Hukum
Objektif dalam Konflik KPK-Polri
Agust Riewanto ; Pengajar
Fakultas Hukum dan Program Pascasarjana
Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 28 Januari 2015
PUBLIK patut mengapresiasi positif
pernyataan Presiden Jokowi da lam merespons perseteruan KPK-Polri di Istana
Bogor, Jumat (23/1/2015) yang menginginkan penegakan hukum secara objektif,
Polri dan KPK perlu menjalankan hukum sesuai dengan UU yang berlaku dan
berlangsung secara transparan. Pernyataan Presiden Jokowi itu dikeluarkan
sesaat setelah Polri menangkap Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto (BW) yang
diduga melakukan tindak pidana pengerahan saksi palsu dalam pilkada di
Kabupaten Kotawaringin, Kalimantan Tengah, pada 2010.
Makna objektivitas hukum
ait dengan kisruh KPK-Polri itu (Media Indonesia, 26 Januari 2015).
Presiden hendak menempatkan posisi
kepala negara sebagai lembaga netral yang akan menampung aspirasi objektif
dari kelompok masyarakat dalam melihat kasus perseteruan KPK-Polri.
Dalam pertemuan dengan tujuh tokoh
publik itu, Presiden kembali menegaskan sikapnya agar semua lembaga hukum
baik Polri, KPK, kejaksaan, maupun MA untuk dapat menjaga wibawa, tidak
saling mengkriminalkan, bersikap transparan, dan tidak saling mengintervensi;
KPK-Polri harus bekerja sama dalam pemberantasan korupsi; institusi hukum harus
bertindak sesuai UU; dan komitmen Presiden untuk mengawasi dan mengawal
proses hukum di KPK-Polri.
Pernyataan Presiden Jokowi tentang
penegakan hukum objektif itu sesungguhnya bermakna untuk melindungi kedua
institusi, baik KPK maupun Polri, karena kedua institusi itu sama pentingnya
dalam penegakan hukum di Indonesia. Polri tak boleh lumpuh dan hilang wibawa
dalam penegakan hukum karena di tangan Polri hukum dapat berjalan. Demikian
pula KPK tak boleh lemah dan surut kinerja dalam pemberantasan korupsi karena
di tangan KPK yang kuat dan independenlah pemberantasan korupsi akan dapat
berlangsung secara signifikan.
Di titik ini sesungguhnya Presiden
Jokowi tak ingin menempatkan dirinya untuk mengintervensi terlalu jauh dalam
penegakan hukum sebab hukum yang baik hanya akan tunduk pada UU, bukan pada
kebijakan presiden. Itulah sebabnya pernyataan Presiden itu mencerminkan
kehati-hatian Presiden dalam melihat perseteruan di dua institusi itu
(KPK-Polri). Sikap kehati-hatian itu juga menunjukkan secara filosofis bahwa
Presiden sebagai kepala negara tidak boleh subjektif atau bertindak atas nama
kepentingan sendiri, tetapi harus berada dalam posisi objektif, yaitu berada di
tengah-tengah dalam memediasi semua persoalan yang terjadi dalam hubungan
kelembagaan negara. Jika presiden subjektif atau memihak pada salah satu
institusi, akan dapat berakibat merendahkan martabat institusi yang satu,
tetapi juga menurunkan harga diri lembaga yang lain.
Objektivitas hukum yang dimaksud
Presiden Jokowi itu sesungguhnya menyiratkan posisi Polri dalam menangani
kasus yang menimpa Wakil Ketua KPK BW itu harus berdasarkan pada apa yang
seharusnya diperintah UU sesuai dengan KUHP-KUHAP dan UU No 2 Tahun 2009
tentang Kepolisian, bukan atas dasar motif politik tertentu. Begitu pula KPK
dalam menetapkan status tersangka dalam kasus `rekening gendut' terhadap
calon tunggal Kapolri Komjen Budi Gunawan (BG) yang kini ditunda
pelantikannya sebagai Kapolri oleh Presiden diharapkan dapat berlangsung
berdasarkan UU No 20 Tahun 2011 tentang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor)
dan UU No 30 Tahun 2003 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) dan
bukan atas dasar motif kriminalisasi, apalagi berdasarkan pesanan politik
dari pihak-pihak tertentu yang hendak mengganjal karier Komjen BG dan
menghancurkan wibawa institusi Polri.
Langkah hukum objektif
Itulah sebabnya dalam menyudahi
konflik KPK-Polri itu dalam konteks penegakan hukum yang objektif paling tidak
tersedia beberapa pilihan langkah taktis dan strategis:
Antara lain, Presiden Jokowi perlu
segera menerbitkan keppres tentang pemberhentian sementara Wakil Ketua KPK BW
sesuai dengan UU KPK untuk mempertanggungjawabkan kasus yang menimpanya
dengan terlebih dahulu menunggu proses pengunduran diri BW kepada pimpinan
KPK dan oleh pimpinan KPK diteruskan kepada Presiden. Tak perlu ada perintah
pemberhentian penyidikan (SP3) sebab SP3 hanya akan membuat penegakan hukum
tak objektif. Lebih dari itu, sesungguhnya SP3 menurut Pasal 109 KUHP hanya
terjadi dalam tiga hal: bukan kasus pidana, tidak ada bukti cukup, dan demi
hukum. Sementara itu, Polri merasa penetapan tersangka BW telah memenuhi dua
alat bukti yang cukup sesuai dengan KUHAP. Karena itu, beri kesempatan Polri
menuntaskan kasus tersebut untuk menunjukkan Polri serius menangani kasus itu
berdasarkan hukum objektif.
Selain itu, KPK perlu diberi
kesempatan pula untuk menyelesaikan kasus Komjen BG secara serius berdasarkan
UU Tipikor dan UU KPK agar publik secara terang dan terbuka dapat menilai
kebenarannya, bukan atas dasar desakan politik tertentu yang seakan-akan
membawa KPK turut memolitisasi kasus Komjen BG itu. Apalagi hanya atas dasar
dendam politik sang Ketua KPK Abraham Samad yang gagal melobi elite PDIP
untuk menjadi cawapres mendampingi Jokowi dalam Pilpres 2014 lalu, seperti
dinyatakan Plt Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto (Media Indonesia, 22 Januari 2015).
Sambil menunggu kepastian hukum
atas kasus BW dan Komjen BG itu, Presiden masih tetap menunjuk Komjen
Badrodin Haiti sebagai yang mengemban tugas Kapolri dan melindungi KPK untuk
tetap bekerja dalam pemberantasan korupsi, kendati hanya tertinggal tiga
komisioner. Namun, karena asas kerja KPK berdasarkan UU No 20/2003 tentang
KPK ialah kolektif kolegial, Presiden perlu menjamin semua keputusan tiga
komisioner KPK tetap sah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar