Partai
dan Hukum Besi Oligarki
Firman Noor ; Peneliti
pada Pusat Penelitian Politik LIPI,
Pengajar Ilmu Politik Universitas Indonesia
|
KORAN
SINDO, 31 Januari 2015
Pada awal abad kedua puluh muncul sebuah mahakarya dalam
khazanah ilmu politik yang ditulis oleh seorang lulusan sejarah dan kemudian
memfokuskan diri pada kajian sosiologi politik berjudul Zur Soziologie des
Parteiwesens in der Modernen Demokratie, Untersuchungen über die
oligarchischen Tendenzen des Gruppenlebens.
Dalam bahasa Inggris buku tersebut diterjemahkan menjadi On the Sociology of Political Partiesin
Modern Democracy: a Study on Oligarchic Tendencies in Political Aggregations.
Pengarangnya adalah Robert Michels, seorang pengajar dan sekaligus politikus
mantan aktivis Partai Sosial Demokrat Jerman, yang kemudian keluar dari
partainya dengan kekecewaan.
Hal utama yang menyebabkannya angkat kaki adalah
kesebalannya yang membuncah akan sebuah kenyataan bahwa partai, yang menurut
logika naifnya harusnya dikembangkan dengan berlandaskan aspirasi dan
kepentingan kader dan para pendukungnya, dalam kenyataannya hanya diatur oleh
segelintir orang. Di dalam partai tidak ada sebuah transaksi demokratis yang
benar-benar menghitung suara akar rumput.
Aspirasi populis objektif pun kerap menjadi sulit untuk
dikonversi menjadi kebijakan partai. Secara normatif partai memang dibentuk
sebagai wadah setiap kader untuk berkiprah. Namun, dalam konteks riil
politik, khususnya dalam soal power game , dunia partai adalah dunia kaum
elite dengan watak otokratik.
Partai, bahkan yang mengaku sebagai sosialis demokrat
sekalipun, baginya akan segera terjebak dalam sebuah pola organisasi
oligarkis. Berdasarkan amatan Michels nyaris tidak ada satu partai pun yang
tidak terhinggapi oleh penyakit yang bernuansakan elitisme ini. Di situlah
kemudian dia dengan mantap mengatakan fenomena ini sebagai ”iron law” atau
”hukum besi”.
Oligarki Kekinian
Fenomena di atas tentu tidak mengecualikan Indonesia. Di
negara ini beberapa partai bahkan telah dihinggapi oleh elitism yang akut,
ditandai ketergantungan yang nyaris total pada figur. Titah figur-figur ini
harus terjadi meski bisa jadi secara substansi tidak aspiratif dan bahkan
menabrak aturan main.
Dalam nuansa ini tidak heran kalau kemudian berbagai
peristiwa politik–baik di lingkungan partai maupun di luar partai, apakah
yang berupa konflik ataupun konsensus–lebih ditentukan oleh kekuatan
eksklusif dari balik layar yang berasal dari aspirasi para elite. Dus ,
pelibatan massa atau kader sejatinya hanyalah semu. Tak lebih dari sekadar
penggembira dan pemberi legitimasi atas kehendak para elite itu.
Bulan-bulan belakangan ini kita disuguhkan oleh serentetan
pagelaran politik yang demikian bising. Simak saja misalnya mulai dari
terbentuknya koalisi menjelang pilpres, konflik internal partaipartai yakni
Golkar dan PPP, kegagalan pembentukan alat kelengkapan Dewan (AKD) yang
berlanjut pada terbentuknya ”DPR Tandingan”, penyusunan kabinet Presiden
Jokowi, hingga yang teranyar perseteruan KPK versus Polri sebagai efek dari
terpilihnya Komjen Budi Gunawan sebagai kepala Polri menggantikan Jenderal
Sutarman.
Semua itu sepintas tampak berasal dari penyebab yang
berbeda-beda. Namun, secara umum jelas dapat dilihat dari perspektif hukum
besi oligarki, di mana secara mendasar akar penyebab itu semua adalah
(pertarungan) kepentingan para elite. Pembentukan koalisi apakah KIH dan KMP
adalah kesepakatan para elite partai, khususnya di level ketua-ketua partai.
Pertarungan internal partai-partai adalah jelas
pertarungan para elite, antara mereka yang tengah dan ingin terus berkuasa
dan yang tak sabar lagi untuk berkuasa, dengan pernak-pernik seputar aturan
main sebagai legitimasi untuk bertarung. Penyusunan kabinet dan segenap
posisi penting dalam pemerintahan adalah hasil transaksi para elite atau
bahkan para ”mahaelite” yang segera saja dapat dengan mudah menyingkirkan
harapan dan aspirasi akar rumput, termasuk aspirasi mereka yang sebenarnya
sudah berkeringat.
Sementara dalam soal pengangkatan sosok pimpinan Polri
yang tidak populis, amat jelas mengesankan hasil sebuah keputusan elitis yang
melibatkan segelintir orang saja. Di sini jangankan rakyat, kebanyakan kader
partai hanya berperan sebagai penonton.
Mengapa?
Setidaknya ada lima hal yang menyebabkan hukum besi itu
berlaku dan cenderung menguat. Pertama, partai memang ”milik” segelintir
orang. Ini seiring dengan terus bergantungnya keberlangsungan hidup partai
oleh mereka yang memiliki kekuatan finansial. Studi Perludem (2011)
mengindikasikan lemahnya kemandirian partai dalam mendapatkan dan mengelola
keuangan.
Hal mana tentu saja membuka peluang para ”pemegang saham”
yakni para elite untuk terus berkiprah lebih besar dan lebih menentukan.
Kedua, ini ditambah dengan situasi lemahnya kaderisasi yang berimplikasi
setidaknya pada dua hal.
(1) Ketidakjelasan jenjang karier atas dasar prestasi yang
menyebabkan sirkulasi jabatan dan pimpinan atau elite lebih ditentukan oleh
jaring-jaring kepentingan elite itu sendiri guna mengukuhkan basis
oligarkinya. (2) Berkembangnya pendekatan pragmatisme, di mana ideologi
partai tidak lagi dipahami dan idealisme bekerja untuk partai tersingkirkan,
terutama oleh pengabdian kepada (kepentingan) elite yang jauh lebih
menjanjikan.
Ketiga, mekanisme internal partai yang kerap memberikan
porsi lebih kepada jajaran elite dalam menentukan hidup mati partai. Dalam
labirin struktur yang oligarkis ini, elite partai bergerak nyaris tanpa
kontrol. Kontrol yang terjadi adalah justru sesama elite yang bila tidak
diakomodasi dengan cantik, berpotensi besar memunculkan konflik internal. Di
sisi lain banyak hal penting yang diatur sepintas dalam AD/ART yang
selebihnya diserahkan pada keputusan segelintir orang saja.
Semangat demokrasi pun kerap masih bersifat anjuran dan
ada pada level tradisi, namun belum secara total dilembagakan. Keempat,
aturan main yang belum seutuhnya menopang demokratisasi partai. Pengaturan
keuangan partai yang diamanatkan oleh UU Partai Politik misalnya justru
cenderung memberikan peluang bagi para kader yang juga pengusaha besar untuk
mengukuhkan perannya dalam partai karena memberikan kesempatan bagi mereka
untuk dapat menyumbang sejumlah uang tanpa batas.
Aturan main yang ada juga belum mampu memaksa
partai-partai untuk membenahi kaderisasi yang dalam banyak aspeknya menjadi
salah satu penyebab bagi munculnya budaya pragmatisme dan pengukuhan
elitisme. Kelima, ”pasar” atau pemilih yang tidak kritis.
Seandainya ada korelasi antara partai yang oligarkis dan
kegagalan dalam perolehan suara, tentu partai akan berlomba-lomba untuk
mendemokratisasi diri. Namun, setidaknya hingga saat ini banyak partai yang
terjerembab dalam lingkar elitisme dan oligarki justru berhasil baik dalam
pemilu. Situasi ini tentu saja tidak memberikan stimulus bagi partai untuk
memperbaiki diri.
Sebaliknya, kondisi ini amat melenakan partai-partai yang
pada gilirannya mengokohkan bangunan oligarki partai. Situasi ini tentu saja
bukan menjadi alasan kita untuk menguburkan partai-partai. Tugas kita
sekarang justru mengembalikan jati diri partai dalam bentuk idealnya, sebagai
penyambung kepentingan rakyat.
Kalaupun menghapuskan hukum besi tidaklah mudah,
setidaknya kita harus tetap berusaha meminimalkan peluang tegaknya oligarki
di antaranya mengatasi beberapa akar penyebab kemunculannya di atas.
Bagaimanapun partai-partai adalah kebutuhan alamiah dari demokrasi yang
bersama kita yakini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar