Bukan
Boneka
Limas Sutanto ; Psikiater
Konsultan Psikoterapi; Tinggal di Malang
|
KOMPAS,
27 Januari 2015
SIAPA pun yang jujur mengikuti hati nuraninya akan dapat
mengakui bahwa Joko Widodo adalah presiden yang mau bekerja keras, sedang
bekerja keras, bercita-cita memimpin Indonesia untuk menjadi bangsa dan
negara yang lebih baik, lebih sejahtera, lebih kuat, lebih manusiawi. Ia pun
kini sedang terus berbuat mengejawantahkan cita-cita itu.
Itu semua sudah ia buktikan bukan hanya melalui penampilan
dan wicaranya yang sederhana dan apa adanya atau melalui blusukan-nya yang
tulus, melainkan juga melalui tindakannya memilih beberapa menteri yang
sungguh merupakan pilihannya sendiri tanpa pengaruh signifikan kompromi
politik. Sebutlah seperti Menteri Perikanan dan Kelautan Susi Pudjiastuti dan
Menteri Perhubungan Ignasius Jonan. Setidak-tidaknya kita dapat melihat bahwa
kedua menteri pilihan asli Jokowi itu langsung bekerja nyata untuk melakukan
perbaikan-perbaikan yang menguntungkan rakyat.
”Orangtua” yang dominan
Akan tetapi, kita pun melihat betapa Jokowi tidak terlepas
dari pengaruh tokoh-tokoh politik yang sosoknya sulit dilawan oleh Jokowi.
Agaknya tokoh-tokoh itu adalah orang-orang senior dalam politik yang dapat
terhayati oleh Jokowi sebagai sosok ”orangtua” dominan (penuh kuasa), yang
menghendaki Jokowi bersikap submisif (tunduk dan menurut). Salah satu dari
tokoh-tokoh itu adalah Megawati Soekarnoputri.
Publik luas membaca betapa Megawati dapat begitu kuat
memengaruhi Jokowi dalam memilih pejabat, sampai-sampai sebagian dari publik
menyindir Jokowi dengan menyebutnya sebagai ”presiden boneka”. Kejadian
terakhir yang mencolok, yang mengesankan pengaruh kuat tak terlawankan dari
Megawati terhadap Jokowi adalah dipilihnya Komisaris Jenderal Budi Gunawan
menjadi calon tunggal Kepala Kepolisian Negara RI oleh Jokowi, yang kemudian
berbuntut kekisruhan berlarut-larut yang menggerogoti legitimasi Jokowi di
hadapan rakyat.
Kita tidak tahu apakah Megawati sebagai negarawan memiliki
ketegaan yang luar biasa untuk membiarkan Jokowi mengalami penggerogotan
legitimasi di hadapan rakyat dengan berkeras ”memerintahkan” Jokowi untuk
memilih Budi Gunawan sebagai Kepala Polri. Padahal, menurut Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), Budi Gunawan menyandang indikasi-indikasi sangat
kuat sebagai pelaku korupsi. Apakah Megawati hanya setingkat saja dengan anggota-anggota DPR yang tega menjerumuskan
Jokowi dengan menyetujui (bukan mengoreksi) pilihan Jokowi, padahal pilihan
Jokowi itu jelas-jelas tidak diterima oleh rakyat yang diwakili oleh para
anggota DPR itu.
Keseluruhan drama itu menyodorkan tanda-tanda bahwa, bagi
Jokowi, melawan kehendak jutaan relawan pendukungnya dan ratusan juta rakyat
jelata yang memilihnya untuk menjadi orang nomor satu di Republik Indonesia
adalah lebih enteng, lebih mudah, dan lebih bisa dilakukan daripada melawan
kehendak perseorangan tokoh ”orangtua” yang—bagi jiwa subyektif
Jokowi—terhayati secara idiosyncratic
(sangat unik) sebagai kekuatan yang begitu hegemonik dan digdaya. Tak tertahankan,
tak terlawankan.
Dalam mengalami praktik psikoterapi bersama pasien-pasien,
di sana-sini penulis menjumpai orang-orang yang memang memiliki penghayatan
subyektif idiosinkratik ”begitu tidak berdaya” ketika mereka berhadapan
dengan ”orangtua”. Betapa pun orang-orang itu berumur dewasa, bahkan setengah
tua, tetapi ketika mereka berhadapan dengan ”orangtua”, mereka menjadi
penurut. Mereka tidak sanggup meneruskan fungsi berpikir otonom yang selama
ini sudah mereka miliki dengan baik dan mereka ejawantahkan dalam kehidupan
mereka sehari-hari. Di hadapan sang ”orangtua”, mereka cenderung meninggalkan
pilihan bebas mereka dan menuruti saja kehendak sang ”orangtua”.
Saya khawatir Jokowi adalah orang yang seperti itu di
hadapan sang ”orangtua”, yang dalam hal ini terutama adalah Megawati
Soekarnoputri. Kita melihat beberapa bahasa tubuh Jokowi, baik di masa-masa
sebelum dia dipilih menjadi calon presiden oleh Megawati ataupun pada masa-masa setelah itu, yang
mencerminkan betapa Jokowi ”tunduk” di hadapan Megawati. Salah satu yang
terpenting adalah tindakan berulang Jokowi mencium tangan Megawati sembari
membungkukkan punggungnya secara signifikan. Memang kita bisa mengatakan
bahwa itu hanya sikap santun Jokowi sebagai orang Jawa dan orang Solo yang
sangat diresapi budaya menghormati orangtua, tetapi terus terang tindakan
berulang Jokowi itu dapat dilihat sebagai sebuah bahasa nonverbal yang dapat
mencerminkan penghayatan diri yang submisif (tunduk dan menurut) di hadapan
Megawati yang adalah ”orangtua” yang dominan.
Penulis sama sekali tidak memiliki kebencian apa pun
terhadap Jokowi ataupun Megawati. Dalam pemilihan umum dulu, ketika Megawati
maju sebagai calon presiden (meskipun kemudian terbukti kalah), penulis
memilih beliau. Dalam Pemilu 2014, penulis memilih Jokowi. Maksud tulisan ini
hanyalah mengingatkan Jokowi dan Megawati, kedua-duanya, bahwa dalam hubungan
dua orang manusia bisa terjadi penghayatan (yang sebagian besar sesungguhnya
berlangsung secara nirsadar) bahwa salah satu dari dua orang itu adalah figur
”orangtua” (parental figure) yang
begitu kuat, dahsyat, dominan tak tertahankan dan tak terlawankan
pengaruhnya. Di sini terjadi hubungan ”anak” yang submisif dan ”orangtua”
yang dominan.
Tentulah hubungan seperti itu bukanlah suatu wujud hubungan
yang sehat. Sebab pihak yang submisif menjadi terhambat tumbuh-kembangnya,
bisa kehilangan fungsi berpikir otonomnya, bisa kehilangan kemampuan
imajinatifnya. Secara luas sekaligus mendasar dapat dikatakan bahwa pihak
yang submisif itu bisa kehilangan kebebasan mendasarnya sebagai pribadi
manusia dewasa dan bermartabat. Jika hubungan tidak sehat seperti ini terjadi
antara dua orang tokoh pemimpin di dalam negara, kita bisa membayangkan
betapa akan sangat besarlah efek-efek distortifnya untuk kehidupan kenegaraan.
Bahan renungan
Penulis masih percaya bahwa Megawati Soekarnoputri adalah
seorang negarawan besar yang juga mencintai Joko Widodo secara tulus.
Megawati tentunya tidak ingin melihat Jokowi tergerogoti legitimasinya di
hadapan rakyat karena memilih pejabat-pejabat tanpa mengindahkan
janji-janjinya sewaktu kampanye, yaitu hanya memilih pejabat-pejabat yang
bersih dan jujur saja. Megawati Soekarnoputri juga tentunya tidak ingin
melihat Jokowi menjadi penguasa lalim yang mengabaikan suara rakyat hanya
demi terhindar dari rasa takut di hadapan sang ”orangtua” yang dahsyat
dominan tak terlawankan.
Megawati perlu menyadari bahwa justru karena sosok dirinya
terhayati sebagai ”orangtua” yang dominan bagi Jokowi, ia perlu sangat
berhati-hati dalam menerapkan pengaruhnya terhadap sang presiden. Bahkan,
seyogianya ia sangat meminimalkan pengaruhnya terhadap Jokowi, yakni dengan
membiarkan Jokowi mengambil keputusan-keputusannya sendiri walaupun
keputusan-keputusan itu tidak cocok dengan kehendak dan selera sang ibu.
Di sisi lain,
barangkali tulisan ini dapat menjadi salah satu bahan renungan bagi Jokowi.
Ia memang perlu menjadi sungguh-sungguh Jokowi, seorang pria dan pemimpin
yang dekat dengan rakyat, begitu energik mendengarkan rakyat dan melayani rakyat
dengan tulus. Kalau Jokowi menjadi sungguh Presiden Joko Widodo, pastilah ia
itu presiden bukan boneka. Mulai sekarang ia perlu menegaskan kembali dengan
segenap keputusan yang akan ia ambil dalam perjalanan pemerintahannya sampai
2019 bahwa memang Jokowi adalah Presiden Republik Indonesia, presiden milik
rakyat Indonesia, bukan presiden boneka dari siapa pun. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar