Lupakan
Politik Balas Budi demi Rakyat
Umbu TW Pariangu ; Dosen
Fisipol Undana, Kupang
|
JAWA
POS, 30 Januari 2015
TIM independen yang terdiri atas sembilan orang (Tim 9)
merekomendasikan kepada Presiden Jokowi untuk tidak melantik Komjen Budi Gunawan
sebagai kepala Polri karena berstatus tersangka. Meski berjanji
mempertimbangkannya, presiden dikhawatirkan agak sulit melaksanakan
rekomendasi tersebut lantaran berada dalam tekanan partai politik.
Tekanan politik itulah yang belakangan membuat sikap
politik Jokowi terkesan kompromistis dan terjebak dalam dilema. Apabila
melantik Budi dengan status tersangka, Jokowi pasti akan mendapat resistansi dari masyarakat luas maupun jaringan
relawan pendukungnya. Jangankan melantik, saat Jokowi menyatakan menunda
pelantikan Budi saja, moralitas publik sudah dibuat tersinggung.
Bagaimana tidak, jika di Filipina Presiden Ferdinand
Marcos yang dikenal diktator dan korup saja berani melantik
hakim bersih Efren Plana yang sangat sukses memberantas korupsi di Kantor
Pajak Filipina pada 1975, masak di sini presiden penerima Bung Hatta Anti-Corruption Award
(2010) yang dipilih langsung oleh rakyat justru ingin melantik
petinggi polisi berkasus?
Memang, ada opsi lain yang ditawarkan Tim 9, yakni
melantik Budi, lalu memintanya mundur sebagaimana yang diusulkan Menko
Polhukam dan Menkum HAM. Namun, cara tersebut bisa mengangkangi maksud pasal
11 ayat 5 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 11 ayat 5 tersebut berbunyi, ’’Dalam
keadaan mendesak, presiden dapat memberhentikan sementara Kapolri dan
mengangkat pelaksana tugas Kapolri dan selanjutnya dimintakan persetujuan
DPR.’’
Dalam penjelasannya disebutkan, yang dimaksud keadaan
mendesak adalah suatu keadaan yang secara yuridis mengharuskan presiden
menghentikan sementara Kapolri karena melanggar sumpah jabatan dan
membahayakan keselamatan negara. Pertanyaannya, sumpah jabatan apa yang
dilanggar Budi? Sulit dicerna akal sehat, seseorang yang baru disumpah,
kemudian langsung dinilai melanggar sumpah jabatan.
Budi bisa saja tidak mundur dengan alasan yang bersandar
pada penafsiran hukum tersebut. Indikasi awalnya pun sudah tampak ketika dia
bersikeras mempraperadilankan KPK ke pengadilan. Termasuk, melaporkan dua
komisioner KPK ke Kejaksaan Agung, yakni Ketua KPK Abraham Samad dan Wakil
Ketua KPK Bambang Widjojanto. Kini kontroversi Budi telah memicu ’’kuretase’’
dalam rahim pemberantasan korupsi, yakni seluruh pimpinan KPK sudah berstatus
terlapor dan tersandung masalah hukum (Porosberita.com,
28/1).
Bagaimanapun, pedang pengambilan keputusan tetap harus
dihunus presiden. Memang tidak mengenakkan, apalagi desas-desus
pemakzulan mulai bergaung di Senayan. Salah satunya diungkapkan politikus
PDIP Effendi Simbolon yang menganggap sikap dan keputusan Jokowi telah
membuka celah bagi kemungkinan pemakzulan dirinya. Misalnya,
ketidaktegasan pidato Jokowi dalam menengahi ketegangan antara KPK dan Polri
setelah penetapan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto sebagai tersangka (Kompas.com, 26/1).
Memang, sejauh ini Koalisi Indonesia Hebat (KIH) tidak
cukup kuat untuk menopang pemerintahan agar terhindar dari berbagai gangguan
politis, termasuk pemakzulan. Kuatnya posisi politik DPR yang dikuasai
Koalisi Merah Putih (KMP) dan masih rentannya relasi politik antara
pemerintah dan DPR membuat roda pemerintahan sewaktu-waktu bisa terganjal.
Apalagi jika benar sinyalemen bahwa kerukunan mendadak antara KMP dan KIH
yang menyetujui pencalonan Budi sebagai calon Kapolri merupakan strategi adu
domba untuk menjerumuskan Jokowi dalam lembah ketidakpercayaan dan kemarahan
publik. Dengan demikian, amunisi melancarkan pemakzulan terhadap presiden
semakin kuat. Yakni, menguatnya konsolidasi elite di DPR plus kekecewaan dan
’’perlawanan’’ rakyat terhadap pemerintah.
Kondisi seperti itu pernah terjadi saat Gus Dur menjadi
presiden dan Megawati –yang merupakan pemimpin partai mayoritas di DPR–
menjabat wakil presiden. PDIP dan orang-orang dekat Megawati memanfaatkan
keretakan hubungan poros tengah dengan Gus Dur yang berujung lengsernya Gus
Dur. Megawati pun lantas menggantikannya sebagai presiden.
Meski demikian, Jokowi tidak perlu terlalu grogi sehingga
bisa membuatnya salah mengambil keputusan. Sistem presidensial masih
memberikan kemewahan konstitusional bagi pemerintahan untuk tetap eksis
selama lima tahun. Menurut konstitusi, presiden dapat dimakzulkan oleh
sejumlah alasan hukum, bukan alasan politik. Yakni, melakukan pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat, perbuatan tercela,
dan tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden. Itu pun dengan sejumlah
tahap politik yang ’’rumit’’ serta memakan waktu.
Sejauh ini, kepercayaan rakyat terhadap Jokowi masih
terjaga. Hasil survei Indopolling Network (28/1) menyatakan, tingkat
kepercayaan terhadap kemampuan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden JK dalam
melaksanakan program prioritas Nawacita masih tinggi. Tingkat kepercayaan
tertinggi ada pada aspek menjaga toleransi kehidupan beragama (78,5 persen),
disusul membangun infrastruktur (69,8 persen) dan memperkuat posisi KPK (68,2
persen).
Modal itulah yang harus dirawat sebaik-baiknya oleh
Jokowi. Karena itu, lupakan saja soal Budi atau baik budi atau balas budi.
Kali ini, Jokowi sebaiknya membuktikan definisi demokrasinya (sewaktu debat
capres), yakni mendengarkan suara rakyat dengan membatalkan pelantikan Budi
dan melantik Kapolri lain yang memiliki rekam jejak penuh integritas,
kompetensi, dan akseptabilitas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar