Kepolisian
: Dialektika Politik-Kedaulatan
E Winarto ; Purnawirawan
Polri
|
KOMPAS,
28 Januari 2015
PERSOALAN peletakan posisi kepolisian dalam konstelasi
sistem kenegaraan yang mengalami tarik ulur semenjak kemerdekaan kini
menghangat kembali.
Departement van Binnenlands
Bestuur (Departemen
Dalam Negeri) dan perdana menteri pernah menaungi jawatan kepolisian. Di era
Sjahrir, kepolisian menjadi lembaga mandiri. Tarik ulur itu berpusat pada
peran strategis dan fungsi kepolisian yang dibutuhkan elite negara sekaligus
dibutuhkan khalayak. Pendek kata, borjuasi sampai proletar membutuhkan polisi
dalam sistem sosial.
Negara sebagai penjelmaan tertinggi kekuatan organisasi
sosial menjadi arena politik kepen- tingan kelompok sosial yang bermain di
dalamnya, yang secara tak langsung menempatkan kepolisian sebagai komoditas
kapital politik. Kelompok sosial itu dapat bernama aparatur negara—yang salah
satu bagiannya adalah kepolisian—memainkan peran sebagai penyelenggara,
guardian, dan kelompok sosial itu dapat pula bernama ”sistem masyarakat” yang
berisi individu berdaulat (masyarakat berdaulat). Dua kelompok ini
berdialektika mendenyutkan jantung pemerintahan, penyelenggaraan fungsi
negara, dan pembangun hubungan rakyat-negara.
Manakala kepolisian di dalam naungan Depdagri yang
digawangi sistem kepartaian, parpol dapat menyusupkan kepentingannya terhadap
kepolisian, padahal kepolisian berdiri di tengah dialektika kepentingan
jutaan orang yang fungsi pengaturan kepentingan itu diregulasi negara dengan
kepolisian sebagai pengatur penegak regulasi.
Aransemen Depdagri atau kementerian lain dengan lembaga
kepolisian tidak dapat dijamin berlangsung nirkepentingan karena adanya
fungsi dan tujuan politik dari pemerintahan itu sendiri. Meskipun kementerian
adalah badan eksekutif di bawah presiden, toh, pos-pos kementerian merupakan
ruang politik, di mana partai yang berasal dari masyarakat diberi kesempatan
menjalankan roda pemerintahan. Istilah ”diberi kesempatan” sejatinya
peyoratif dari konsensus politik antara pemegang dominasi politik (presiden)
dan partai pendukung atau lawan partai.
Relasi subordinatif
Tidaklah bisa dikatakan bahwa lembaga kepolisian dan
kementerian dapat berelasi dalam posisi politik yang subordinatif. Mengapa
tidak dapat? Ada beragam argumen makropolitik.
Pertama, peran regulator atas segala macam arus
kepentingan skala makro yang digawangi kepolisian. Fungsi, tugas, dan peran
kepolisian di negeri ini amatlah luas, dari material sampai spiritual, dari
urusan ilmiah sampai urusan tidak ilmiah. Keluasan fungsi ini terlalu besar
jika dile- takkan pada hubungan subordi- natif dalam afiliasi kelompok
politik tertentu dan tidaklah dapat digantungkan pada konsensus politik.
Bukankah kementerian tak lain pos politik yang menjalankan peran pemerintahan?
Meski tak jarang kebijakan kepolisian mengandung logika
politik penguasa, setiap tanggung jawab yang dipikul kepolisian bukanlah
ranah politik, melainkan ranah di mana individu yang berdaulat itu dapat
menegakkan kedaulatannya. Dalam bahasa hukum nan utopis dikenal formulasi
bahwa polisi harus mengantarkan para pencari keadilan mendapatkan keadilan.
Jika proses pencarian keadilan harus berkompromi dengan logika politik, lalu
di manakah individu yang memiliki kedaulatan
dapat mengetuk pintu keadilan lalu bernaung di dalamnya?
Kedua, Undang-Undang Kepolisian memformulasi apa itu
polisi, akan ke mana, apa, dan bagaimana. UU ini kontingensi dari formula
kepolisian sebelumnya yang disempurnakan di sana-sini, dilepas dari ABRI,
ditambah formula baru: penjaga demokrasi. Itulah sebabnya polisi dikembalikan
ke pangkuan sipil yang melahirkannya dahulu.
Dalam alegori sepak bola, wasit tidak boleh ikut
menendang, menggiring bola satu kali pun. Wasit hanya diizinkan menyentuh
bola dalam masa transisi. Soal bunyi-bunyian peluit yang berbeda-beda dari
wasit merupakan strategi wasit bertahan dalam mikropolitik pertandingan,
tetapi tetaplah wasit tidak ikut kontestasi memenangi pertandingan, apalagi
menjadi pemenang liga. Apakah mungkin sepak bola berlangsung indah jika wasit
berasal dari salah satu pelatih dari dua kesebelasan?
Ketiga, sistem aparatur negara di alam demokrasi tidak
lain bentuk arena makropolitik, sedangkan kepala negara jadi arranger proses
demokrasi dengan tujuan utama memberi aktualitas kedaulatan individual
(kemerdekaan personal) dan kedaulatan kolektif (berdaulat sebagai bangsa)
melalui kebijakan-kebijakannya. Peran ini diberikan rakyat secara langsung
(bukan dalam arti pemilihan langsung) melalui mekanisme yang disepakati
merelakan otoritas pengaturan kedaulatan kepada presiden selaku kepala
negara.
MPR dan DPR merupakan arena di mana sistem masyarakat
berkomunikasi, mengatur sistem aparatur negara. Kemudian, majelis dan dewan
ini membangun konsensus kepada presiden selaku kepala pemerintahan untuk
meneruskan kehendak rakyat. Pun presiden membangun konsensus dengan majelis
dan dewan atas apa-apa yang sudah diotoritaskan rakyat kepadanya. Dalam
potret relasi tersebut, sistem aparatur negara yang lain, seperti kementerian
dan kepolisian, tidak mengalami ”persentuhan dengan rakyat”. Artinya,
lembaga-lembaga itu dibuat dalam sistem pemerintahan dan dalam sistem
kenegaraan. Hanya melalui tangan presidenlah, kepolisian dengan rakyat
bersentuhan secara tidak langsung.
Persentuhan rakyat-polisi
Akhirnya, sampailah pada pertanyaan ultimat: manakah yang
lebih penting, naungan organisatoris atau sikap profesionalitas kepolisian?
Sejarah memberi pelajaran bahwa fungsi dan peranan kepolisian menyebabkan
kepolisian diperebutkan di setiap periode politik. Penggabungan polisi ke
angkatan bersenjata juga langkah politik Soekarno yang dilanjutkan Soeharto.
Mengembalikan ke pangkuan sipil pun langkah politik menghadirkan si polisi
demokrasi yang dibutuhkan masyarakat yang mulai memahami kedaulatan
individualnya. Jadi, fungsi dan peran inilah yang perlu diperhatikan lebih
saksama. Tak banyak solusi yang dapat ditawarkan atas problematika ini.
Pertama, menakar kembali profesionalitas kepolisian,
sertifikatisasi keahlian pemolisian perlu
dilakukan, mendulang profesionalisme melalui mekanisme internal,
perubahan kultur, cara pikir anggota kepolisian yang harus menyadari,
membatinkan di pikirannya bahwa kepolisian adalah bagian aparatur negara yang
berdialektika dengan masyarakat berdaulat, dan bukan dalam hubungan yang underestimate (polisi penegak hukum,
rakyat pelanggar hukum). Hubungan dialektika ini dapat dikembangkan dalam
format-format operasional yang lebih konkret, tetapi diperlukan kemauan
politik di semua level organisasi.
Kedua, pola dialektika masyarakat berdaulat dengan
aparatur negara—terutama kepolisian— mesti disusun lebih konstruktif. Agar
proses persentuhan tidak langsung, antara rakyat dan kepolisian dapat
didekatkan dengan menguatkan fungsi Kompolnas atau organisasi sejenis yang
menampung komunikasi antara masyarakat berdaulat dan kepolisian secara
langsung.
Kompolnas telah memiliki pijakan yuridis, tinggal
dilakukan penggubahan dengan konsep dialektika masyarakat berdaulat- aparatur
negara. Misalnya, wewenang kompolnas diperluas, diperjelas agar tak menjadi
justi- fikator penguat legitimasi politik dari kepolisian. Kompolnas perlu
dijadikan sebagai ruang rakyat yang melahirkan polisi, ruang ini memberi
sentuhan kerakyatannya atas si penjaga demokrasi.
Ketika
dialektika presiden yang mengemban kedaulatan si rakyat dapat berkomunikasi
dengan rakyat melalui ruang bernama DPR-MPR, hampir serupa itu pula ruang
Kompolnas menjadi rumah bersama antara kepolisian dan masyarakat berdaulat.
Dalam format di atas, fungsi kepolisian yang sudah terbukti mengawal NKRI
hingga kini tetap utuh. Sistem polisi nasional dalam NKRI semakin kuat,
terkontrol guna melaksanakan tugas di bidang pemeliharaan kamtibmas,
penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar