Wacana
Simbolis Polri-KPK
Erlangga Masdiana ; Kriminolog,
Mantan Ketua Program Pascasarjana Kriminologi FISIP UI
|
REPUBLIKA,
29 Januari 2015
Sebenarnya, gonjang-ganjing
penetapan tersangka antara Budi Gunawan (BG) oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) dan Bambang Widjojanto (BW) oleh Polri bukan konflik dua
institusi. Namun, konsekuensi perlawanan
terhadap raja yang "harus dilawan" kaki tangannya.
Presiden Joko Widodo menetapkan BG, calon kapolri, bukan
tanpa argumentasi kuat. Penetapan BG, terlepas dari kedekatan BG dengan
Megawati Soekarnoputri dan men-"support" pemenangan Jokowi-JK,
merupakan hasil penilaian Presiden terhadap track record BG dalam profesi kepolisian, sebelum kenaikan
kariernya dipersoalkan beberapa pihak. Namun, kariernya tetap tidak bisa
dibendung. Padahal, kenaikan pangkat BG masih masa pemerintahan Susilo
Bambang Yudhoyono.
Penetapan BW sebagai tersangka KPK terhadap
BG dalam paradigma interaksionisme
simbolis menyimbolkan beberapa hal. Pertama, KPK ingin menunjukkan gigi (power) di hadapan publik meski harus
berhadapan dengan Presiden. Karena, Presiden Jokowi menyatakan bahwa
"Ini hak prerogratifnya". Padahal, dalam penetapan menteri-menteri,
Jokowi sebelumnya meminta pertimbangan KPK. Abraham Samad begitu bersemangat
pernah menyatakan, "Yang stabilo
merah dan kuning sama-sama akan jadi tersangka. Merah paling lama satu tahun,
kuning paling lama dua tahun."
Kedua, KPK mengesankan bahwa Presiden tidak mau mendengar
lagi berbagai pertimbangannya. Seolah-olah Presiden telah meninggalkan KPK. Ketiga, simbol koruptor sudah dilekatkan kepada BG
tanpa ada proses penyidikan terlebih dahulu. Penetapan tersangka KPK
kepada BG sama saja dengan "menampar" bahwa Presiden tidak
kompeten, tanpa ada suatu pembahasan secara simultan terlebih dahulu
dibicarakan antara KPK dan lembaga kepresidenan. Bagaimanapun, Jokowi adalah
orang Jawa. Apalagi, ia seorang presiden yang dipermalukan di muka publik.
Keempat, mungkin KPK merasa diuntungkan di tataran
persepsi publik pada masa lalu. Berbagai kasus penanganan dan ekspose korupsi
mencitrakan positif KPK. Ada kesan KPK sebagai superbody, tidak bisa disentuh siapa pun. Karena, penetapan BG (sebagai tersangka?) secara tiba-tiba beriringan dengan keputusan
Presiden mengusulkan BG ke DPR.
Pada tataran persepsi, Polri sangat tidak diuntungkan
karena Polri adalah lembaga besar dan setiap negara pasti ada lembaga
kepolisian. Berbeda dengan KPK adalah lembaga atau unit kecil dalam penegakan
hukum sehingga mudah mengontrol pergerakan dan perilaku aparatnya. Polisi
ibarat kapal besar yang sudah tua, tapi harus beroperasi terus. Kapal tua itu
tidak mungkin di-dock (berhenti
sejenak untuk proses rehabilitasi). Di negara modern manapun kesalahan aparat
kepolisian pasti ada karena berhubungan dengan banyaknya wewenang dan
pelayanan publik.
Untuk itu, Polri seyogianya pandai memainkan peran dapat
membangun persepsi publik sebagai lembaga yang mengedepankan budaya antikorupsi,
meskipun pada tataran persepsi yang terbangun KPK
masih ada kontroversi. Belum terbangun penegakan hukum secara radics (mengakar). Sebagaimana yang
disampaikan Yusril Ihza Mahendra saat menjadi menkumham bahwa pendirian KPK
untuk menelusuri kejahatan korupsi yang besar. Kasus BLBI yang dijanjikan KPK
hingga kini masih berupa janji.
Bahasa simbolis yang disampaikan Jokowi mestinya
ditangkap KPK. Dalam pertemuan dengan Ketua KPK dan Wakapolri, Jokowi
mengatakan, "Sebagai kepala negara
saya meminta kepada institusi Polri dan KPK memastikan bahwa proses hukum
yang ada harus objektif dan sesuai dengan aturan UU yang ada agar tidak ada
gesekan antara institusi Polri dan KPK saat menjalankan tugas
masing-masing."
Untuk kasus BG, Polri pasti akan berusaha keras melakukan
langkah strategis, tapi langkah tersebut harus soft dan taktis. Karena ada
dua hal yang harus "diamankan", pertama, pengamanan kebijakan
presiden dan menjaga kewibawaannya; kedua, mengembalikan persepsi positif
publik terhadap Polri dan menjaga soliditas internalnya.
Kebijakan untuk menetapkan Badrodin Haiti sudah bagus. Hemat saya, BG akhirnya harus ditetapkan sebagai
kapolri karena sudah ada legitimasi dari DPR.
Presiden harus bermain dengan waktu (buying
time) dan isu-isu penting lain, terutama menyangkut bangunan citra
terhadap Polri dan Presiden.
Sebagian kalangan menyoroti kelemahan KPK selama ini.
Antara lain, pertama, KPK cenderung mengejar
kejahatan korupsi yang kecil-kecil, meski kita tidak boleh mengecilkan
kasus-kasus korupsi yang sudah menyebar. KPK kalau hanya menangani
kasus-kasus kecil, pasti kejahatan korupsi tidak bisa diberantas. Sebenarnya,
KPK ingin menyuguhkan shock therapy
bagi koruptor karena koruptor besar susah dikejar. Namun, shock therapy untuk kasus BG ternyata
berbuntut panjang.
Kedua, ada kesan KPK menetapkan tersangka karena ada
desakan politik. Misalnya, kasus penetapan Anas Urbaningrum, Andi
Mallarangeng, tapi untuk kasus-kasus lain harus menunggu lama.
KPK dikenal "canggih" menetapkan tersangka.
Kalau memiliki dua alat bukti tanpa bisa dibantah, misalnya tertangkap tangan
dan ada dokumen. KPK bermain dengan waktu, kenapa tidak ditetapkan sejak
dini, kenapa tidak memberi peringatan kepada Presiden SBY (atau kapolri lama)
saat kariernya menanjak dan ditetapkan sebagai kepala Lemdikpol. Kenapa baru
sekarang?
KPK juga dipimpin manusia. Manusia pasti ada
kesalahan. Manusia bukan malaikat yang tidak punya nafsu (politik, kekuasaan,
uang, dan sosial).
Abraham Samad pernah diperkarakan oleh beberapa pihak dan Komisi Etik terkait
dokumen sprindik (surat perintah penyidikan) Anas Urbaningrum, tapi lolos
jerat pelengseran dari pimpinan KPK.
Hasto Kristiyanto, plt sekjen PDIP, mempersoalkan etika
pimpinan kepada Abraham Samad terkait berbagai pertemuan dan komunikasi
keinginannya untuk menjadi cawapresnya Jokowi, tapi BG justru mengusulkan JK.
Jika benar, Abraham Samad lagi-lagi terjebak etika KPK (dalam Pasal 36 UU KPK
yang melarang melakukan pertemuan dan memberikan iming-iming kepada pihak
tertentu). Ini sebenarnya fitnah dan pencemaran
nama baik. Abraham Samad dapat melaporkan Hasto ke polisi agar kesan
pelanggaran etik tidak ada.
Kita harus
mendukung pencegahan dan pemberantasan korupsi. Korupsi sudah menjalar di
masyarakat. Namun, para penegak hukum harus dapat memastikan dirinya bersih
dari berbagai kepentingan yang dapat merugikan negara dan masyarakat. Wallahu a’lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar