Revolusi
Mental Jokowi!
Mohammad Nasih ; Pengajar
di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ, Guru Utama di Rumah
Perkaderan Monash Institute
|
KORAN
SINDO, 27 Januari 2015
Arena politik hampir tidak pernah sepi dari tarik menarik
kepentingan. Sebab, politik memang merupakan medan untuk mentransformasikan
kepentingan, baik yang bersifat ideologis maupun nonideologis.
Pihak yang paling kuat dalam mendesakkan kepentingannya akan
memiliki pengaruh paling besar dalam menjadikan kekuasaan sebagai sarana
untuk mentransformasikan dan merealisasikan ideide atau kepentingannya.
Apalagi, jika yang dianut adalah sistem multipartai. Tarikan kepentingan bisa
datang dari berbagai penjuru dengan motif yang bisa sangat beragam.
Ketika kepentingan-kepentingan itu telah bercampur baur,
sering kali kemudian menyebabkan rakyat kebingungan dan tidak mampu lagi
menilai apa yang sesungguhnya tengah terjadi. Terlebih jika dimasukkan unsur
rekayasa tingkat tinggi kalangan elite politik dan dibantu oleh media massa
yang kehilangan objektivitas dalam menyajikan informasi, maka pihak yang
sesungguhnya benar bisa tampak salah, yang baik menjadi tampak buruk.
Sebaliknya, yang salah malah kelihatan tidak salah, dan
yang buruk bisa jadi tampak baik. Untuk mencegah konflik politik berlanjut
sampai pada taraf yang merugikan atau bahkan membahayakan kepentingan negara,
keterlibatan pemimpin tertinggi negara sangat diperlukan. Untuk itu,
konstitusi memberikan kewenangan yang besar kepada presiden sebagai kepala
negara.
Karena itu, kecerdasan dan ketegasan presiden sangat
diperlukan. Kecerdasan diperlukan untuk melihat secara jeli dan tepat tentang
apa yang sesungguhnya sedang terjadi dan apa saja implikasi yang bisa terjadi
dari sebuah kasus yang terjadi.
Sedangkan keberanian diperlukan untuk menentukan sikap
secara tegas untuk memberikan keberpihakan kepada kebenaran, bebas dari
intervensi pihak lain, yang tidak sesuai dengan kebenaran yang merupakan
prasyarat dalam mewujudkan kebaikan bersama dalam negara.
Menjelang pilpres lalu Jokowi melontarkan jargon “Revolusi
Mental” yang dianggap cukup monumental. Sebab, kenyataan memang menunjukkan
bahwa Indonesia mengalami masalah yang sangat akut disebabkan oleh mentalitas
negatif sebagian warga negaranya, baik yang menjadi rakyat jelata maupun yang
menempati posisi-posisi strategis sebagai pemimpin di level masing-masing.
Karena itu, revolusi mental berlaku bukan hanya pada
rakyat kebanyakan, tetapi sesungguhnya, yang bahkan lebih penting, adalah
bagi para pemimpin. Sebab, dalam konteks Indonesia dengan masyarakat
berkultur feodal, pemimpin sangat berpengaruh kepada cara berpikir, bersikap,
dan berperilaku masyarakat luas.
Jika para
pemimpin memiliki mentalitas positif, rakyat akan mengikuti mentalitas
positif tersebut. Sama dengan jika mentalitas yang mereka saksikan dan
rasakan adalah mentalitas negatif. Indonesia sudah sekian lama berada dalam
kondisi tidak berdaya dalam tata pergaulan dunia.
Sebagai negara
besar, Indonesia tidak disegani, bahkan sering dilecehkan. Jika dirunut
dengan baik, pangkal penyebabnya adalah mentalitas korup di kalangan pejabat
dan rendah diri di kalangan rakyat. Karena itu, jargon Jokowi tersebut
disambut dengan sangat hangat oleh sebagian pemilih yang melihatnya sebagai
jalan keluar dari keterpurukan.
Mereka
berpandangan bahwa Indonesia memerlukan pemimpin yang berani mengatakan tidak
kepada korupsi, termasuk kepada pihak-pihak asing yang sering kali menawarkan
imbalan besar agar pejabat negara menjual kekayaan negara atau membuat
kebijakan yang menguntungkan mereka walaupun merugikan negara sendiri.
Jokowi
diharapkan menjadi pemimpin dengan keberanian tinggi itu. Harapan besar
itulah yang menyebabkannya– walaupun berasal dari daerah kecil di Jawa
Tengah, tidak memiliki kekuasaan signifikan di dalam partai, dan belum
menunjukkan keberhasilan yang signifikan dalam memimpin Jakarta–dipilih
menjadi presiden.
Namun,
setelah menjadi presiden, Jokowi mengalami banyak kesulitan dalam memenuhi
janji-janji besar yang pernah dilontarkan pada saat kampanye. Bahkan, kian
hari gaya kepemimpinannya semakin menunjukkan bahwa dia disandera dan
dikendalikan oleh tidak hanya Megawati, tetapi juga pihak-pihak lain yang
berasal dari parpol mitra koalisi.
Bukan koalisi
yang menjadi oposisi di DPR yang mengganggunya, tetapi justru koalisi
pendukungnya sendiri. Karena gangguan itulah Jokowi tidak mampu membuktikan
berbagai janji yang diucapkan dan menjadi daya tariknya. Janji akan melantik
kabinetnya paling lambat hanya dua hari ternyata melampaui batas hari yang
dijanjikan itu.
Janji akan
membuat kabinet ramping, kenyataannya kabinetnya hanya beda-beda tipis dengan
postur kabinet sebelumnya. Janji akan mengangkat orang-orang yang
profesional, ternyata beberapa figur dalam kabinetnya diberi jabatan lebih
karena posisinya dalam partai, bukan karena rekam jejak yang meyakinkan
sebelumnya untuk menjalankan amanat sebagai menteri dengan tanggung jawab
yang sangat besar.
Penyanderaan
terhadap Jokowi kembali tampak dengan sangat jelas pada kejadian kisruh
antara Polri dan KPK. Jokowi tidak mampu menolak keinginan “irasional” dari
Ketua Umum PDI Perjuangan untuk menjadikan Budi Gunawan sebagai kepala Polri.
Tampaknya
karena ingin bermain aman dengan memanfaatkan kekuatan lain untuk
menggagalkan Budi Gunawan dari posisi yang diplot oleh Megawati, maka
kejadiannya justru menjadi semakin mengkhawatirkan. Dua lembaga negara yang
sama bertugas menegakkan hukum itu malah saling serang dan menyebabkan
sebagian masyarakat terbelah dalam memberikan dukungan.
Dalam keadaan
yang sudah genting itu Jokowi ternyata hanya memberikan pernyataan sikap yang
sangat normatif. Lalu mengangkat orang-orang yang dianggap kredibel untuk
menyelesaikan masalah. Padahal, akar masalahnya sangat jelas, yakni
kengototan untuk mengajukan orang dengan status tersangka.
Dalam posisi
sebagai pemegang kekuasaan tertinggi negara, yang memiliki hak prerogatif
untuk mengangkat dan memberhentikan kepala Polri, Jokowi tetap saja bersikap
normatif dengan sekedar menyerukan agar pimpinan kedua lembaga penegak hukum
tersebut melakukan langkah-langkah secara objektif.
Ini
menunjukkan bahwa Jokowi berada pada posisi tidak berdaya menghadapi pesanan
yang datang dari pihak lain. Padahal, seorang presiden memiliki kewajiban
untuk hanya tunduk kepada konstitusi. Jika presiden bisa diintervensi oleh
pihak-pihak lain untuk mengorbankan kepentingan negara, tentu akan sangat
berbahaya.
Karena itu,
Jokowi harus kembali mengingat jargon politiknya sendiri pada saat menghadapi
kampanye. Revolusi mental itu harus diterapkan kepada dirinya sendiri, dengan
cara mengubah sikap untuk hanya tunduk kepada konstitusi negara, bukan
menuruti keinginan pihak-pihak tertentu, termasuk ketua umum partainya
sendiri, atau partai lain yang memberikan dukungan signifikan– apabila itu
merugikan kepentingan negara.
Apalagi saat
kampanye dulu Jokowi menyatakan bahwa koalisi mereka adalah koalisi tanpa
syarat. Jika Jokowi tidak merevolusi dirinya, kekhawatiran yang pernah
disampaikan JK pada saat menjelang pilpres lalu bisa terbukti. Tentu saja
sangat merugikan rakyat Indonesia. Tentu, kita semua tidak berharap itu
terjadi. Wallahu alam bi al-shawab.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar