Tambang
Emas
Luthfi Anshori ; Alumnus
Sejarah FIB UGM
|
KORAN
TEMPO, 30 Januari 2015
"Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat" (ayat ketiga Pasal 33 UUD '45). Payung hukum untuk melindungi
kepentingan nasional itu faktanya belum dapat diterapkan secara optimal.
Banyak titik lokasi tambang tak lebih seperti kaveling-kaveling perusahaan
asing. Langkah pemerintah SBY merevisi dan menerapkan kembali UU Minerba pun
barangkali hanya dipandang sebagai gertak sambal oleh mereka.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batu Bara (Minerba), pengganti UU No. 11 Tahun 1967 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan, menyeru perusahaan tambang agar
melaksanakan proses hilirisasi terhadap mineral mentah atau bijih (ore).
Dengan ketetapan itu, kini perusahaan tambang dilarang mengekspor mineral
mentah, dan ini sama saja menyuruh mereka membuat pabrik pengolahan atau
smelter di Indonesia.
Salah satu perusahaan tambang asing yang cukup populer di
Indonesia adalah PT Freeport McMoran Gold. Perusahaan asing pertama yang
memperoleh legitimasi pengelolaan sumber daya mineral di kawasan Ertsberg
(dan Grasberg) di Gunung Jayawijaya, Papua, ini melakukan aktivitas
pertambangannya dengan dasar kontrak karya yang pertama kali diteguhkan pada
1967.
Dalam situs resmi Freeport McMoran Gold, www.fcx.com,
disebutkan bahwa pemilikan Indonesia atas saham Freeport hanya sebesar 9,36
persen, sementara sisanya adalah milik Freeport
McMoran Gold. Komposisi pemilikan saham yang sulit diterima akal sehat.
Apalagi bila kita melihat dampak sistemik dan masif yang ditimbulkan dari
aktivitas pertambangan tersebut.
Kontrak karya kedua untuk perusahaan milik Forbes Wilson
itu diperoleh pada 1991 dengan izin operasi selama 30 tahun-dan opsi
perpanjangan selama 10 tahun. Ihwal kontrak yang sedianya berakhir pada 2021
itu, belakangan diketahui telah dimulai pembicaraan tentang amendemen
kontraknya oleh pemerintah SBY. Izin eksploitasi tembaga, perak, dan emas ada
kemungkinan akan diperpanjang hingga 2041.
Sejumlah persyaratan dari pemerintah Indonesia dibebankan
kepada negosiasi perpanjangan kontrak yang ketiga kali ini. Pertama, Freeport
menyanggupi pembangunan pabrik pemurnian atau smelter. Kedua, Freeport
bersedia menaikkan royalti dari yang semula hanya 1 persen menjadi 3,75
persen. Ketiga, Freeport menyetujui divestasi saham sebesar 30 persen kepada
pemerintah Indonesia. Keempat, Freeport menjamin penggunaan tenaga kerja
lokal hingga 100 persen, dan menyanggupi pengurangan area pertambangan dari
212.950 hektare menjadi 125.000 hektare.
Regulasi baru yang ditetapkan pemerintah sebelum era
Jokowi memang bertujuan meningkatkan bargaining position Indonesia di hadapan
Freeport. Berbagai syarat yang termaktub dalam MoU mungkin saja masih jauh
dari harapan kita, apalagi bila kita sadari bahwa ternyata royalti yang
selama ini kita terima hanya sebesar 1 persen, dan lagi tuntutan divestasi
saham yang tak sampai menyentuh angka 51 persen--jumlah yang jamak
diberlakukan terhadap perusahaan-perusahaan asing yang mendirikan fondasi
ekonomi di Indonesia. Dan sudikah bila Freeport mengurangi luas area ladang
emasnya, sementara mereka sendiri, tanpa sepengetahuan Indonesia, mulai
memperluas area garapannya hingga kawasan Grasberg-yang banyak
"ditumbuhi" emas.
Sebelumnya, Freeport melakukan tindakan non-kooperatif
ketika tuntutan pemerintah untuk membuat smelter diulur-ulur pelaksanaannya.
Hingga tenggat yang diberikan pemerintah (24 Januari 2015), Freeport belum
melakukan upaya apa pun untuk memulai pembangunan fasilitas yang nantinya
sangat penting untuk melanjutkan pembahasan amendemen kontrak.
Kementerian ESDM pun mengancam akan membekukan izin ekspor
konsentrat tembaga Freeport bila tuntutan itu tidak segera dilaksanakan.
Gertakan Menteri ESDM tersebut rupanya melunakkan sikap Freeport. Mereka
berjanji segera memulai pembangunan smelter. Dua lokasi yang sedang dijajaki
adalah Papua dan Gresik. Adapun nilai investasi dari proyek ini adalah
sebesar US$ 2,3 miliar.
Di zaman globalisasi seperti ini, mewujudkan cita-cita welfare state melalui pemanfaatan
sumber daya alam memang seperti delusi di siang hari. Negara tidak lagi mampu
mendefinisikan istilah "kepentingan nasional". Jargon nasionalisme
itu jelas tidak akan berdaya bila berhadapan dengan aliansi antarperusahaan, stateless corporations, dan tekanan
dunia melalui institusi semacam World Bank, WTO, maupun IMF (Tarli Nugroho, 2008: 112-113).
Meski tidak dapat dilaksanakan dalam tempo yang
sesingkat-singkatnya, nasionalisasi Freeport seharusnya bisa terjadi di masa
depan, sekalipun diselenggarakan melalui cara seksama. Kita tentu tidak bisa
terus-menerus mengabaikan potensi komoditas tambangnya-yang oleh salah
seorang eksekutif Freeport McMoran Gold,
George A. Maley, digambarkan memiliki deposit terbesar di dunia, dan cadangan
bijih tembaga yang paling besar ketiga di dunia.
Dalam Grasberg, buku setebal 384 halaman, Maley juga
memaparkan cadangan bijih tembaga pada 1995 yang bernilai US$ 40,3 miliar,
dan masih akan memberikan profit untuk 45 tahun ke depan. Secara ironis,
Maley menyimpulkan, "Biaya
produksi tambang emas dan tembaga terbesar di dunia yang berada di Papua itu
merupakan yang termurah di dunia." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar