkan
keburukan-keburukannya. Sebuah proses panjang masih harus dilalui oleh
masyarakat Indonesia yang mencintai kejujuran.
Pertanyaannya ialah, apakah
Presiden Jokowi pencinta kejujuran sejati?
Apakah Presiden Jokowi, sebagai
representasi negara, masih bisa kita harapkan memiliki peran penting dalam
membentuk perilaku jujur dan bertanggung jawab dari masyarakat melalui jargon
revolusi mentalnya?
Jika mengikuti logika Plato dalam The Republic (1992), jelas negara sa
ngat dibutuhkan untuk menegakkan moral agar tercipta struktur masyarakat yang
harmonis. Akan tetapi, melihat bagaimana posisi negara dalam menyelesaikan
kekarut-marutan persoalan yang menyangkut KPK-Polri membuat kita pesimistis,
bahkan bisa jadi berbalik menuding negara sebagai sumber terpecahnya
moralitas masyarakat.
Kebajikan
Harapan yang masih tinggal dalam
menegakkan moral masyarakat ke arah yang lebih baik dari sekarang ini jelas
harus datang dan bermula dari proses pendidikan karakter yang benar.
Pendidikan karakter, nilai, etika, dan moral yang sedang mengalami nasib
buruk karena jarang menjadi sumber rujukan perilaku tak bertanggung jawab,
harus didaur ulang melalui beragam kajian pedagogis yang mendalam dan
komprehensif. Muara dari pendidikan agama, moral, dan etika di sekolah harus
menjelma menjadi semacam virtue
(kebajikan) dalam diri seorang anak. Filsafat pendidikan Aristotelian (1995)
dengan jelas mengonfirmasi bahwa `The
most important thing to be learned is virtue or excellence of character, and
the only way that this can be learned is by witnessing exemplary members of
one's community as they enact the virtues'.
Karena itu, tugas kita semua
untuk memastikan bahwa separah apa pun kondisi sosial masyarakat dan negara,
pendidikan harus memiliki cara yang benar dalam mentransfer virtue ke dalam
relung hati anak didik kita.
Virtue tak cukup jelas dalam buku
teks pendidikan moral kita. Jika pendekatan pengajaran kita masih terus
didominasi aspek tahu (know/-ing)
dan melakukan (do/-ing) yang sangat
kognitif, kebajikan (virtue) anak
tak akan mudah untuk tumbuh dan berkembang. Agar virtue dapat tumbuh dan berkembang dalam diri seorang anak, Susan
M Drake dan Rebecca C Burns dalam Meeting
Standards through Integrated Curriculum (2004) memberikan saran tentang
arti penting pencapaian aspek ketiga dari proses belajar-mengajar, yaitu
menuntun agar menjadi (be/-ing). Jika
seorang guru mampu membuat jembatan antara know-do-be melalui serangkaian pembiasaan dan keteladanan,
kebajikan (virtue) akan tumbuh
secara benar.
Saya hanya sedang khawatir meskipun dapat menerima dengan pasrah bahwa keburukan para tokoh penting di negeri ini yang
mulai dipertontonkan di ruang publik akan membuat masyarakat tersadar kebaikan dan kejujuran yang bertanggung jawab tetap
harus diperjuangkan hingga ajal menjemput kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar