Jumat, 30 Januari 2015

Tantangan Pemimpin Arab Saudi

Tantangan Pemimpin Arab Saudi

Chusnan Maghribi  ;  Alumnus Hubungan Internasional FISIP
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY)
SUARA MERDEKA, 29 Januari 2015

                                                                                                                                     
                                                

KERAJAAN Arab Saudi menjalani suksesi penting kepemimpinan menyusul wafatnya Raja Abdullah bin Abdul Aziz pada 23 Januari 2015 dini hari. Sepeninggal Raja Abdullah tahta kerajaan jatuh ke tangan putra mahkota pertama, Pangeran Salman bin Abdul Aziz yang kini berusia 79 tahun.

Setelah ditetapkan menjadi raja baru, Salman langsung menetapkan Pangeran Muqrim (sebelumnya putra mahkota II) sebagai putra mahkota, dan Pangeran Mohammed sebagai wakil putra mahkota. Pangeran Muqrim adalah adik Salman, sedangkan Pangeran Mohammed keponakannya (putra almarhum Pangeran Nayef). Penetapan tersebut mengisyaratkan putra Raja Abdul Aziz Ibnu Abdurrahman Al-Saud (pendiri Kerajaan Saudi pada 23 September 1932) yang berhak naik tahta tinggal Pangeran Muqrim.

Tiga puluh lima putra lainnya yang masih hidup dan semua bergelar pangeran, tak punya kesempatan mewarisi karena berusia lanjut. Raja Abdul Aziz (generasi pertama dinasti Saud) memiliki 44 putra dari 10 istri. Enam putranya (Ibnu Saud, Faisal, Khalid, Fahd, Abdullah, dan Salman) selaku generasi kedua, sudah/sedang menjadi raja. Dua putra lainnya (Pangeran Sultan dan Nayef) wafat tahun 2011 dan 2012.

Dengan demikian Muqrim (70) akan menjadi raja terakhir generasi keduad dinasti Saud. Sesudah itu kepemimpinan Saudi akan bergulir ke generasi ketiga dengan menyiapkan Pangeran Mohammed (putra Nayef) selaku calon raja. Tahta Kerajaan dinasti Saud tidak menganut sistem primogenitiur: dari generasi satu ke generasi lainnya tapi sistem pewarisan dari putra pertama hingga putra termuda.

Dengan suksesi kepemimpinan saat ini, negeri kerajaan berluas wilayah 2.249.690 km2 dan kini berpenduduk sekitar 25 juta jiwa itu, sudah enam kali menjalani suksesi. Suksesi dari Abdul Aziz ke Ibnu Saud tahun 1953, dari Saud ke Faisal 1964, dari Faisal ke Khalid 1975, dari Khalid ke Fadh 1982, dari Fahd ke Abdullah 2005, dan dari Abdullah ke Salman saat ini.

Selama 10 windu lebih eksis di bawah enam raja, Saudi relatif stabil, tidak muncul gejolak politik berarti. Kalaupun terjadi peristiwa politik yang mengarah pada penentangan kekuasaan monarki absolut Dinasti Saud, itu hanyalah riak kecil. Misalnya tahun 1945 percobaan kudeta oleh pilot AU Arab Saudi (Abdullah Munadali) yang mengebom kemah Raja Abdul Aziz di Padang Arafah dekat Makkah namun salah sasaran.

Kemudian, percobaan pembunuhan terhadap Raja Saud oleh sejumlah pilot AU pada pertengahan Juli 1958, upaya kudeta oleh sejumlah perwira militer terhadap Raja Faisal 1969, pembunuhan Raja Faisal oleh sepupunya pada Maret 1975, serta pendudukan Masjidil Haram oleh 250 anggota kelompok militan pada 21 November 1979. Namun, semuanya berhasil diatasi.

Pemilu Pertama

Kesanggupan enam raja menjaga dan mempertahankan stabilitas kekuasaan dinasti Saud tentu menjadi tantangan tersendiri bagi Raja Salman. Sanggupkah ia mengikuti jejak para pendahulunya yang bisa mempertahankan kekuasaan dinasti Saud secara stabil selama 83 tahun? Rasanya tidaklah mudah baginya mengikuti kesanggupan pendahulunya itu.

Pasalnya, realitas politik dalam dan luar negeri Saudi dewasa ini berubah signifikan. Di dalam negeri gaung tuntutan reformasi sosial politik kian nyata. Tuntutan reformasi ini sejatinya sudah muncul sejak 1990-an.

Tahun 1990 kaum perempuan berdemonstrasi terbuka menuntut diberi hak mengemudi mobil. Tahun 1991 petisi yang diteken sejumlah tokoh akademik dan agama dikirimkan kepada Raja Fahd menuntut pembentukan konstitusi, DPR, pengadilan independen, dan persamaan antarwarga negara terlepas dari asal-usul etnis, kelompok, ataupun strata sosialnya.

Tahun 1992 Raja Fahd merespons tuntutan tersebut dengan membentuk Dewan Syura. Namun, oleh organisasi Hak Asasi Manusia: Middle East Watch disebut sebagai ëreformasi kosong karena tidak memberi ruang bagi partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan negara. Malah Dewan Syura menguatkan kekuasaan raja (The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World).

Itu sebabnya Fahd kemudian untuk kali pertama sepanjang sejarah menyelenggarakan pemilu guna memilih sebagian anggota dewan kota praja (DPR) pada 10 Februari 2005. Sebagian kalangan menilai pemilu tersebut (meski tidak melibatkan pemilih perempuan) menjadi titik awal proses panjang reformasi.

Di luar tuntutan reformasi, Raja Salman menghadapi realitas berupa militansi beragama yang melahirkan radikalisme dan terorisme dari rakyat. Lima belas dari 19 pengebom World Trade Center di Amerika Serikat (11/9/01) berkewarganegaraan Arab Saudi. Dalangnya pun, Osama bin Ladin, warga negara Saudi.

Sejalan dengan itu Saudi rentan menjadi sasaran serangan teroris seperti terjadi pada November 1995 dan November 2003. Tantangannya bakal menjadi lebih berat dan makin merepotkan andai virus Arab Spring yang mulai berembus di Tunisia mulai Januari 2011 merembet sampai Saudi. Ketahanan dinasti Al-Saud mendapat ujian teramat berat andai virus Arab Spring menerpa kerajaan yang kini dipimpin Salman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar