Apa
Kabar Presiden Jokowi?
AS Laksana ; Sastrawan, Pengarang, Kritikus Sastra yang dikenal
aktif menulis di berbagai media cetak nasional
di Indonesia
|
JAWA
POS, 25 Januari 2015
BEBERAPA hari menjelang pemilihan presiden, di pengujung
bulan Ramadan tahun lalu, saya bertemu dengan Anies Baswedan, yang ketika itu
belum menjadi menteri, dan kami bercakap-cakap di meja kecil bersama beberapa
kawan lain. Itu percakapan ringan setelah kami bicara di acara talkshow radio. Ia menyampaikan
kalimat yang bagus mengenai Jokowi sekiranya pasangan Jokowi-JK memenangi
pemilihan. Katanya:
’’Yang paling berat bagi Jokowi
jika ia menang adalah menghadapi para pemilihnya yang menyumbang dua puluh lima
ribu atau lima puluh ribu rupiah. Jika orang menyumbang Rp 1 miliar,
misalnya, ia pasti memiliki jumlah uang jauh di atas yang ia sumbangkan, dan
kita lebih mudah mengukur kepentingannya dengan menyumbangkan uang sebesar
itu. Tetapi orang-orang yang menyumbang dua puluh lima atau lima puluh ribu,
yang bisa jadi adalah sebagian besar dari keseluruhan uang yang mereka
punyai, mereka menyumbang karena rasa cinta. Mereka tidak memiliki pamrih
yang sifatnya pribadi untuk diri mereka sendiri. Mereka hanya ingin Jokowi
menjadi presiden dan ingin melihat Indonesia menjadi lebih baik di tangan
orang yang mereka percayai.’’
Saya selalu senang mendengar pernyataan-pernyataan Anies
Baswedan. Ia sangat fasih dan memiliki kemampuan berbahasa yang bagus untuk
merumuskan pemikiran-pemikirannya dalam kalimat-kalimat yang cerdas. Itu hal
yang tidak dimiliki oleh rata-rata para politisi kita.
Saya selalu menyukai orang-orang yang bisa merumuskan
pikirannya dalam kalimat-kalimat yang baik. Dalam pertemanan sehari-hari,
saya menyukai kawan-kawan yang mampu mempertahankan pemikiran besar mereka
dalam situasi apa pun. Saya mengagumi orang-orang yang mampu mempertahankan
prinsip mereka.
Sampai sekarang saya terus dihantui oleh sebuah pernyataan
yang mengatakan bahwa kompromi adalah gejala-gejala kekalahan dan, celakanya,
saya cenderung mempercayai pemikiran seperti itu. Kita tidak asing dengan
pernyataan seperti ini: ’’Apa boleh
buat, situasi sudah berbeda dan bagaimanapun kita harus berkompromi.’’
Mendengar penyataan seperti itu, saya merasa seperti
mendengar suara sesungguhnya di lapisan bawah permukaan: ’’Bagaimanapun, kita tidak bisa berpegang pada prinsip kita lagi dan
kita harus bersedia melakukan hal yang tidak kita inginkan.’’
Saya ingin terus mempercayai pemikiran bahwa kompromi
adalah sebuah kekalahan, kendati ia pasti tidak cocok dengan perilaku dunia
politik, baik di Indonesia maupun di tempat mana pun di muka bumi. Bagi para
politisi, berkompromi adalah kebenaran mutlak. Dalam dunia politik, hanyalah
seorang negarawan yang mungkin tidak sudi mengkompromikan, apalagi
mengorbankan, prinsip yang ia pegang teguh.
Para pedagang, karena watak alami bisnis mereka, setiap
hari harus berkompromi. Mereka melakukan tawar-menawar dengan pembeli agar
mereka mendapatkan laba dan pembeli merasa beruntung karena berhasil menawar
harga menjadi lebih murah.
Dunia politik kita tidak berbeda dari dunia perdagangan
semacam itu. Setiap kekuatan politik menginginkan kekuasaan atau setidaknya
menjadi bagian dari kekuasaan.
Meskipun Presiden Jokowi di masa kampanye pernah
menyatakan tidak ada kontrak politik antara dirinya dengan partai-partai
pendukung, tetapi kita akhirnya tahu bahwa tidak mungkin hal itu bisa
dijalankan. Ia tetap harus berkompromi dengan pihak-pihak yang telah mendukungnya.
Sebenarnya, dengan menaruh harapan serendah mungkin, saya
bahkan tidak berkeberatan seandainya Pak Jokowi mengatur negara ini dengan
model seperti seorang pedagang mengelola bisnis eceran. Untuk barang tertentu
mungkin ia rela tidak mendapatkan keuntungan besar, atau bahkan merugi. Ia
bisa menutup kerugian itu dengan menarik laba besar pada barang yang lain.
Maksud saya, karena tidak mungkin melepaskan diri dari
kompromi politik dengan partai-partai pendukungnya, Pak Jokowi bisa saja
melepaskan pos-pos kementerian tertentu sebagai jualan rugi. Kita bisa
mengumpamakan posisi-posisi kementerian yang diserahkan kepada orang-orang
partai itu sebagai barang dagangan yang diobral murah. Untuk posisi-posisi
lain, yang ia anggap sangat vital bagi keberhasilan pemerintahannya, ia
memilih orang-orang yang betul-betul mumpuni dalam menangani urusan mereka.
Dengan demikian ia akan mendapatkan keuntungan besar di wilayah-wilayah
tersebut, yang bisa menutup lubang di wilayah yang lain.
Katakanlah, untuk urusan pemberantasan korupsi, sekiranya
ia menganggap penting urusan ini, ia akan menempatkan orang-orang pilihannya
--yang ia percayai kredibilitasnya-- untuk mendukung keberhasilan
pemberantasan korupsi. Namun justru dalam wilayah ini kita dibikin khawatir
akan komitmen pemerintahan Jokowi-JK terhadap pemberantasan korupsi.
Pertarungan kasar sedang terjadi di depan mata antara KPK
dan kepolisian. Diawali dengan penunjukan Komisaris Jenderal Budi Gunawan
sebagai Kapolri baru untuk menggantikan Kapolri Sutarman yang sebenarnya baru
akan habis masa jabatannya sembilan bulan lagi. Ini penunjukan yang sangat
mengecewakan orang banyak karena Budi Gunawan adalah salah satu nama yang ada
dalam daftar jenderal-jenderal polisi yang diduga menerima suap dan
gratifikasi --istilah yang lebih populer: Ia memiliki rekening gendut.
Sehari sebelum Budi Gunawan menjalani uji kelayakan di
gedung DPR, KPK menetapkannya sebagai tersangka. Namun, DPR seolah menutup
mata terhadap keputusan KPK dan tetap memuluskan pencalonan Budi Gunawan.
Setelah itu manuver politik berseliweran menghantam KPK.
Apakah KPK bersalah dengan penetapan ini? Secara hukum
tidak.
Mungkin momentumnya kurang pas, kata peramal politik.
Kurang pas menurut siapa? Kita tahu, bagi setiap pihak yang dijadikan tersangka,
juga bagi para politisi yang berdiri di belakang calon Kapolri yang dijadikan
tersangka, kapan pun waktunya pasti kurang pas. Namun, bagaimanapun, Budi
Gunawan bisa ditetapkan sebagai tersangka kapan saja oleh KPK, jika
bukti-bukti yang ada memadai untuk itu.
Kita mendengar bahwa penunjukan Budi Gunawan oleh Presiden
Jokowi adalah karena kehendak Bu Mega. Kita juga mendengar bahwa penunjukan
jaksa agung adalah pengaruh Surya Paloh. Kita mendengar kelakar bahwa Pak
Jokowi adalah RI-1, Pak JK RI-2, Bu Megawati RI-0,5, dan Pak Surya Paloh
adalah RI-1,5.
Saya ingin menyikapi hal ini secara lebih mudah saja. Saya
tidak peduli apakah Jokowi mendapatkan tekanan dari Megawati atau dari Surya
Paloh atau ia didesak keras oleh kumpulan pedagang mebel untuk memasang
orang-orang mereka di posisi-posisi penting pemerintahan yang dipimpinnya.
Saya ingin menyampaikan hal sederhana saja bahwa presiden negara ini adalah
Jokowi dan wakilnya adalah Jusuf Kalla. Presiden sepenuhnya bertanggung jawab
terhadap baik buruk orang-orang yang ia pilih untuk menempati jabatan
tertentu.
Kita mendengar banyak narasi, yang sebaiknya kita abaikan
saja, tentang orang-orang jahat yang berlomba-lomba merapat di istana
presiden. Dan kita akan terus mendengar cerita-cerita rekaan tentang kejahatan
mereka jika pemerintahan ini berjalan mengecewakan.
Presiden negara ini adalah Jokowi dan wakil presiden
adalah Jusuf Kalla. Titik.
Jika Jokowi menunjuk orang-orang yang keliru, ia yang
sepenuhnya bertanggung jawab atas kekeliruan itu. Kita akan berlaku tidak
adil jika terhadap setiap kebijakan yang mendapat kecaman atau penunjukan
orang yang keliru, kita mengatakan bahwa itu karena desakan gendruwo atau
kuntilanak dari partai tertentu. Sebaliknya, untuk setiap manuver yang
mendapatkan pujian, kita mengatakan inilah Jokowi yang sebenarnya. Itu tidak
fair.
Baik atau buruk, ia yang bertanggung jawab. Jika ia tidak
mampu berdiri tegak dan mengatasi desakan dari orang-orang tertentu, ia yang
harus mempertanggungjawabkan kegagalannya mengatasi desakan itu.
Ia seorang
presiden. Para pendukung terbesarnya dalam pemilihan presiden lalu
orang-orang yang menyumbangkan uang receh, hanya berharap bahwa ia menjadi
presiden yang baik bagi negara ini, bagi mereka, bagi semua warga, baik yang
dulu memilih dirinya atau tidak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar