Kartel
Politik dan Posisi Jokowi
Aditya Perdana ; Dosen
Ilmu politik FISIP UI;
Kandidat doktor dari University of Hamburg, Jerman
|
KORAN
SINDO, 30 Januari 2015
Komisaris Jenderal (Komjen) Pol Budi Gunawan resmi
dicalonkan sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia oleh Presiden Joko
Widodo (Jokowi) dan mendapatkan dukungan penuh dari DPR RI pada tanggal 15
Januari 2015.
Meski pada saat yang bersamaan KPK sudah menyatakan Komjen
Pol Budi sebagai tersangka dalam kasus gratifikasi, parlemen terus
melanjutkan proses pencalonan Kapolri dengan melakukan fit and proper test
dan menyetujui pencalonan tersebut dalam sidang paripurna. Berbagai peristiwa
pun berkait kelindan setelahnya.
PDI-P sebagai partai pendukung Jokowi mempertanyakan etika
politik Ketua KPK Abraham Samad dalam pencalonan wapres pendamping Jokowi
beberapa bulan lalu. Lalu tanggal 23 Januari 2015 publik dikagetkan dengan
penangkapan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto oleh penyidik Polri karena
terkait dengan sidang pilkada dalam Mahkamah Konstitusi beberapa tahun lalu,
meski kemudian dibebaskansehari berikutnya.
Media massa serta merta memberi judulpertarungan“
KPK-Polri” terulang kembali dengan episode yang jauh lebih menarik. Yang
menjadi pertanyaan besar adalah bagaimana posisi Presiden Jokowi dalam
menyelesaikan political turmoil
ini.
Di tengah rumor yang begitu dahsyat terkait lemahnya
posisi Jokowi dalam memutuskan perkara pencalonan ini, masyarakat tengah
menanti keberpihakan Presiden Jokowi dalam penyelesaian konflik tersebut.
Dalam konteks itu, kita akan coba jelaskan fenomena tersebut dalam kerangka
sebuah jebakan bagi pemerintahan Jokowi yang dipersiapkan oleh kartel partai
politik dan kelompok antikorupsi lainnya. Jebakan ini membuat Jokowi dalam
posisi sulit dalam memutuskan segera dalam pencalonan tersebut.
Kartel Partai Politik
Tema kartel partai politik adalahsebuahdiskursuspenting
dalam referensi partai politik di dunia di pertengahan dekade 1990-an.
Dikenalkan oleh Richard Katz dan Peter Mair pada 1995 dalam edisi pertama
jurnal Party Politics, kedua
ilmuwan politik ini beranggapan bahwa telah terjadi pergeseran orientasi
perjuangan partai politik dari catch-all
party menjadi cartel party.
Dalam tipologi catch-all
party, partai merasa harus melakukan banyak perubahan kebijakan yang
efektif untuk merebut suara pemilih dari mana pun. Untuk mencapai tujuan
tersebut, tipe partai ini berkompetisi secara bebas untuk meraih berbagai sumberdaya
yang beragam dalam masyarakat.
Sedangkan, tipologi cartel
party lebih menekankan aspek profesionalitas dari politisi dalam upaya
memenangkan partainya dengan berbagai cara apapun. Di samping itu, partai
dalam tipe ini memandang penting akses dan sumber daya di pemerintahan
sebagai orientasi kekuasaannya. Oleh karenanya, setiap partai politik
menganggap bahwa berada dalam lingkaran kekuasaan negara adalah sebuah
keharusan, meskipun dukungan pemilih terhadap partai tersebut rendah.
Negara, dalam hal ini berbagai instansi dan lembaga
pemerintahan, dianggap mampu menyediakan limpahan sumber daya bagi
keberlanjutan hidup partai politik. Adalah Dan Slater (2004) dan Kuskhrido
Ambardi (2008) yang menggunakan tesis kartel partai politik sebagai pisau analisis
dalam melihat partai di Indonesia. Dan Slater mengobservasi berbagai
peristiwa politik dalam masa transisi pemerintahan antara 1999-2002, di mana
pergantian pemerintahan (Habibie, Gus Dur, dan Megawati) adalah sebuah
jebakan dari mekanisme akuntabilitas yang baru digunakan oleh elite politik.
Dalam kurun waktu tersebut, elite politik telah melakukan
berbagai manuver dan memaksimalkan jejaring politik informal dalam merespons
berbagai tindakan politik seperti impeachment terhadap Gus Dur. Sementara,
Ambardi menegaskan dalam observasinya di DPR bahwa tidak ada koalisi partai
politik yang memiliki orientasi ideologi yang jelas.
Ikatan di antara partai politik yang berbasiskan agama,
misalkan, sangat lemah dan temporal dalam melihat “Poros Tengah” pada tahun
1999 dan 2001. Sementara, koalisi besar dari Pemerintahan SBY pun mempertegas
asumsi Katz dan Mair yang menyatakan bahwa partai memilih untuk dekat dengan
negara ketimbang menjadi oposisi.
Jebakan
Berangkat dari pemahaman tentang kartel partai politik dan
potret awal yang sudah dilakukan oleh Slater dan Ambardi, fenomena kekinian
yang dialami oleh Jokowi pun tidak bisa dilepaskan dalam diskusi di atas.
Jokowi pun sebenarnya telah sadar akan jebakan yang disiapkan oleh kartel
partai pada pembentukan kabinetnya. Namun pada saat itu, Jokowi lolos dan
mendapat dukungan positif dari publik.
Hal tersebut dimungkinkan karena Jokowi menggunakan
“tangan” KPK dan PPATK untuk melakukan penyaringan terhadap nama-nama calon
menteri yang diduga memiliki masalah terkait dengan korupsi atau pencucian
uang. Berdasarkan pengalaman pada era pemerintahan SBY, sebagian menteri yang
dipilih memiliki track record buruk
dalam kasus korupsi.
Meski demikian, pemetaan asal dan riwayat para menteri
saat ini pun tidaklah sepenuhnya bersih dalam persoalan yang dikhawatirkan oleh
KPK. Pada waktu itu Jokowi terlihat begitu kewalahan dalam mengatur dan
menegosiasikan komposisi dan nama-nama menteri dalam kabinetnya hingga detik
terakhir sebelum pengumuman. Alasannya adalah Jokowi harus mempertimbangkan
secara serius masukan dari KPK, usulan nama dari partai politik dan juga
tanggapan dari kelompok relawan dan publik luas.
Jebakan berikutnya adalah pencalonan Komjen Pol Budi yang kontroversial.
Salah satu faktor penjelas dalam jebakan ini adalah dukungan penuh dari
hampir seluruh partai politik di DPR dalam pencalonan ini.
Padahal seperti yang sudah kita ketahui bahwa DPR baru
saja menyelesaikan sebuah konflik panjang akibat dari perseteruan
pasca-Pemilu 2014 antara KIH dan KMP. Sebuah hal yang aneh apabila DPR sudah
terlihat kompak secara cepat dalam menyikapi pencalonan Komjen Pol Budi yang
disangka melakukan pencucian uang dan memiliki transaksi uang yang
mencurigakan.
Meski desakan nama Komjen Pol Budi tersebut
berasal dari PDIP, ada fenomena penggalangan dukungan penuh di DPR yang sulit
dilihat kasatmata. Bahkan, proses pencalonan yang cepat tersebut semakin
memperkuat dugaan bahwa tindakan politik ini adalah skenario jebakan yang
telah disiapkan lebih serius dari sekelompok elite politik, baik dalam
ataupun di luar pemerintahan Jokowi.
Dalam konteks penjelasan resmi pemerintah ataupun gesture tubuh dan fisik dari Jokowi,
publik bisa melihat bahwa kegalauan Jokowi dalam pemutusan kata akhir dalam
pencalonan ini. Apalagi intensitas pertemuan Surya Paloh dengan Jokowi,
sebagai pemegang saham pemerintahan Jokowi-JK, terekam jelas dalam laporan
media massa pada waktu itu.
Kondisi konflik semakin memanas manakala PDIP melalui Hasto
Kristyanto melancarkan serangan pertama kepada KPK dengan menyatakan buruknya
etika politik Abraham Samad dalam “ikut serta” pencalonan wapresnya Jokowi.
Puncaknya adalah Polri melakukan tindakan tidak populer dengan menangkap
tangan Bambang Widjojanto manakala tengah mengantar anaknya sekolah.
Inilah jebakan yang memperumit posisi Jokowi dalam memutus
perkara pencalonan Kapolri. Di satu sisi, Jokowi terdesak oleh kepentingan
partai politik pendukungnya dalam pengajuan calon Kapolri. Sementara di sisi
lain, Jokowi pun tengah dikritik keras tentang komitmennya dalam
pemberantasan korupsi oleh para relawan pendukungnya dan para aktivis LSM
antikorupsi.
Presiden Populis
Jokowi adalah satu di antara banyak presiden di dunia yang
terpilih karena alasan kepopuleran ketimbang dukungan mesin partai politik
yang kuat dan efektif. Oleh karena ia adalah presiden yang populis, maka
semestinya Jokowi sadar bahwa dukungan pemilih adalah nomor satu.
Dukungan partai politik bukannya tidak penting, namun saat
ini, di mana lemahnya partai politik dan menguatnya popularitas seorang
presiden, maka posisi Jokowi berada dalam titik aman. Dalam konteks saat ini,
Jokowi pun semestinya paham bahwa sebuah kebijakan politik yang tidak populer
dan cenderung menegosiasikan kehendak rakyat tentu akan berdampak terhadap
besaran dukungannya yang harus terus dipelihara.
Ini adalah logika menjaga popularitas dan citra seorang
presiden. Sehingga, pilihan terhadap kebijakan dalam pencalonan sudah sangat
jelas, apakah ia memilih masuk dalam agenda kartel partai politik atau
memilih menjadi presiden populis yang tentu kerapkali tidak populer di
kalangan partai politik yang ingin menjebaknya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar