Seratus
Hari yang Mengecewakan
Asrudin ; Peneliti
di Lingkaran Survei Indonesia Group
|
JAWA
POS, 28 Januari 2015
PADA 28 Januari 2015, pemerintahan Presiden Joko
Widodo-Jusuf Kalla genap berusia 100 hari. Selama itu pula, rakyat Indonesia menaruh
harapan besar kepada Jokowi untuk bisa melakukan perubahan yang lebih baik
bagi bangsa ini.
Mungkin karena harapan yang besar dari rakyatlah Jokowi
sempat dijadikan cover majalah Time edisi Oktober 2014. Dalam cover itu,
majalah terbitan Amerika tersebut menuliskan headline: A New Hope dengan
huruf kapital.
Apalagi jika kita mengingat kembali pidato pelantikan
Jokowi di gedung MPR/DPR, Senayan, Jakarta, Senin 20 Oktober 2014, harapan
itu, tampaknya, akan terwujud. Dalam penutup pidato pelantikan presiden yang
berjudul ’’Di Bawah Kehendak Rakyat dan Konstitusi’’, Jokowi dengan tegas
mengatakan, ’’Sebagai nakhoda yang dipercaya oleh rakyat, saya mengajak semua
warga bangsa untuk naik ke atas kapal Republik Indonesia dan berlayar bersama
menuju Indonesia Raya. Kita akan kembangkan layar yang kuat. Kita akan hadapi
semua badai dan gelombang samudra dengan kekuatan kita sendiri. Saya akan
berdiri di bawah kehendak rakyat dan konstitusi.’’
Tapi, apa yang terjadi? Belum 100 hari pemerintahannya
berjalan, Jokowi justru membuat sejumlah janji yang diingkari sendiri.
Bahkan, baru-baru ini, Jokowi dinilai mengecewakan publik dalam menyikapi
persoalan tentang penolakan publik atas pencalonan Komisaris Jenderal Budi
Gunawan (BG) sebagai Kapolri dan penangkapan Wakil Ketua KPK Bambang
Widjojanto (BW) oleh Bareskrim Polri.
Rapor Jokowi
Sebagaimana dicatat The New York Times pada 17 Januari
2015, sosok Jokowi saat ini mulai kehilangan kilaunya. Dalam artikel yang
ditulis koresponden The New York Times yang berjudul For Indonesians,
President’s Political Outsider Status Loses Its Luster, Joe Cochrane mendata
sejumlah kebijakan dan keputusan Jokowi yang dinilai merusak citra sendiri.
Memang, ketika terpilih, Jokowi segera saja menjadi apa
yang disebut Cochrane sebagai political outsider. Artinya, Jokowi telah
memegang jabatan penting dan dianggap mampu mengubah sistem yang sudah ada,
mengubah hal yang tidak bisa diubah, serta memberikan harapan yang cerah bagi
rakyat.
Namun, sebagaimana Cochrane mencatat lebih lanjut dengan
cerdas, satu-satunya yang bisa ditebak dalam dunia politik di Indonesia
adalah ketidakpastian itu sendiri. Kini Jokowi justru lebih banyak memberikan
sejumlah kekecewaan bagi para pendukungnya.
Belum genap 100 hari memimpin pemerintahan, dia sudah
membuat empat inkonsistensi sekaligus. Pertama, saat Jokowi memutuskan untuk
menaikkan harga BBM. Padahal, pada masa kampanye pilpres, dia telah berjanji
di depan anggota IPOI (Ikatan Persaudaraan Ojek Indonesia) pada 16 Juni 2014
di Jalan Borobudur 18, Jakarta Pusat, untuk tidak menghapus subsidi BBM.
Kedua, ketika Jokowi mengumumkan kebinetnya. Sebelum
mengumumkan kabinet, dia berjanji untuk tidak berkompromi dan tidak
transaksional dalam menyusun kabinet. Namun, Jokowi malah menyusun kabinet
yang penuh dengan transaksi serta kompromi.
Terdapat beberapa nama menteri yang di luar ekspektasi
publik dan merupakan titipan petinggi parpol koalisi pendukung Jokowi.
Misalnya, Puan Maharani (menteri koordinator bidang pembangunan manusia),
Ryamizard Ryacudu (menteri pertahanan), Rini Soemarno (menteri badan usaha
milik negara), serta Tedjo Edhy Purdijatno (menteri koordinator bidang
politik, hukum, dan keamanan).
Ketiga, saat Jokowi memutuskan memilih jaksa agung dari
Partai Nasdem, M. Prasetyo. Padahal, sebelumnya Sekretaris Kabinet Andi
Widjajanto menegaskan bahwa Jokowi tidak akan memilih jaksa agung dari kader
partai. Dalam pernyataannya, Rabu 29 Oktober 2014, Andi memastikan Jokowi
akan menunjuk jaksa agung dari kalangan profesional internal atau dari eksternal
Kejaksaan Agung.
Keempat, yang juga sangat menyakitkan hati publik,
penunjukan Komjen Budi Gunawan (BG) sebagai calon tunggal Kapolri pada 9
Januari lalu. Penunjukan BG itu dinilai telah mengkhianati rakyat sekaligus
konstitusi karena BG telah ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK.
Setelah penetapan tersangka itu, Jokowi justru tidak menganulir pencalonan
BG, malah dibiarkan menggantung. Akibatnya, persoalan tersebut sempat meluas
dengan ditangkapnya BW oleh Bareskrim Polri yang dinilai banyak pihak sebagai
aksi balas dendam Polri terhadap KPK.
Jadilah Pemimpin
Sangat jelas terlihat, rapor Jokowi lebih banyak merah
daripada birunya. Meski dia sudah melakukan sesuatu yang sangat disukai
publik –misalnya, kebijakan ofensif untuk menyelamatkan kekayaan laut
Indonesia melalui Menteri Kelautan Susi Pudjiastuti; program tiga kartu sakti
(kartu Indonesia sehat, kartu Indonesia pintar, dan kartu keluarga
sejahtera); kebijakan penurunan harga BBM; dan rencana membangun 13 bendungan
baru pada 2015 untuk mengejar swasembada pangan, hal itu tidak bisa menutupi
empat kesalahan politiknya tersebut. Hal tersebut terlihat dari besarnya
ekspresi kekecewaan publik yang tergambar di laman media sosial Facebook dan
Twitter.
Meski ada yang membela dengan menyatakan bahwa rapor merah
itu timbul karena Jokowi tersandera pemain politik berpengaruh lainnya
seperti Megawati, Surya Paloh, dan Jusuf Kalla, hal tersebut tetap tidak bisa
dijadikan alasan pembenar. Menjadi seorang pemimpin memang tidak mudah. Dia
harus siap membela kepentingan rakyat dan konstitusi, bukan kepentingan elite
politik partai pendukungnya.
Karena itu, 100 hari pertama ini harus dijadikan pelajaran
oleh Jokowi untuk bisa memperbaiki kesalahan agar ke depan Indonesia menjadi
lebih baik dan kepercayaan publik kembali tumbuh.
Caranya
sangat mudah, tunjukkan saja kepada publik bahwa Jokowi merupakan strong
leader yang bisa menyelaraskan janji dengan realisasi serta bisa
menyelaraskan kata dengan perbuatan. Itu saja kata kunci yang dibutuhkan
publik dari seorang Jokowi. Jika itu berhasil dilakukan, revolusi mental
sebagaimana yang diusung Jokowi sejak masa kampanye Pemilu Presiden 2014 akan
menjadi sebuah gerakan nasional. Semoga!
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar