Selamat(kan)
Jalan KPK (5)
Saldi Isra ; Guru
Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas
Hukum Universitas Andalas, Padang
|
KORAN
SINDO, 29 Januari 2015
Terakhir kalinya saya menulis dengan judul serupa di
harian ini pada 8 Oktober 2012. Secara sengaja, tulisan tersebut dipicu oleh
upaya penangkapan salah seorang penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
bernama Novel Baswedan.
Tidak bisa dipastikan, apakah karena hendak melihat
perlawanan terbuka kepolisian pada KPK atau memang bermaksud hendak
melindungi lembaga antirasuah ini, masyarakat sipil berduyun- duyun hadir di
Gedung KPK sejak Jumat malam sampai Sabtu menjelang subuh (5-6/10-2012).
Ketika itu, dengan modal “surat perintahan penangkapan” dan “surat perintah
penggeledahan”, sejumlah polisi hadir di Gedung KPK dengan tujuan menangkap
Novel Baswedan.
Alasan mereka, penyidik KPK yang menjadi figur penting di
balik peristiwa penggeledahan Kantor Korps Lalu Lintas dinyatakan terkait
tindak kriminal semasa bertugas di Polda Bengkulu. Sesuatu yang sulit
dimengerti karena kejadian yang dipakai sebagai alasan berlangsung sekitar
delapan tahun sebelum upaya penangkapan Novel Baswedan (KORAN SINDO, 8/10/2012).
Kini, sejak perlakuan “tidak senonoh” kepolisian kepada
Wakil Ketua KPK (23/1), judul ini relevan ditulis kembali. Paling tidak,
melacak perkembangan dalam beberapa hari terakhir, pertanyaan ihwal masa
depan KPK hampir pasti menghinggapi mayoritas kalangan yang selama ini
berharap banyak dari sepak terjang KPK dalam memberantas korupsi.
Pertanyaan serupa makian relevan karena KPK dapat dukungan
konkret hanya dari masyarakat sipil. Banyak pihak yakin yang terjadi setelah
penetapan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai tersangka tak hanya upaya
pelemahan, tetapi mungkin saja berujung pada penghancuran KPK.
Lebih Sistemik
Jikalau ditelisik perkembangan KPK, sulit dibantah lembaga
ini nyaris tidak pernah sepi dari upaya pelemahan. Salah satu upaya tersebut
adalah konsisten membangun opini, KPK adalah badan ad-hoc yang sewaktu-waktu dapat dibubarkan. Dalam
“Selamat(kan)Jalan KPK (2)“ dikemukakan, opini begitu membuat KPK sulit
bekerja dengan nyaman menghadang laju praktik korupsi yang kian masif.
Ibarat petinju, selama bertanding, KPK lebih fokus
bertahan di pojok ring sembari memasang double
cover menghadapi serangan pihak-pihak yang dirugikan (KORAN SINDO, 28/11/2011). Lebih lanjut
dikemukakan, sejak terbentuk, serangan kepada KPK beruntun dan seperti tidak
ada matinya .
Laksana
digerakkan dan dirancang oleh kekuatan yang tidak bisa terpantau dengan mata
telanjang, serangan mematikan terhadap KPK benarbenar bergelombang dan datang
dari semua penjuru mata angin. Serangan tersebut tak hanya datang dari berbagai
pihak di Gedung DPR, tetapi juga dilakukan oleh lembaga negara yang harusnya
seayun-selangkah dengan KPK dalam melawan korupsi.
Bahkan
dilihat dari pola yang lebih sederhana, upaya pelemahan KPK dapat dibaca
dengan munculnya ancaman berkelanjutan dengan cara keinginan menarik kembali
para penyidik KPK. Kendati demikian, dalam tenggat waktu lebih dari 11 tahun
kehadirannya, KPK mampu bertahan di tengah gelombang pelemahan tersebut.
Salah satu buktinya, ketika dilakukan serangan mendadak kepada Novel
Baswedan, KPK tidak mengalami guncangan dan nyaris tidak terpengaruh.
Bahkan yang
terjadi justru sebaliknya, dukungan publik makin mengental pada KPK. Boleh
jadi, dukungan sepanjang upaya kriminalisasi kepada Novel Baswedan merupakan
salah satu ekspresi paling nyata kemarahan publik kepada pihak-pihak yang
hendak melemahkan KPK. Meski begitu, peristiwa pascapenetapan Budi Gunawan
sebagai tersangka dapat dibaca sebagai ancaman yang paling serius.
Kalau selama
ini upaya pelemahan KPK hanya di pinggiran, penangkapan Bambang Widjojanto
(BW) menjadi bentangan empirik bahwa serangan dilakukan langsung ke jantung
pertahanan KPK. Pada batas-batas tertentu, kejadian yang menimpa BW mirip
dengan yang dialami Bibit S Riyanto dan Chandra Hamzah. Bedanya, ketika itu
dua pimpinan KPK yang dijadikan tersangka, tetapi sekarang hanya BW.
Sekalipun
hanya seorang, perlakuan polisi sangat kasar karena mirip dengan menangkap
seorang teroris. Ibarat serangan bergelombang, status tersangka yang diikuti
penangkapan BW dapat dibaca sebagai langkah awal untuk terus melumpuhkan
jantung pertahanan KPK. Buktinya, tidak perlu menunggu perubahan minggu,
beberapa pimpinan KPK yang lain juga sedang menunggu waktu untuk di-BW-kan.
Modusnya
sama, polisi menindaklanjuti laporan terhadap indikasi tindak pidana yang
dilakukan masing-masing pimpinan KPK. Lihat saja, tiba-tiba muncul laporan
terhadap Abraham Samad, Adnan Pandu Pradja, dan Zulkarnaen. Dengan gejala
tersebut, status tersangka terhadap tiga pimpinan KPK yang lain hanya tinggal
masalah waktu. Artinya, kali ini serangan kepada KPK jauh lebih sistematis
dibandingkan dengan peristiwa sebelumnya.
Langkah Penyelamatan
Di tengah
situasi kritis yang menimpa KPK saat ini, pilihan yang tersedia menjadi
sangat terbatas yaitu menyelamatkan KPK atau membiarkan lembaga ini terkapar
tak berdaya. Kalau pilihannya jatuh pada opsi kedua, kita harus bersiap
mengucapkan innalillahi wa inna illaihi
rojiun atau rest in peace.
Artinya, bilamana
opsi kedua yang terjadi, negeri ini mengulangi kembali sejarah terkaparnya
dan matinya lembagalembaga khusus yang dibentuk untuk memberantas korupsi.
Akankah KPK akan masuk ke dalam alur hukum besi sejarah yang terus berulang (llhistoire se reacute pegravete) ?
Agar opsi kedua tidak benarbenar terjadi, segala macam langkah darurat perlu
dilakukan untuk menyelamatkan KPK.
Sebagai
sebuah lembaga, di dalam situasi darurat seperti saat ini, keberlangsungan
KPK sangat ditentukan oleh komitmen memberantas korupsi. Sekiranya negeri ini
masih ingin diselamatkan dari jebakan korupsi, pimpinan tertinggi (baca;
Presiden Joko Widodo) harus mampu mengendalikan keadaan.
Langkah nyata
yang harus dilakukan adalah memerintahkan kepolisian menghentikan tindakan
yang berpotensi melumpuhkan KPK. Sebagai sebuah institusi yang langsung
berada di bawah presiden, Jokowi jelas memiliki otoritas untuk menghentikan
kekisruhan antara KPK dan kepolisian.
Rasanya, bila memberi perintah langsung
kepada pelaksana tugas dan wewenang kepala Polri, tidak mungkin polisi akan
meneruskan kekhawatiran berlanjutnya kegaduhan dengan KPK. Bila perintah itu
diberikan, ternyata masih ada upaya meneruskan kegaduhan, bisa jadi ada upaya
insubordinasi di lingkungan internal kepolisian. Bagaimanapun, sikap tegas
Presiden diperlukan untuk menenangkan situasi.
Selain itu,
demi proses penyelesaian yang komprehensif, Presiden Jokowi segera
memfasilitasi bekerja tim independen (Tim Sembilan). Berkaca dari pengalaman
upaya penuntasan kasus Bibit S Riyanto dan Chandra M Hamzah, peran tim
independen sangat diperlukan. Bagaimanapun dalam situasi seperti ini, tekanan
dari berbagai pihak termasuk tekanan politik menjadi sulit dihindari Presiden
Jokowi.
Karena itu,
banyak kalangan percaya, dengan bekerjanya Tim Sembilan, beban berat yang
dipikul Presiden Jokowi bisa dibagi dan dikurangi. Secara lebih sederhana,
dalam proses penyelesaian masalah ini, Tim Sembilan dapat menjadi semacan
perisai untuk melindungi Presiden. Apalagi, mereka yang tergabung dalam Tim
Sembilan merupakan tokoh yang memiliki reputasi dan kredibilitasnya tidak
diragukan.
Di ujung
proses, rekomendasi Tim Sembilan akan menjadi langkah penting dan strategis
guna memilih langkah hukum (dan mungkin juga politik) demi menyelesaikan
silangsengkarut KPK-kepolisian. Terlepas dari kemungkinan rekomendasi yang
akan dihasilkan, kehadiran Tim Sembilan akan menjadi langkah nyata dalam
menyelamatkan KPK.
Tanpa langkah
ini, bersiaplah mengucapkan selamat jalan kepada KPK. Pertanyaan elementer
yang dapat dikemukakan: bisakah dibayangkan kita mengucapkan innalillahi wa inna illaihi rojiun
atau rest in peace kepada KPK pada
saat Jokowi menjadi presiden? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar