Sabtu, 31 Januari 2015

Tambang Emas

Tambang Emas

Luthfi Anshori  ;  Alumnus Sejarah FIB UGM
KORAN TEMPO, 30 Januari 2015

                                                                                                                                     
                                                

"Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat" (ayat ketiga Pasal 33 UUD '45). Payung hukum untuk melindungi kepentingan nasional itu faktanya belum dapat diterapkan secara optimal. Banyak titik lokasi tambang tak lebih seperti kaveling-kaveling perusahaan asing. Langkah pemerintah SBY merevisi dan menerapkan kembali UU Minerba pun barangkali hanya dipandang sebagai gertak sambal oleh mereka.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba), pengganti UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan, menyeru perusahaan tambang agar melaksanakan proses hilirisasi terhadap mineral mentah atau bijih (ore). Dengan ketetapan itu, kini perusahaan tambang dilarang mengekspor mineral mentah, dan ini sama saja menyuruh mereka membuat pabrik pengolahan atau smelter di Indonesia.

Salah satu perusahaan tambang asing yang cukup populer di Indonesia adalah PT Freeport McMoran Gold. Perusahaan asing pertama yang memperoleh legitimasi pengelolaan sumber daya mineral di kawasan Ertsberg (dan Grasberg) di Gunung Jayawijaya, Papua, ini melakukan aktivitas pertambangannya dengan dasar kontrak karya yang pertama kali diteguhkan pada 1967.

Dalam situs resmi Freeport McMoran Gold, www.fcx.com, disebutkan bahwa pemilikan Indonesia atas saham Freeport hanya sebesar 9,36 persen, sementara sisanya adalah milik Freeport McMoran Gold. Komposisi pemilikan saham yang sulit diterima akal sehat. Apalagi bila kita melihat dampak sistemik dan masif yang ditimbulkan dari aktivitas pertambangan tersebut.

Kontrak karya kedua untuk perusahaan milik Forbes Wilson itu diperoleh pada 1991 dengan izin operasi selama 30 tahun-dan opsi perpanjangan selama 10 tahun. Ihwal kontrak yang sedianya berakhir pada 2021 itu, belakangan diketahui telah dimulai pembicaraan tentang amendemen kontraknya oleh pemerintah SBY. Izin eksploitasi tembaga, perak, dan emas ada kemungkinan akan diperpanjang hingga 2041.

Sejumlah persyaratan dari pemerintah Indonesia dibebankan kepada negosiasi perpanjangan kontrak yang ketiga kali ini. Pertama, Freeport menyanggupi pembangunan pabrik pemurnian atau smelter. Kedua, Freeport bersedia menaikkan royalti dari yang semula hanya 1 persen menjadi 3,75 persen. Ketiga, Freeport menyetujui divestasi saham sebesar 30 persen kepada pemerintah Indonesia. Keempat, Freeport menjamin penggunaan tenaga kerja lokal hingga 100 persen, dan menyanggupi pengurangan area pertambangan dari 212.950 hektare menjadi 125.000 hektare.

Regulasi baru yang ditetapkan pemerintah sebelum era Jokowi memang bertujuan meningkatkan bargaining position Indonesia di hadapan Freeport. Berbagai syarat yang termaktub dalam MoU mungkin saja masih jauh dari harapan kita, apalagi bila kita sadari bahwa ternyata royalti yang selama ini kita terima hanya sebesar 1 persen, dan lagi tuntutan divestasi saham yang tak sampai menyentuh angka 51 persen--jumlah yang jamak diberlakukan terhadap perusahaan-perusahaan asing yang mendirikan fondasi ekonomi di Indonesia. Dan sudikah bila Freeport mengurangi luas area ladang emasnya, sementara mereka sendiri, tanpa sepengetahuan Indonesia, mulai memperluas area garapannya hingga kawasan Grasberg-yang banyak "ditumbuhi" emas.

Sebelumnya, Freeport melakukan tindakan non-kooperatif ketika tuntutan pemerintah untuk membuat smelter diulur-ulur pelaksanaannya. Hingga tenggat yang diberikan pemerintah (24 Januari 2015), Freeport belum melakukan upaya apa pun untuk memulai pembangunan fasilitas yang nantinya sangat penting untuk melanjutkan pembahasan amendemen kontrak.

Kementerian ESDM pun mengancam akan membekukan izin ekspor konsentrat tembaga Freeport bila tuntutan itu tidak segera dilaksanakan. Gertakan Menteri ESDM tersebut rupanya melunakkan sikap Freeport. Mereka berjanji segera memulai pembangunan smelter. Dua lokasi yang sedang dijajaki adalah Papua dan Gresik. Adapun nilai investasi dari proyek ini adalah sebesar US$ 2,3 miliar.

Di zaman globalisasi seperti ini, mewujudkan cita-cita welfare state melalui pemanfaatan sumber daya alam memang seperti delusi di siang hari. Negara tidak lagi mampu mendefinisikan istilah "kepentingan nasional". Jargon nasionalisme itu jelas tidak akan berdaya bila berhadapan dengan aliansi antarperusahaan, stateless corporations, dan tekanan dunia melalui institusi semacam World Bank, WTO, maupun IMF (Tarli Nugroho, 2008: 112-113).

Meski tidak dapat dilaksanakan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, nasionalisasi Freeport seharusnya bisa terjadi di masa depan, sekalipun diselenggarakan melalui cara seksama. Kita tentu tidak bisa terus-menerus mengabaikan potensi komoditas tambangnya-yang oleh salah seorang eksekutif Freeport McMoran Gold, George A. Maley, digambarkan memiliki deposit terbesar di dunia, dan cadangan bijih tembaga yang paling besar ketiga di dunia.

Dalam Grasberg, buku setebal 384 halaman, Maley juga memaparkan cadangan bijih tembaga pada 1995 yang bernilai US$ 40,3 miliar, dan masih akan memberikan profit untuk 45 tahun ke depan. Secara ironis, Maley menyimpulkan, "Biaya produksi tambang emas dan tembaga terbesar di dunia yang berada di Papua itu merupakan yang termurah di dunia."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar