Perhatian
pada Kasus BG
Yunus Husein ; Kepala PPATK Periode 2002-2011
|
KORAN
SINDO, 26 Januari 2015
Tulisan ini dibuat sebagai tanggapan atas tulisan yang
berjudul: Kasus BG Alat Bukti dan Tersangka , yang ditulis oleh Prof Romli
Atmasasmita pada KORAN SINDO, Jumat, 23 Januari 2015.
Tulisan Prof Romli cukup baik karena ditulis oleh seorang
guru besar yang penuh pengalaman di dalam dan luar kampus, termasuk
pengalaman beliau di pemerintahan, khususnya di bidang hukum. Prof Romli
mengungkapkan keprihatinannya dengan caracara penanganan kasus korupsi yang
kental dengan muatan politis yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) dengan cara yang arogan.
Berbagai cara pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK
dianggap dilakukan tanpa hati nurani, melanggar etika dan kesusilaan sebagai
bangsa Timur yang dikenal dengan keluhuran budinya. Pernyataan korupsi
sebagai kejahatan luar biasa telah digunakan sebagai dalih untuk menjerakan
secara melawan hukum.
Langkah KPK menetapkan BG sebagai tersangka dilakukan
dengan cara yang kurang pantas dari sisi hubungan antarlembaga
ketatanegaraan. Langkah ini dianggap bertentangan dengan semangat kenegaraan
yang bersumber pada Pancasila sebagai landasan ideologi dan filsafat bangsa
Indonesia.
Berdasarkan penjelasan yang disampaikan KPK berulang-ulang,
penanganan kasus tindak pidana korupsi di KPK tidak ada yang bermuatan
politis. Walau demikian, karena yang terkena sebagian besar memiliki
kekuasaan atau kedudukan, dirasakan ada muatan politis dalam kasus yang ada.
Kami menyadari penanganan kasus korupsi seringkali dilakukan dengan cara-cara
pengumuman tersangka dalam suatu konferensi pers yang kadangkala
mempermalukan tersangka dan keluarganya.
Ini dilakukan dalam rangka pemberantasan korupsi yang
menggunakan prinsip naming and shaming, menyebutkan nama orangnya dan
mengumumkannya kepada publik secara transparan. Dengan cara ini, diharapkan
ada penjeraan kepada pelaku dan mencegah orang lain untuk melakukan korupsi.
Dengan penanganan secara transparan ini, selain untuk akuntabilitas, juga
dapat memberikan kesempatan kepada publik untuk melakukan pengawasan terhadap
kasus tersebut.
Kiranya perlu dikaji kembali apakah penerapan
prinsipnaming and shaming ini lebih baik dilaksanakan sejak penyidikan atau
setelah ada putusan pengadilan. Juga perlu diperhatikan bagaimana dampak
penerapan prinsip ini sejak penyidikan terhadap keberhasilan pencegahan dan
pemberantasan korupsi.
Kasus BG dimulai dengan ada laporan hasil analisis (LHA)
dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang disampaikan
kepada Kepala Kepolisian Republik Indonesia dan Jaksa Agung pada 2010.
Kemudian majalah Tempo edisi 28 Juni 2010 dengan judul Rekening Gendut
Perwira Polri memuat informasi mengenai aliran dana dan transaksi sejumlah
perwira dan purnawirawan Polri yang sumber informasinya diindikasikan kuat
berasal dari LHA tersebut.
Dengan
beredarnya substansi LHA tersebut, pada 30 Juni 2010 PPATK berkirim surat
kepada kepala Polri yang ditandatangani Wakil Kepala PPATK Prof Gunadi karena
kepala PPATK sedang dalam perjalanan dinas di luar negeri, yang sangat
menyesalkan dan sungguh prihatin dengan terjadi kebocoran informasi.
PPATK juga
meminta kepala Polri melakukan penyelidikan untuk mengetahui asal mula
kebocoran LHA dan menindak tegas pelakunya. PPATK juga meminta dilakukan
tindakan segera untuk mengatasi kebocoran informasi tersebut dan memperbaiki
mekanisme internal untuk mencegah kemungkinan terjadi pembocoran pada masa
mendatang.
Setelah
kebocoran tersebut, saya sebagai kepala PPATK ditemani Direktur Kerja Sama
PPATK Brigadir Jenderal Polisi Tri Priyo mengadakan pertemuan dengan Kepala
Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri Komisaris Jenderal Ito Sumardi di
Jakarta. Pada pertemuan tersebut, kami mempertanyakan masalah sumber
kebocoran informasi yang berasal dari LHA PPATK.
Beliau
menjawab; “Pak Yunus, kalau tidak membocorkan,
tenang saja tidak perlu khawatir.” Lalu dari mana sumber kebocorannya?
Menurut beliau, sumber kebocoran berasal dari perwira Polri yang kecewa
karena tidak naik pangkat walau sudah dijanjikan oleh Kapolri. Perwira inilah
yang memberikan informasi yang bersumber dari LHA kepada wartawan Tempo.
Siapa perwira
yang membocorkan tersebut, saya tidak pernah tahu. Mungkin pembocor ini
seorang yang sakit hati atau merasa kurang diperhatikan/ disingkirkan. Ini
pernah terjadi pada waktu kebocoran laporan pemeriksaan Inspektorat Jenderal
Departemen Pertahanan RI pada 1999 yang mengindikasikan hilangnya uang
sebesar Rp300 miliar dari dana operasional surat izin mengemudi (SIM) dan
praktik penyelewengan dana pengamanan Pemilihan Umum 1999 sebesar Rp96,7 miliar
rupiah (Tempo, 12 Maret 2000).
Semoga
penjelasan ini bisa memperjelas duduk persoalan yang sebenarnya. Akhir-akhir
ini hasil penyelidikan terhadap LHA PPATK tersebut disertai hasil investigasi
wartawan dimuat pada beberapa media massa, seiring dengan pencalonan BG oleh
Presiden sebagai calon tunggal kepala Polri walau sebelumnya KPK dan PPATK
tidak merekomendasikan BG sebagai calon menteri.
KPK juga
menetapkan BG sebagai tersangka dalam kasus korupsi. Penetapan BG sebagai
tersangka ini mengundang berbagai pertanyaan dan reaksi yang beragam.
Sebagian menyatakan sah-sah saja KPK menetapkannya sebagai tersangka.
Sebagian mempertanyakan kenapa KPK begitu lama menetapkan BG sebagai
tersangka dan baru menetapkannya sekarang setelah BG dicalonkan sebagai calon
tunggal kepala Polri?
Mengapa rekening
gendut lainnya milik perwira Polri lainnya tidak diselesaikan juga? Masalah timing dan cara mengumumkannya sebagai
tersangka dianggap kurang tepat dan tidak etis menjadi seorang calon kepala
Polri sebagai tersangka.
Ada yang
berpendapat perbuatan KPK ini kurang menghargai Presiden Jokowi sebagai
pejabat tertinggi dalam pemerintahan presidensial. Prof Romli berpendapat sikap
KPK ini sama dengan melawan kebijakan Presiden untuk menunjuk pembantunya
dengan cara-cara yang bertentangan dengan etika hubungan kelembagaan
antarlembaga negara.
Berdasarkan
Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2010, sekarang ada empat macam produk PPATK
yaitu LHA, LHP (hasil pemeriksaan), rekomendasi, dan informasi. LHA dan LHP
ini biasa diberikan kepada penegak hukum. Dalam standar internasional LHA
bukanlah alat bukti, baik bukti tertulis atau bukti surat.
LHA hanya
merupakan petunjuk mengenai dugaan terjadi tindak pidana, baik berupa tindak
pidana asal dan atau tindak pidanapencucianuang. LHAdan dokumen lain dari
PPATK harus dirahasiakan oleh pejabat dan pegawai PPATK, penyidik, penuntut
umum, hakim dan setiap orang yang memperoleh dokumen atau keterangan dalam
rangka pelaksanaan tugasnya misalnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai
pengatur dan pengawas industri jasa keuangan dengan ancaman paling lama empat
tahun penjara.
LHA ini
ditindaklanjuti dengan penyelidikan oleh penyidik yang menurut Pasal 74 UU No
8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang (TPPU) adalah penyidik dari kepolisian, kejaksaan, KPK, Bea Cukai, Badan
Narkotika Nasional, dan penyidik pajak. Selanjutnya penyidik melakukan
penyelidikan untuk membuat jelas apakah tindak pidana asal atau TPPU sudah
terjadi.
Apakah barang
bukti dan alat-alat bukti sudah cukup untuk meningkatkan kasus ini ke tingkat
penyidikan dengan tersangka yang sudah bisa ditentukan. Berdasarkan UU TPPPU
tersebut, KPK meminta beberapa LHA dari PPATK terkait kasus BG. Tampaknya KPK
memerlukan waktu yang lama karena KPK melakukan penyelidikan yang hati-hati
dan mendalam karena menyangkut seorang petinggi kepolisian dan kasusnya juga
tidak sederhana.
Mungkin
karena alasan itulah, penyelidikan kasus ini agak lama dan memakan waktu
lebih setahun. Marilah kita tidak saling menyalahkan, tetapi berusaha selalu
menyelesaikan masalah dengan musyawarah dengan mempertimbangkan berbagai
aspek atau kepentingan. Kurangilah pernyataan yang tidak perlu atau mengecam.
Semoga kita
mampu mencari jalan keluar terbaik terhadap masalah yang timbul sebagai
akibat pencalonan BG sebagai kepala Polri dengan cepat dan dengan tetap
mengutamakan kepentingan negara atau umum di atas kepentingan pribadi,
kelompok atau partai, sehingga kita dapat lebih efektif memberantas korupsi
dan lebih fokus membangun untuk tercipta Indonesia yang hebat dan jaya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar