Tersandera
oleh Wibawa
Budi Darma ; Sastrawan dan Guru Besar Unesa
|
JAWA
POS, 26 Januari 2015
PRESIDEN Jokowi adalah sosok yang tersandera oleh wibawa
sendiri. Wibawa itu tampak sangat nyata pada saat-saat Pilpres 2014. Kalau
orang mendengar Jokowi akan datang, massa tanpa pemberitahuan resmi
sebelumnya dengan semangat tinggi datang untuk menyaksikan dia. Itulah
pertanda pemimpin sejati: tanpa pengerahan massa, massa akan datang dengan
sendirinya.
Simpati warga terhadap Jokowi menjadi-jadi dan itulah yang
akhirnya mendudukkan Jokowi sebagai presiden ketujuh RI. Pelantikan
Jokowi-Jusuf Kalla pada 20 Oktober 2014 begitu meriah. Itulah tanda kebesaran
wibawa Jokowi.
Pendapat bahwa Jokowi sebetulnya kurang mempunyai
pengalaman politik dan karena itu nanti mempersulit dia sebagai presiden
sudah lama disuarakan berbagai pihak. Bahkan, dalam suatu rekaman video,
terlihat dengan jelas bahwa Jusuf Kalla awalnya sangat khawatir apabila suatu
saat Jokowi terpilih sebagai presiden. Kalau seorang menteri membuat
kesalahan, dengan mudah saat itu juga dia dapat dicopot. Dengan demikian,
dampak kelemahan menteri tersebut tidak akan berlarut-larut. Tetapi, kalau
yang membuat kesalahan adalah presiden, kata Jusuf Kalla dalam video
tersebut, perbaikan harus menunggu lima tahun, yakni ketika masa jabatan
presiden berakhir.
Dalam menghadapi proses pilpres pada waktu itu, tampaknya
ada pertanyaan terpendam di hati publik. Yaitu, mengapa Jokowi bersedia
dijadikan capres dan mengapa pula Jusuf Kalla mau dijadikan cawapres
mendampingi Jokowi yang awalnya dianggap berisiko. Pertanyaan yang terpendam
di hati publik itu, tampaknya, mengerucut menjadi sebuah hipotesis: Jokowi
bersedia karena dia tahu dan dapat diyakinkan, kalau dia tidak maju, mungkin
negara ini akan jatuh ke tangan lain yang oleh sebagian anggota masyarakat
waktu itu dianggap ’’bermasalah’’. Karena itu, Jokowi harus ’’pasang badan’’.
Idem dito Jusuf Kalla. Karena itulah, Jusuf Kalla juga bersedia ’’pasang
badan’’ agar, kalau ada apa-apa, bisa menetralkan keresahan untuk menciptakan
stabilitas.
Kenyataan bahwa Jokowi melesat bagaikan meteor dalam
Pilpres 2014, tampaknya, juga menimbulkan pertanyaan terpendam di hati
publik: siapakah kiranya yang membuat Jokowi melesat bagaikan meteor? Jokowi
sendiri dengan wibawanya, atau karena partai pendukungnya? Tampaknya, inilah
jawaban di hati publik: Jokowi menang karena wibawa sendiri dan justru partai
pendukungnya diuntungkan oleh wibawa Jokowi.
Kenyataan bahwa kurangnya pengalaman Jokowi akan
mempersulit dirinya mulai tampak ketika dia merencanakan struktur kabinet.
Jokowi berpegang teguh bahwa kabinet harus benar-benar ramping. Tetapi, Jusuf
Kalla tidak setuju karena praktik di lapangan pasti akan berbeda. Struktur
kabinet sekarang tidak lain merupakan kompromi antara idealisme Jokowi dan
pragmatisme Jusuf Kalla, serta desakan berbagai pihak lain.
Ketika akan melantik menteri-menterinya, Jokowi
berkonsultasi dengan KPK dan PPATK untuk meyakinkan bahwa para menteri yang
akan diangkat itu benar-benar bersih. Publik dengan sendirinya sangat
menghargai kebijakan Jokowi. Tetapi, tidak lama kemudian kekecewaan publik
muncul karena Jokowi tanpa berkonsultasi dengan KPK dan PPATK tiba-tiba
mengangkat H M. Prasetyo menjadi jaksa agung. Sementara itu, H M. Praseto
masih tercatat sebagai anggota DPR dari Partai Nasdem, partai pendukung
Jokowi.
Kekecewaan publik semakin besar ketika Jokowi mengajukan
Komjen Pol Budi Gunawan sebagai satu-satunya calon Kapolri. Tampaknya, Jokowi
benar-benar menginginkan pengangkatan Budi Gunawan dapat dilaksanakan
secepat-cepatnya. Padahal, Kapolri waktu itu Jenderal Pol Sutarman pensiun
lebih kurang sepuluh bulan lagi. Kekecewaan publik sangat menonjol karena
sebetulnya, sewaktu akan diajukan sebagai calon menteri, Budi Gunawan
mendapat rapor merah dari PPATK dan KPK.
Publik kecewa, jangan-jangan hanya karena menuruti pesanan
partai pendukungnya, Jokowi ingin mengangkat Budi Gunawan dengan mengorbankan
komitmennya untuk memberantas korupsi. Publik juga bertanya-tanya mengapa DPR
yang seharusnya mewakili suara rakyat tiba-tiba berubah menjadi sarana
kepentingan partai, bukan rakyat.
Karena Jokowi telanjur tersandera oleh wibawa sendiri,
penyelesaian masalah Budi Gunawan justru menimbulkan masalah-masalah baru
yang sangat berbahaya. Yaitu, keretakan hubungan KPK -Polri. Ketua KPK
Abraham Samad dikabarkan berpeluk-pelukan dengan ratu kecantikan, lalu
disusul adanya kabar kabur bahwa Abraham Samad sangat kecewa karena tidak
jadi diangkat oleh partai pendukung Jokowi sebagai cawapres mendampingi Jokowi.
Yang mengusulkan agar Abraham Samad tidak menjadi cawapres, menurut kabar
kabur itu, tidak lain adalah Budi Gunwan yang waktu pilpres bergabung dengan
partai pendukung Jokowi. Padahal, waktu itu Budi Gunawan adalah polisi yang
seharusnya netral.
Masalah Abraham Samad segera disusul oleh peristiwa lain
yang membuat publik miris. Yaitu, penangkapan Bambang Widjojanto, wakil ketua
KPK, oleh Bareskrim Polri dengan cara-cara yang, menurut media, tidak wajar.
Penangkapan tersebut justru menimbulkan simpati publik terhadap KPK semakin
kuat dan kekecewaan publik terhadap Jokowi merosot.
Kalau toh tuduhan Bareskrim terhadap Bambang Widjojanto
benar, publik telanjur sangat bersimpati terhadap KPK. Sebetulnya publik
sangat mengharapkan Jokowi bisa bertindak bijaksana, yaitu berpihak kepada
suara rakyat. Tapi, tampaknya, Jokowi sudah terlalu jauh terperangkap oleh
wibawa sendiri. Pidato lima menitnya mengenai penyelesaian kasus KPK-Polri
dianggap mengambang, tanpa makna, dan justru memperkuat kedudukan Jokowi
sebagai agen untuk memperlemah KPK.
Tuduhan itu menjadi lebih kuat karena, konon, ternyata
Jaksa Agung H M. Prasetyo membuat satgas antikorupsi yang oleh publik
dicurigai sebagai tandingan KPK. Satgas tersebut mempunyai kewenangan yang
mirip dimiliki KPK, yaitu menangani kasus korupsi di atas satu miliar rupiah.
Jokowi
tersandera oleh wibawa sendiri mungkin karena dia tidak punya pengalaman
politik, mungkin juga karena di internal partai pendukungnya dia tidak
mempunyai kedudukan strategis. Dengan sendirinya, publik tetap mengharapkan
Jokowi bisa memanfaatkan wibawanya, bukan justru sebaliknya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar