Pertaruhan
Politik Jokowi
Syamsuddin Haris ; Profesor
Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
|
KOMPAS,
31 Januari 2015
MENGAPA Jokowi tidak kunjung hadir sebagai seorang
presiden yang hanya tunduk kepada konstitusi dan kehendak rakyat seperti janji
sebelum pemilu? Mengapa Jokowi menjadi seorang peragu dan tak berdaya
menghadapi konflik KPK dan Polri? Mengapa Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan diam saja?
Barangkali itulah beberapa di antara begitu banyak
pertanyaan publik yang dilontarkan dalam beberapa hari terakhir.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi bahan obrolan dan diskusi di mana pun
di seantero negeri, dari tingkat warung kopi kaki lima hingga kafe hotel
bintang lima, dari pasar becek hingga pasar saham di lantai bursa. Kita semua
ingin memperoleh kepastian, apakah Indonesia di bawah Jokowi semakin maju
atau malah mundur. Para pelaku usaha, misalnya, ingin memastikan, apakah
kemelut politik yang tengah bergolak di pusaran Istana akan berkepanjangan
sehingga berimplikasi, bukan hanya pada masa depan bisnis dan investasi,
melainkan juga kelangsungan pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla.
Ironisnya, jawaban yang ditunggu-tunggu itu tak kunjung
hadir. Ketika satu peristiwa belum sepenuhnya terungkap dan belum jelas duduk
persoalannya, peristiwa lain sudah muncul. Itulah yang kita alami hari-hari
ini. Ketika Presiden Jokowi mengajukan Komisaris Jenderal Budi Gunawan (BG)
sebagai calon tunggal Kepala Polri dan belum sempat dibahas oleh Komisi III
DPR, KPK menetapkan BG sebagai tersangka tindak pidana suap dan korupsi.
Kompleksitas masalah bertambah tatkala DPR, kecuali Fraksi Demokrat,
menyetujui penunjukan BG sebagai calon Kapolri. Dihadapkan pada meluasnya
tuntutan publik agar Presiden mencabut kembali pencalonan BG, Jokowi akhirnya
memilih untuk menunda pelantikan BG sebagai Kapolri.
Karut-marut persoalan semakin melebar ketika Bareskrim
Polri, diduga tanpa sepengetahuan Komjen Badrodin Haiti selaku pemimpin
sementara Polri, menangkap Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto (BW). Atas
tekanan publik, BW yang ditetapkan sebagai tersangka dugaan turut serta
mengarahkan pemberian kesaksian palsu kasus sengketa Pilkada Kotawaringin
Barat pada 2010 akhirnya ditangguhkan penahanannya. Belakangan, Ketua KPK
Abraham Samad dan Wakil Ketua KPK lainnya, Adnan Pandu Praja, dilaporkan pula
melakukan pelanggaran hukum di masa lalu.
Otoritas presiden
Presiden dalam skema presidensial pada dasarnya memiliki
otoritas apa pun yang diperlukan untuk menyelamatkan bangsa selama masih
berada dalam koridor konstitusi. Dalam keadaan kegentingan memaksa, misalnya,
presiden memiliki instrumen peraturan pemerintah pengganti undang-undang jika
dianggap perlu mengeluarkan kebijakan strategis di saat persetujuan parlemen
sulit diperoleh dalam jangka pendek.
Otoritas yang diberikan konstitusi itu memberikan ruang kepada
presiden untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan jika kepentingan
kolektif bangsa kita mengharuskannya demikian.
Oleh karena itu, jika terdapat indikasi kuat bahwa Polri
melakukan kriminalisasi terhadap KPK, presiden atas nama kepentingan bangsa
dan negara bisa memerintahkan pimpinan Polri untuk menghentikan penyidikan
atas BW. Jajaran Polri adalah aparat penegak hukum yang berada di bawah
kekuasaan eksekutif presiden sehingga perintah atau instruksi presiden kepada
pimpinan Polri tidak dapat dikategorikan sebagai campur tangan atau
intervensi dalam proses hukum.
Dalam konteks pencalonan Kapolri, jika pemberantasan
korupsi menjadi agenda kolektif bangsa kita dan menjadi visi pemerintahan
Jokowi, tidak ada pilihan lain bagi presiden selain menarik kembali
pencalonan tersangka BG yang telah disetujui DPR. Seseorang dalam status
tersangka tindak pidana khusus bukan saja tidak pantas, tetapi juga tidak
memiliki dasar moral untuk menduduki suatu jabatan publik, apalagi menjadi
orang nomor satu di institusi kepolisian negara.
Pelantikan pejabat publik yang berstatus tersangka tindak
pidana suap dan korupsi adalah preseden buruk yang hampir pasti akan
menghancurkan bangsa kita ke depan.
Tekanan politik Megawati?
Kita percaya, Presiden Jokowi sangat memahami soal-soal
ini, termasuk otoritas politik besar yang dimilikinya selaku kepala negara
sekaligus kepala pemerintahan. Dengan otoritas yang dimilikinya, Jokowi
sebenarnya tak perlu membentuk tim independen yang terdiri atas sembilan
tokoh masyarakat untuk menyelesaikan karut-marut konflik baru antara KPK dan
Polri. Namun, karena dihadapkan pada tekanan politik bertubi-tubi dan sulit
dihindari dari lingkaran dalam lingkungan Istana, Jokowi membutuhkan ”tangan
lain” untuk membenarkan pilihan-pilihan politik yang telah disiapkannya
sendiri.
Lalu, dari mana dan kekuatan politik apa yang mampu
menekan seorang presiden? Secara umum tekanan politik tentu saja berasal dari
partai politik pengusung Jokowi. Namun, secara khusus tampaknya sulit bagi
Jokowi untuk mengelak jika suatu usulan personalia calon pejabat publik
berasal dari Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri. Jokowi bukan hanya
dikenal sangat loyal kepada ”sang Ibu” yang memberikan kesempatan kepadanya
menjadi calon presiden melalui partai banteng.
Dugaan ini didasarkan pada beberapa fakta. Pertama,
Presiden Jokowi tetap mengajukan nama BG meskipun KPK sudah mengingatkan
bahwa jenderal polisi berbintang tiga tersebut disinyalir memiliki rekening
bermasalah. Kedua, tak lama setelah KPK menetapkan status tersangka bagi BG
seusai diajukan oleh presiden ke DPR, jajaran PDI-P yang dimotori Hasto
Kristiyanto, pelaksana tugas sekretaris jenderal, segera melakukan manuver
politik dengan cara memojokkan Ketua KPK Abraham Samad terkait aktivitas
lobi-lobi politik Samad saat Jokowi tengah mencari pasangan capres menjelang
Pilpres 2014.
Ketiga, agak mengherankan bahwa jajaran PDI-P sebagai
basis politik Jokowi cenderung bungkam dalam menyikapi tindak kriminalisasi
terhadap BW khususnya dan KPK pada umumnya. Ada kesan kuat bahwa jajaran
partai banteng meradang sehingga membiarkan Jokowi sendirian, baik dalam
menyelesaikan konflik KPK versus Polri maupun terkait status BG yang ditunda
pelantikannya sebagai calon Kapolri.
Pertaruhan politik
Sebagai parpol terbesar hasil Pemilu 2014 dan pengusung
Jokowi, PDI-P semestinya turut mengawal pemerintahan Jokowi-Kalla dengan cara
memastikan agar kepentingan bangsa berada di atas kepentingan partai dan
golongan. Adalah suatu kekeliruan jika ada anggapan bahwa Jokowi menjadi
presiden karena ”jasa” parpol atau tokoh tertentu. Jokowi bukanlah presiden
bagi sekelompok parpol koalisi, atau presiden yang hanya berada di balik
bayang-bayang kepentingan para ketua umum parpol pendukung.
Bagi Presiden Jokowi, pertaruhan politik yang dihadapi
saat ini bukan semata-mata menyelesaikan konflik KPK-Polri, memastikan nasib
BG, serta menghindari kriminalisasi satu institusi atas yang lain. Pertaruhan
politik terbesar Jokowi adalah bagaimana ia bisa kembali menjadi dirinya
sendiri. Kepercayaan publik akan runtuh seketika jika Jokowi mengorbankan
reputasinya demi loyalitas sempit kepada partai.
Oleh karena itu, sesuai janji sebelum pemilu, Jokowi harus
menjadi presiden bagi Republik ini dengan hanya tunduk kepada konstitusi dan
berdiri tegak lurus di atas kemauan rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar