Memudarnya
Pesona Bintang
Gun Gun Heryanto ; Direktur
Eksekutif The Political Literacy Institute;
Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
|
KORAN
SINDO, 28 Januari 2015
Pemerintahan Jokowi-JK sudah berjalan 100 hari. Ibarat
pesawat, fase take off kerap membuat para penumpangnya waswas. Keselamatan,
kenyamanan, dan sampai tidaknya ke tujuan sangat ditentukan oleh peran dan
tanggung jawab pilot bersama seluruh awak kabinnya. Pun demikian dengan
bangsa besar bernama Indonesia yang kini dipimpin oleh Jokowi, rising star
yang dimandati kekuasaan hingga lima tahun mendatang. Seratus hari bukanlah
indikator yang pas untuk menyimpulkan sukses tidaknya pemerintahan.
Tetapi fase awal ini sangat krusial untuk menandai
orientasi kekuasaan Jokowi. Percayakah publik akan kepiawaian Jokowi dalam
mengelola tekanan? Tentu ini ujian awal yang bisa diberi nilai oleh khalayak
guna menguatkan dukungan atau menjadi awal memudarnya pesona sang bintang.
Nalar Kritis
Hal menarik untuk diperhatikan dalam 100 hari Jokowi
memerintah adalah arus balik media massa; dan media sosial menjadi kanal
saluran kritik terhadap penguasa. Cukup lama Jokowi menjadi media darling.
Sejak menjadi wali kota Solo sosoknya impresif menghiasi bingkai berita
positif media.
Semakin kinclong dan kian memesona di pasar pemilih saat
Jokowi mendapatkan panggung istimewa di Pilkada DKI 2012. Inilah lompatan
karier politik Jokowi yang signifikan, karena dari Jakartalah sosok Jokowi
memancar terang lewat beragam media yang mengidolakannya. Jokowi pun
benarbenar menjadi Indonesian Idol saat memenangi kontes lima tahunan dan
melenggang menuju kursi RI-1 dengan liputan media yang gegap gempita.
Banyak media yang larut dalam euforia pemilu, dan larut
pula dalam arus besar dukungan kepada kedua kontestan, termasuk gegap
gempitanya dukungan pada sosok Jokowi. Jokowi, yang tampak populis, memang
memudahkan aspek resonansi media, wajar jika konstruksi realitas media turut
menghadirkan kebintangan Jokowi di semua lapisan masyarakat.
Kini, setelah 100 hari, media massa mulai banyak yang
memosisikan diri dalam fungsi sejatinya, yakni sebagai kekuatan kontrol
sosial. Jagat politik yang keruh dan kisruh akibat konflik KPK vs Polri
menjadi contoh nyata kebutuhan kita akan institusi media yang mampu
mengabarkan, bukan mengaburkan. Media dengan spirit jurnalisme, bukan media
propagandis.
Risiko Jokowi
sebagai penguasa memang akan diingatkan banyak orang. Wujud kepedulian rakyat
kepada pemimpinnya adalah melalui kritik dan masukan, agar penerima mandat
tak tersesat di labirin kekuasaan. Di banyak sejarah kekuasaan, banyak
pemimpin gagal karena kerap berkeinginan menyenangkan semua orang.
Banyak yang memprediksi bulan madu Jokowi
dengan rakyata kan berjalan cukup lama, tetapi realitas politik menghadirkan
turbulensi lebih dini. Faktor yang membuat pesona bintang Jokowi mulai
memudar di 100 hari pertamanya adalah kualitas proses pengisian jabatan.
Kasatmata terbaca publik, betapa derasnya tekanan, terutama dari mereka yang
merasa menjadi “investor” atau “pemegang saham”, di kekuasaan.
Saat Jokowi
menawarkan konsep koalisi tanpa syarat di masa kampanye, hal ini menjadi oase
di tengah kegersangan politik pragmatis dan memicu dukungan meski sebagian
kelompok kritis skeptis atas niat Jokowi tersebut. Publik menuntut
diterapkannya sistem meritokrasi dalam pengisian jabatan-jabatan publik
sehingga pemerintahan Jokowi tak tersandera oleh sejumlah orang bermasalah.
Publik
merespons positif saat Jokowi meminta masukan KPK dan PPATK dalam pengisian
pos-pos kementrian, meskipun sesungguhnya hal tersebut hak prerogatif
presiden. Sayangnya, hal yang sama tak dilakukan Jokowi saat pemilihan Jaksa
Agung dan mengalami antiklimaks waktu mengusulkan Komisaris Jenderal Budi
Gunawan (BG) sebagai calon kepala Polri tunggal.
Guliran isu
seputar pengisian jabatan ini memantik ketidakpuasan pada peran Jokowi yang
sesungguhnya telah dipercaya mengemban amanah kekuasaan. Publik yang
menyalurkan nalar kritisnya lewat media mulai “menggugat” kemampuan dan daya
tahan Presiden sebagai pemimpin sejati (the
real leader) sekaligus pengambil risiko (risk taker).
Tak
dinafikan, salah satu kekhawatiran publik pada sosok Jokowi saat kampanye
adalah kesungguhannya keluar dari bayang-bayang Megawati dan juga elite
parpol yang menjadi pengusung Jokowi-JK saat pilpres. Karenanya, hal yang
mestinya diperlihatkan Jokowi di awal kekuasaannya adalah pembuktian nyata
bahwa dirinya tak tersubordinasi siapa pun dan pihak mana pun.
Media pun
sangat tajam mengkritik blunder sejumlah orang di lingkaranJokowi. Misalnya
yang terhangat adalah pernyataan Menko Pulhukam Tedjo Edhy Purdijatno yang
menyangsikan kelompok-kelompok yang mendukung KPK. Orang-orang kunci di
sekitar Jokowi harusnya piawai menjadi pengurai masalah (problem solver) di tengah ketegangan-ketegangan yang mengemuka.
Peran Media
Masih ada
waktu bagi Jokowi untuk berbenah dan mendengarkan suara rakyat, salah satunya
yang tergambar di media massa. Jalan terjal dan bising ini harus dikawal
lewat fungsionalisasi media sebagai ruang publik demokratis. James Curran
dalam The Liberal Theory of Press
Freedom (1991), menyebutkan paling tidak ada enam fungsi yang dapat
diperankan oleh jurnalis dalam upayapengembangandemokrasi.
Pertama,
media menyediakan diri sebagai forum untuk debat publik. Dengan demikian,
media menjadi ruang publik demokratis bagi berbagai pro dan kontra yang
mengemuka di masyarakat, tanpa intervensi negara dan dominasi pasar
berlebihan. Kedua, media dapat mengartikulasikan pendapat umum.
Dalam konteks
ini, ada upaya menyistematisasikan berbagai keinginan dan tuntutan yang
berkembang di khalayak, hingga mewujud dalam satu penyikapan yang jelas dan
terarah. Ketiga, media memaksa pemerintah Jokowi mempertimbangkan apa-apa
yang dipikirkan dan dikehendaki oleh rakyat. Keempat, media bisa mendidik
warga negara untuk dapat memiliki informasi yang memadai bagi pengambilan
keputusan.
Ini artinya, media harus turut serta dalam
upaya membangun literasi politik guna membangun kapasitas politik warga
negara. Kelima, dapat menjadi saluran komunikasi politik bagi berbagai
kelompok masyarakat yang memiliki kepentingan berbeda- beda.
Keenam ,
media dapat membantu individu-individu melawan penyalahgunaan kekuasaan yang
dilakukan oleh pemerintahan Jokowi. Beragam kritik yang difasilitasi media
massa dan juga media sosial di 100 hari pertama Jokowi bisa jadi mulai
memudarkan pesona kebintangannya.
Tetapi,
harusnya hal ini dimaknai positif, yakni Jokowi harus bangkit dan menunjukkan
kapasitasnya sebagai pemimpin yang mampu merawat harapan publik. Jokowi kini
mengayuh di tengah banyak tekanan dan punya kewajiban untuk membuktikan pada
sejarah republik ini, layakkah dia mendapat bintang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar