Tantangan
Pemimpin Arab Saudi
Chusnan Maghribi ; Alumnus
Hubungan Internasional FISIP
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY)
|
SUARA
MERDEKA, 29 Januari 2015
KERAJAAN Arab Saudi menjalani suksesi penting kepemimpinan
menyusul wafatnya Raja Abdullah bin Abdul Aziz pada 23 Januari 2015 dini
hari. Sepeninggal Raja Abdullah tahta kerajaan jatuh ke tangan putra mahkota
pertama, Pangeran Salman bin Abdul Aziz yang kini berusia 79 tahun.
Setelah ditetapkan menjadi raja baru, Salman langsung
menetapkan Pangeran Muqrim (sebelumnya putra mahkota II) sebagai putra
mahkota, dan Pangeran Mohammed sebagai wakil putra mahkota. Pangeran Muqrim
adalah adik Salman, sedangkan Pangeran Mohammed keponakannya (putra almarhum
Pangeran Nayef). Penetapan tersebut mengisyaratkan putra Raja Abdul Aziz Ibnu
Abdurrahman Al-Saud (pendiri Kerajaan Saudi pada 23 September 1932) yang
berhak naik tahta tinggal Pangeran Muqrim.
Tiga puluh lima putra lainnya yang masih hidup dan semua
bergelar pangeran, tak punya kesempatan mewarisi karena berusia lanjut. Raja
Abdul Aziz (generasi pertama dinasti Saud) memiliki 44 putra dari 10 istri.
Enam putranya (Ibnu Saud, Faisal, Khalid, Fahd, Abdullah, dan Salman) selaku
generasi kedua, sudah/sedang menjadi raja. Dua putra lainnya (Pangeran Sultan
dan Nayef) wafat tahun 2011 dan 2012.
Dengan demikian Muqrim (70) akan menjadi raja terakhir
generasi keduad dinasti Saud. Sesudah itu kepemimpinan Saudi akan bergulir ke
generasi ketiga dengan menyiapkan Pangeran Mohammed (putra Nayef) selaku calon
raja. Tahta Kerajaan dinasti Saud tidak menganut sistem primogenitiur: dari
generasi satu ke generasi lainnya tapi sistem pewarisan dari putra pertama
hingga putra termuda.
Dengan suksesi kepemimpinan saat ini, negeri kerajaan
berluas wilayah 2.249.690 km2 dan kini berpenduduk sekitar 25 juta jiwa itu,
sudah enam kali menjalani suksesi. Suksesi dari Abdul Aziz ke Ibnu Saud tahun
1953, dari Saud ke Faisal 1964, dari Faisal ke Khalid 1975, dari Khalid ke
Fadh 1982, dari Fahd ke Abdullah 2005, dan dari Abdullah ke Salman saat ini.
Selama 10 windu lebih eksis di bawah enam raja, Saudi
relatif stabil, tidak muncul gejolak politik berarti. Kalaupun terjadi
peristiwa politik yang mengarah pada penentangan kekuasaan monarki absolut
Dinasti Saud, itu hanyalah riak kecil. Misalnya tahun 1945 percobaan kudeta
oleh pilot AU Arab Saudi (Abdullah Munadali) yang mengebom kemah Raja Abdul
Aziz di Padang Arafah dekat Makkah namun salah sasaran.
Kemudian, percobaan pembunuhan terhadap Raja Saud oleh
sejumlah pilot AU pada pertengahan Juli 1958, upaya kudeta oleh sejumlah
perwira militer terhadap Raja Faisal 1969, pembunuhan Raja Faisal oleh
sepupunya pada Maret 1975, serta pendudukan Masjidil Haram oleh 250 anggota
kelompok militan pada 21 November 1979. Namun, semuanya berhasil diatasi.
Pemilu Pertama
Kesanggupan enam raja menjaga dan mempertahankan
stabilitas kekuasaan dinasti Saud tentu menjadi tantangan tersendiri bagi
Raja Salman. Sanggupkah ia mengikuti jejak para pendahulunya yang bisa
mempertahankan kekuasaan dinasti Saud secara stabil selama 83 tahun? Rasanya
tidaklah mudah baginya mengikuti kesanggupan pendahulunya itu.
Pasalnya, realitas politik dalam dan luar negeri Saudi
dewasa ini berubah signifikan. Di dalam negeri gaung tuntutan reformasi
sosial politik kian nyata. Tuntutan reformasi ini sejatinya sudah muncul
sejak 1990-an.
Tahun 1990 kaum perempuan berdemonstrasi terbuka menuntut
diberi hak mengemudi mobil. Tahun 1991 petisi yang diteken sejumlah tokoh
akademik dan agama dikirimkan kepada Raja Fahd menuntut pembentukan
konstitusi, DPR, pengadilan independen, dan persamaan antarwarga negara
terlepas dari asal-usul etnis, kelompok, ataupun strata sosialnya.
Tahun 1992 Raja Fahd merespons tuntutan tersebut dengan
membentuk Dewan Syura. Namun, oleh organisasi Hak Asasi Manusia: Middle East
Watch disebut sebagai ëreformasi kosong karena tidak memberi ruang bagi
partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan negara. Malah Dewan Syura
menguatkan kekuasaan raja (The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic
World).
Itu sebabnya Fahd kemudian untuk kali pertama sepanjang
sejarah menyelenggarakan pemilu guna memilih sebagian anggota dewan kota
praja (DPR) pada 10 Februari 2005. Sebagian kalangan menilai pemilu tersebut
(meski tidak melibatkan pemilih perempuan) menjadi titik awal proses panjang
reformasi.
Di luar tuntutan reformasi, Raja Salman menghadapi
realitas berupa militansi beragama yang melahirkan radikalisme dan terorisme
dari rakyat. Lima belas dari 19 pengebom World
Trade Center di Amerika Serikat (11/9/01) berkewarganegaraan Arab Saudi.
Dalangnya pun, Osama bin Ladin, warga negara Saudi.
Sejalan
dengan itu Saudi rentan menjadi sasaran serangan teroris seperti terjadi pada
November 1995 dan November 2003. Tantangannya bakal menjadi lebih berat dan
makin merepotkan andai virus Arab Spring yang mulai berembus di Tunisia mulai
Januari 2011 merembet sampai Saudi. Ketahanan dinasti Al-Saud mendapat ujian
teramat berat andai virus Arab Spring menerpa kerajaan yang kini dipimpin
Salman. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar