Mentee
Rhenald Kasali ; Akademisi;
Praktisi Bisnis; Guru Besar bidang Ilmu Manajemen di Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia
|
JAWA
POS, 29 Januari 2015
TIBA-tiba saya tersentak atas usul asisten saya agar
membuka kesempatan bagi anak-anak muda menjadi mentee saya secara formal. ”Bukankah kita sudah merasakan
manfaatnya?” ujar bimbingan saya yang sekarang sudah menduduki aneka jabatan
di berbagai perusahaan atau jabatan publik.
Maka, lewat social media, pendaftaran pun saya buka. Ini
tentu berbeda dengan sekolah atau bekerja. Masa hubungannya juga tidak
singkat: dua tahun. Mungkin Anda bisa membayangkan hubungan itu seperti Josh
Groban (sebagai mentee) dengan musisi senior David Foster.
Jadi, kesempatan mentorship, yang selama ini hanya saya
berikan kepada kalangan terbatas, kini saya buka secara lebih luas dan tentu
ada seleksinya yang dilakukan secara ketat. Saya mencari sosok yang mau
memperbaiki masa depan, punya kegigihan, disiplin, dan siap belajar. Asal
logika berpikirnya bagus, tidak keras kepala, mau berpikir terbuka, dan tidak
menyebalkan, tentu bisa ikut seleksi.
Lantas seperti apa sih hubungan antara mentee dan
mentornya? Shawn Hitchcock menandaskan, a
mentor empowers a person to see a possible future and believe it can be
obtained. Kira-kira begitulah. Saya mengantarkan mereka ke masa depan.
Tentu saja mereka akan mengikuti saya sehari-hari, termasuk belajar
menyiapkan banyak hal, membuat dan mengambil keputusan profesional, turun ke
lapangan memeriksa pekerjaan, serta bertemu dengan segala macam orang.
Bukan demi Gelar
Sesungguhnya ini bukan hal baru bagi saya. Beberapa putra
taipan terkenal pernah dititipkan kepada saya. Juga mahasiswa pada program
S-2. Tetapi, kalau dilakukan di universitas, melalui jalur formal ternyata
lebih banyak dukanya daripada sukanya. Maklum, semakin ke sini semakin banyak
mahasiswa yang hanya mengejar nilai ujian dan sulit diajak keluar dari zona
nyaman. Kalau diajak melakukan hal yang sulit sedikit, mereka cepat merajuk
dan mengadu ke mana-mana seakan-akan menjadi sosok yang teraniaya.
Tentu kita perlu melatih agar Strawberry Generation (sebutan bagi generasi manja zaman sekarang)
tidak berpikir melalui jalan pintas, tetapi harus ada kerelaan untuk
melakukannya. Karena itu, saya pikir lebih baik ini dilakukan secara sukarela
ketimbang diwajibkan.
Melalui program tersebut, saya memutuskan untuk membina
langsung anak-anak Indonesia yang memiliki impian-impian indah dan mau
belajar secara langsung dengan saya dan tinggal di Rumah Perubahan belajar
dari pekerjaan langsung, menangani masalah, ikut rapat, bertemu para
pemimpin, mengikuti kuliah yang saya berikan, dan bertemu mantan mentee
bimbingan saya yang kini telah menjadi somebody.
Mentorship bukanlah hubungan kerja meski selama fase dua
tahun mereka diberi uang saku dan ikut mengerjakan tugas-tugas tertentu. Ini
adalah hubungan pembinaan yang benar-benar saya persiapkan agar mereka
menjadi manusia pandai yang tahan uji. Dan mampu menemukan jalan keluar dari
segala kesulitan, adaptif dalam perubahan, serta bekerja dengan tata nilai
yang solid.
Siapa tahu Anda atau anak-anak Anda berminat? Ingatlah
pesan Kishore Bausal, ”Who really want
to succeed follow the principles of his mentor with determination and
action.” Saya akan memilih orang-orang yang mau berubah dan siap belajar
dengan integritas. Anggap saja saya jendela untuk melihat dunia baru di masa
depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar