Dramartugi
Politik Madu Tiga
Idil Akbar ; Staf
Pengajar FISIP UNPAD; Peneliti di Nusantara Institute
|
KORAN
SINDO, 30 Januari 2015
Siapa pun warga negara berharap agar lembaga hukum negara
akur-akur saja. Bekerja secara benar dalam kewenangan menuntaskan persoalan
hukum secara adil dan tidak memihak.
Lembaga-lembaga hukum tersebut tidak perlu berpolitik
karena mereka memang bukan lembaga politik. Sedapat mungkin pula mereka tidak
perlu terlibat arus kuasa politik, meski kondisi seperti itu masih bersifat
utopia di Indonesia. Konflik KPK-Polri mengingatkan kita pada peristiwa
perselisihan antara Susno Duadji yang pada masa itu masih menjabat Bareskrim
Polri dengan KPK yang kemudian dikenal istilah “cicak versus buaya”.
Hanya sedikit berbeda pada masa itu, kali ini konflik yang
terjadi nampak bereskalasi dan beraroma dendam. Peristiwa ini tak murni
berupa konflik hukum antar kedua kelembagaan tersebut, tetapi juga ada
gesekan arus kepentingan partai politik di dalamnya. Karenanya, konflik kali
ini dinilai lebih rumit dari sebelumnya.
Sebetulnya tak berlebihan jika kasus konflik KPK-Polri ini
sudah sarat dengan nuansa politisasi hukum yang menjerat pemimpin di kedua
lembaga tersebut, yang kemudian entah bagaimana menyeret pula pada
institusional conflict of interest.
Politisasi inilah yang kemudian menghasilkan complexity values yang mendistorsi penilaian publik terhadap KPK
dan Polri.
Maka, pengabaian terhadap kondisi ini sama saja
menciptakan bom waktu bagi kehidupan sosial politik dan keamanan Indonesia.
Harapan besar publik sebetulnya ingin Presiden secara tegas menengahi konflik
tersebut. Tetapi, ketika Presiden berujar tak ingin mengintervensi persoalan
yang terjadi, seperti ada yang salah dalam bagaimana Presiden semestinya
memosisikan diri.
Sebagai kepala negara, fungsinya menengahi konflik ini
akan berkontribusi terhadap upaya politik menjaga kondusivitas kelembagaan
KPK dan Polri. Karena itu, ini bukan persoalan mengintervensi penanganan dan
penyelesaian hukum yang dilakukan oleh masing- masing lembaga, tetapi
bagaimana Presiden mampu menjembatani penyelesaian konflik yang terjadi di
antara keduanya.
Dalam kelembagaan eksekutif, Jokowi bisa memerintahkan
Polri agar bisa menahan diri untuk tidak terlalu reaktif dan impulsif. Namun
di sisi lain, Jokowi juga harus bisa meminta KPK untuk melakukan hal yang
sama dan menjelaskan ke publik bahwa kasus ini bersifat individual, bukan
kelembagaan KPK maupun Polri.
Sehingga sebetulnya, tidak ada upaya pelemahan bagi kedua
lembaga tersebut. Karena itu, rekonsiliasi merupakan jalan terbaik agar
publik juga tidak merasa bahwa Jokowi sedang bermain-main dengan usaha
memberantas korupsi di Indonesia.
Jaga KPK dan Polri
Menjaga KPK dan Polri hukumnya fardhu ‘ain sebab keduanya sama-sama berkontribusi terhadap
penegakan hukum di Indonesia. Menjaga Polri dan juga KPK berarti sama-sama
menjaga marwah hukum Indonesia yang bermartabat dan berdaulat. Dari sisi
fungsi, kewenangan dan tanggung jawab, keduanya memang berbeda. Tetapi, jika
menelisik pada relasi kebutuhan akan penegakan hukum yang sebenarnya, harapan
publik pada kedua lembaga ini sama.
Karena itu, langkah paling penting saat ini adalah
menyelamatkan Polri dan KPK dari perangkap kepentingan politik yang
menariknya pada egosentrisme kelembagaan. Dramaturgi politik madu tiga antara
Presiden, KPK dan Polri harus disudahi. Tetapi, penyudahan ini tetap
berlandaskan pada mekanisme dan aturan hukum. Artinya, setiap yang
dipersangkakan bersalah tetap harus diproses secara hukum.
Bagaimana Caranya?
Menyudahi perseteruan KPK-Polri kali ini haruslah
menyentuh persoalan atau penyebabnya. Karenanya, Presiden perlu mengambil
langkah taktis dan integratif agar persoalan bisa segera teratasi,
syukur-syukur tak terulang kembali. Pertama, meninjau kembali pengangkatan BG
sebagai Kapolri, memperjelas kasus hukum yang disangkakan kepadanya dan jika
diperlukan mengajukan kembali calon lain yang relatif lebih bersih dan tidak
menimbulkan polemik di mata publik.
Sebaliknya, meminta KPK melakukan tindakan yang sama
terhadap pemimpin yang sudah menyandang status tersangka, memperjelas kasus
hukumnya. Dan jika tak terbukti, maka harus dikembalikan lagi nama baiknya
masing-masing. Presiden bisa langsung atau menunjuk orang-orang yang
independen untuk mengawasi prosesnya.
Kedua, merekonstruksi kepemimpinan di tubuh Polri dengan
tetap berlandasan pada peraturan perundang-undangan yang ada. Presiden harus
mampu mengambil langkah strategis agar di masa mendatang Polri betul-betul
mampu bekerja secara profesional dan proporsional. Hal itu harus dimulai dari
pimpinannya dan berlangsung paralel hingga tingkat yang lebih rendah.
Ketiga, melakukan rekonsiliasi terhadap kedua lembaga
dengan diawali melakukan pertemuan antar kedua lembaga dan diakhiri dengan
menyepakati kesepakatan-kesepakatan penting rekonsiliasi. Rekonsiliasi ini
penting untuk mencegah peristiwa seperti ini terulang kembali di masa depan.
Rekonsiliasi perlu dibangun partisipatif agar kedua lembaga bisa kembali
menjalin kerja sama, saling mengisi dan memberi masukan, bukan saling
sandera.
Keempat, tak kalah pentingnya adalah Presiden harus mampu
keluar dari dilema kekuasaan berupa balas jasa dan tekanan politik. Presiden
harus mampu bersikap tegas dan independen. Toh, kewenangan menentukan arah
pemerintahan berada di tangannya. Jokowi adalah seorang Presiden bukan
petugas partai. Karenanya, harapan rakyat adalah dirinya bertindak sebagai
layaknya seorang Presiden yang menaungi segenap rakyat Indonesia, bukan
tunduk pada tekanan dan kepentingan politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar