Social
Choice, BG, dan BW
Iman Sugema ; Ekonom IPB
|
REPUBLIKA,
26 Januari 2015
Apa hubungan antara ilmu ekonomi dengan peristiwa BG dan
BW yang mengundang keprihatinan dan kekecewaan kita bersama? Ada, yaitu teori
social choice atau pilihan sosial
memberikan prediksi tentang kelakuan para elite yang bisa jadi tidak sesuai
dengan yang diharapkan oleh rakyat jelata seperti kita-kita ini.
Kita telah memilih para wakil rakyat dan presiden/wapres
supaya bisa mengurusi apa yang menjadi hajat kita bersama. Tetapi,
berdasarkan teori social choice, itu semua tidak dijamin sepenuhnya akan
terjadi. Karena itu, di tahun baru ini Anda dan saya harus siap-siap kecewa
dengan para elite.
Tetapi, sebelum saya menerangkan relevansi social choice
dalam menilai perilaku para elite, saya seyogianya memberikan klarifikasi
terlebih dahulu. Yang dimaksud dengan BG bukanlah Budi Gunawan yang telah
lolos fit and proper test sebagai calon kapolri. Yang dimaksud BW juga bukanlah Bambang
Widjojanto yang sekarang dijadikan tersangka kasus sengketa Pilkada. BG dan
BW yang saya maksud adalah betul-betul murni terminologi social choice. Berikut adalah ulasannya.
Dalam teori social
choice, cara pengambilan keputusan di tingkat elite dapat dikategorikan
ke dalam dua jenis, yakni ideologis dan oportunis. Elite yang ideologis akan
mengambil keputusan berdasarkan garis ideologis yang mudah kita lacak,
sedangkan elite yang oportunis akan mengambil keputusan berdasarkan
pertimbangan untung rugi. Keputusan ideologis akan bersifat hitam putih atau
black and white (BW), sedangkan keputusan oportunis akan "banyak
goncengannya" atau BG. Kita bandingkan pola keduanya.
Seseorang yang konsisten dengan ideologinya akan cenderung
memperjuangkan nilai-nilai ideologis, mengambil keputusan berdasarkan benar
dan salah, serta melaksanakan keputusan itu secara konsisten dan konsekuen.
Karena itu, kita akan dengan mudah menebaknya.
Dalam sistem demokrasi yang sudah mapan, perbedaan
ideologis menjadi faktor yang sangat menentukan terhadap program-program yang
dipromosikan oleh partai. Misalkan Partai Republik di Amerika lebih cenderung
mengadopsi kebijakan ekonomi yang sangat liberal dan sebaliknya kebijakan
sosialnya sangat konservatif. Politisi di partai tersebut juga sering kali mengusung
pentingnya mempertahankan nilai-nilai keluarga.
Di lain pihak, pandangan politisi Partai Demokrat di
Amerika cenderung moderat dalam kebijakan ekonomi tetapi lebih liberal dalam
kebijakan sosial. Politisi dari partai ini lebih dominan dalam memperjuangkan
hak-hak individual seperti aborsi dan seksualitas. Walaupun demikian, tidak
jarang terdapat inkonsistensi antara yang dikatakan dengan yang
dilakukan. Tidak jarang, politisi yang
memperjuangkan pentingnya nilai-nilai keluarga justru tertangkap tangan
sedang selingkuh.
Bagaimana di Indonesia? Tentu harap maklum, peranan
ideologi pada saat ini sudah semakin tidak jelas. Cobalah kita perhatikan apa
yang dilakukan oleh para politisi dalam sepuluh tahun terakhir. Sangat sulit
untuk menarik garis tegas, bukan?
Mungkin kategori oportunis atau untung-rugi lebih banyak
bisa menerangkan apa yang dilakukan oleh para politisi di negeri kita. Harap
diingat, untung-rugi tidak hanya menyangkut aspek moneter, tetapi apakah
kebijakan yang diambil akan menguntungkan posisi dirinya dan golongannya atau
tidak. Kalau sudah bicara untung-rugi, maka rakyat harus siap gigit jari.
Pasalnya sederhana saja. Teori ekonomi telah memberikan
gambaran yang cukup jelas bahwa elite bisa saja tidak bertindak atas nama
rakyat yang diwakilinya. Elite memiliki kepentingan yang berbeda dengan
kepentingan rakyat. Jadi, kita sebagai rakyat jelata harus selalu ingat bahwa
cita-cita kita bersama mungkin saja tidak akan pernah bisa diperjuangkan 100
persen. Akan selalu ada deviasi dan anomali dalam kancah politik elite kita.
Dalam situasi seperti ini, agar kita bisa selamat
semuanya, rakyat harus senantiasa bisa mengembangkan sikap kritis terhadap
apa yang terjadi di tingkat elite. Peran dari tokoh pembentuk opini akan
sangat menentukan apa yang akan dilakukan oleh para elite. Tidak hanya itu,
masyarakat luas juga merupakan kekuatan yang selama ini hanya dimanfaatkan
selama kampanye saja. Kalau kekuatan masyarakat yang sama kita gunakan
sebagai penekan untuk arah kebijakan yang "lebih merakyat" maka hal
ini justru akan mampu mendisiplinkan para elite ke arah yang kita inginkan.
Harap diingat
bahwa elite yang oportunis selalu mempertimbangkan untung-rugi, baik dalam
arti moneter, popularitas, maupun hal lainnya. Karena itu, kalau sekiranya
kita kecewa dengan apa yang terjadi di tingkat elite, himpunlah kekuatan
rakyat secara bergotong-royong.
Sekarang ini menyatakan pendapat jauh lebih mudah, melalui media masa
maupun media sosial. Kalau media tersebut bisa kita gunakan untuk kampanye,
mengapa kita tidak mencobanya sebagai wahana untuk mengkritisi para elite?
Mari kita bangun budaya baru. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar