Negeri
yang Tedjo
Putu Setia ; Pengarang;
Wartawan Senior Tempo
|
KORAN
TEMPO, 28 Januari 2015
Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Tedjo Edhy
Purdijatno telah berjasa menambah kosakata baru. Kini beredar luas kata
tersebut: "tedjo", sinonim dari "tak jelas".
Begini riwayatnya. Tedjo Edhy menyebut pendukung KPK
sebagai rakyat yang tidak jelas. "Konstitusi yang akan mendukung KPK,
bukan dukungan rakyat yang tak jelas itu," kata dia. Kecaman ini lekas
mental ke dirinya, sehingga dimulailah olok-olok panjang: "tedjo"
disamakan dengan "tak jelas".
Mari maafkan Pak Menteri yang sangat minim jam terbang
dalam dunia politik ini. Beliau
mungkin tak begitu banyak bergaul dengan kalangan aktivis. Orang-orang
yang mendukung KPK bukan saja jelas ketokohannya, tapi juga jelas pengikut
dan pengaruhnya di masyarakat. Mereka tak mau KPK dilemahkan secara
sistematis. Bahkan, dalam bahasa Jimly Asshiddiqie, KPK bukan lagi
dilemahkan, melainkan mau dibubarkan. Dari empat pemimpin KPK yang ada saat
ini, sudah tiga orang yang
dipermasalahkan, yakni Abraham Samad, Bambang Widjojanto, dan Adnan Pandu
Praja. "Pelemahan terlalu ringan. Ini upaya pembubaran," kata
Jimly.
Presiden Joko Widodo sudah dua kali menanggapi kemelut
KPK-Polisi ini. Pertama, di Istana Bogor setelah Bambang Widjojanto
ditangkap. Penegasan presiden: gunakan jalur hukum. Yang kedua, di Istana
Merdeka, Ahad malam, setelah meminta masukan pakar hukum dan para tokoh,
presiden menegaskan: jangan ada kriminalisasi.
Penegasan presiden sama sekali tedjo (baca: tak jelas).
Sangat normatif dan tak menawarkan jalan keluar. Sudah pasti polisi berdalih:
ini didasari laporan masyarakat. Tapi kenapa kasus yang sudah lama ini
mendadak muncul gara-gara laporan Sugianto Sabran, anggota DPR dari PDIP?
Tentu PDIP bermain. Mengapa tiba-tiba pelaksana tugas
Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, membuka adanya pertemuan Abraham Samad dengan
petinggi partai soal calon wakil presiden? Kalau pun pertemuan itu ada, di
mana salahnya? Kalau pun juga ada yang salah, kenapa baru dibuka sekarang?
Artinya, Hasto menyimpan kesalahan itu berlama-lama. Semua ini tak masuk akal
kalau disebut sebagai "sebuah kebetulan" dan bukan upaya pelemahan
KPK.
Pangkal kemelut KPK-Polisi ini sudah jelas gara-gara calon
Kepala Polri, Budi Gunawan, yang ditunda pelantikannya oleh presiden. Lihat
saja kengototan PDIP yang mendorong agar Budi Gunawan dilantik meski
berstatus tersangka dari KPK. Andaikata Jokowi mau menarik pencalonan itu
saat Budi dijadikan tersangka, tak akan meledak kisruh besar ini. Sayang,
Jokowi dikelilingi menteri-menteri politik dan hukum dari partai pendukung,
bukan dari kalangan profesional.
Situasi sekarang membuat negeri ini tedjo. Jokowi menjadi
seorang pekerja kalau situasi politik tenang. Kalau suasana politik gonjang-ganjing,
ia tak punya pengalaman sebagai politikus. Ia juga tanpa power. Celakanya,
semua menteri dalam bidang politik berasal dari partai. Bahkan, dari sembilan
anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), tujuh orang berasal dari
partai pendukung. Bagaimana mungkin Jokowi meminta pertimbangan dari orang
partai yang sudah ngotot membela Budi Gunawan? Karena menteri dan Wantimpres
tak berguna, Jokowi terpaksa mencari nasihat dari tokoh-tokoh luar.
Jika Jokowi
mau tetap didukung rakyat, ia harus memilih: tunduk pada partai atau kehendak
rakyat. Sebagai presiden, seharusnya Jokowi tak boleh hanya mendapat
"jabatan", ia harus mendapat "kekuasaan". Jokowi adalah
"presiden rakyat", bukan "petugas partai". ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar