Menyinergikan
Lembaga Penegak Hukum
Joko Wahyono ; Analis
pada Studi Politik Program Pascasarjana
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 29 Januari 2015
PENEGAKAN hukum dalam pemberantasan
korupsi di negeri ini benar benar tengah diuji. KPK dan Polri terlibat dalam
aksi saling sandera kasus dan wibawa. Setelah Komjen (Pol) Budi Gunawan
ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, Selasa (13/1), karena kasus dugaan
korupsi, Jumat (23/1), giliran Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto, ditangkap
dan ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Mabes Polri terkait kasus
sengketa Pilkada di Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, pada 2010.
Akibatnya, drama perseteruan KPK dan Polri semakin meruncing.
Penetapan seseorang menjadi
tersangka memang menjadi domain hukum. Namun, tak bisa dinafikan bahwa proses
di domain hukum tersebut tak bisa terhindar dari anasir-anasir politik yang
melingkupinya. Terlebih, politik memiliki logika dan hukum sendiri. Premis
politik sering kali bergerak jauh lebih cepat ketimbang proses hukum.Bahkan,
hukum politik yang bertumpu pada kebenaran logis (opini publik) terkadang
jauh lebih kejam daripada kebenaran empiris (fakta hukum) itu sendiri. Tak
heran jika muncul persepsi di publik bahwa apa yang dilakukan Polri merupakan
wujud perlawanan dan pelemahan KPK. Yang mencuat ke permukaan ialah upaya
kriminalisasi KPK.Padahal, publik berharap agar perseteruan KPK dan Polri,
baik di level personal maupun institusional ini cepat selesai.
Lepaskan ego
Kita melihat bahwa konflik antara
KPK dan Polri lebih disebabkan oleh cara pandang satu dimensi dan totaliter.
Menurut Herbert Marcuse dalam One
Dimensional Man (1964), pemikiran satu dimensi secara sistematis
dipromosikan perekayasa politik dan pemasok informasinya. Wacana-wacananya
dihuni hipotesis yang divalidasi sendiri se cara monopolistik dan
terus-menerus menjadi definisi yang menghipnotis. Akhirnya, semua menjadi
politis. Politik itu sendiri membuat orang menjadi miopia (berkacamata kuda),
skizofrenia, dan berorientasi jangka pendek.
Kita khawatir jika publik
menerjemahkan persoalan KPK dan Polri ini sebagai politik balas dendam. Jika
itu yang terjadi dan terusmenerus dipelihara, hanya akan mengaburkan esensi
masalah yang sebenarnya, yakni korupsi. Bahkan, konflik antara KPK dan Polri
malah kontraproduktif dan melemahkan pemberantasan korupsi. Karena itu, di
tengah tantangan yang semakin berat, KPK dan Polri kini harus mampu
melepaskan ego sektoral atau egocentric righteousness, yakni merasa lebih
baik atau `superior' karena masing-masing merasa yakin benar. Sebab, belenggu
ego sektoral ini hanya akan membuat mereka cenderung menjadi agresif, ingin
berkuasa, dan merasa menjadi lembaga yang super dan paling benar. Semua harus
sadar bahwa era demokrasi ialah semangat untuk menjunjung tinggi semangat
untuk menjunjung tinggi keterbukaan.
Maka, pola komunikasi yang
dibangun bukan seperti yang diistilahkan oleh Karl Popper (2002) bersifat pejorative, yakni memosisikan diri
sebagai pihak yang paling benar atau falsifikatif, yakni memosisikan pihak
lain sebagai pihak yang salah dan keliru. Namun sebaliknya, yang justru perlu
dibangun ialah rasa pengakuan diri secara asertif untuk menerima kesalahan
diri dan mengakui kebenaran di pihak lain. Karena itu, jika merujuk Lieven
Boeve (2003), bahwa setiap kebenaran ketika dikonteskan dengan kebenaran
lain, hanya akan berujung pada defisit kebenaran.
Bangun sinergi
Pada dasarnya KPK dan Polri
sama-sama menjadi tulang punggung masyarakat dalam menegakkan hukum dan
memberantas korupsi. Perang melawan korupsi membu tuhkan napas dan tenaga
lintas sektoral, sehingga sinergisme antara lembaga penegak hukum menjadi
suatu keniscayaan. Dengan mengandalkan KPK untuk meringkus rayap dan tikus
penggarong keuangan negara ialah harapan yang tidak realistis, mengingat
keterbatasan KPK dan peta sebaran korupsi.
Karena itu, normalisasi kehidupan
penegakan hukum mutlak dilakukan dengan cara menjauhkan aparat-aparatnya dari
cara berpikir satu dimensi dan totaliter.KPK dan Polri harus membebaskan diri
dari mitos-mitos yang membuat mereka miopik, yakni berorientasi jangka
pendek. Apa yang selama ini menjadi ego sektoral harus dikesampingkan dan
digantikan dengan hubung an saling menjaga kepercayaan. Pada konsep yang
lebih integratif, pola hubungan antara KPK dan Polri juga harus berubah dari
hubungan yang sebelumnya independen menjadi interdependen.
Sehingga, tanggung jawab moral
setiap subsistem lembaga penegak hukum juga akan menjadi tanggung jawab moral
bagi subsistem yang lainnya. KPK dan Polri tidak selayaknya berbenturan,
tetapi saling mendukung dan bersinergi demi pembersihan negara dari virus
korupsi. Kalaupun harus berkonflik, harus dikelola dengan cara-cara yang
lebih elegan dan penuh adab demi pendidikan politik serta hukum bagi publik.
Pola komunikasi harus dibangun
secara sehat dan terbuka demi terciptanya kerangka hubungan yang lebih
sinergis di antara sesama aparat penegak hukum. Etika kejujuran, integritas,
dan kredibilitas moral, serta proporsionalitas harus dikedepankan dalam
setiap pengambilan keputusan. Ikhtiar untuk itu pada gilirannya akan berujung
pada peningkatan kepercayaan publik terhadap institusi. Kehadiran Presiden
Jokowi mutlak dibutuhkan untuk mencari terobosan alternatif bagi terciptanya
konsensus baru dalam rangka mengakhiri konflik KPK dan Polri.
Presiden harus memastikan agar
persoalan ini menjadi momentum bagi KPK dan Polri untuk saling berbenah diri.
Ia harus membangun kesamaan kesadaran bahwa pemberantasan korupsi ialah
prioritas tertinggi yang harus dihayati semua penegak hukum tanpa terkecuali.
Jangan sampai besarnya harapan publik membuat mereka abai terhadap problem
korupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar