Hak
Impunitas Hukum
Abdul Wahid ; Pengajar
Program Pascasarjana Ilmu hukum Unisma, Malang
|
KORAN
JAKARTA, 29 Januari 2015
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus saja digerogoti
dan dilemahkan. Semakin banyak masyarakat entah direkayasa atau benar
ramai-ramai mengadukan unsur pimpinan lembaga tersebut.
Tak heran bila Ketua KPK, Abraham Samad, minta
perlindungan kepada Panglima Tentara Nasional Indonesia, Jenderal Moeldoko.
Selain itu, KPK juga mengajukan perlindungan hukum (impunitas) kepada Presiden
Joko Widodo.
KPK meminta Presiden Joko Widodo membuat peraturan
pemerintah pengganti undang-undang (perppu) tentang impunitas atau kekebalan
hukum untuk komisioner dan seluruh pegawai KPK. Tujuannya melindungi KPK dari
kriminalisasi dan memperlancar proses pemberantasan korupsi.
Permintaan disampaikan Wakil Ketua KPK, Adnan Pandu Praja.
Menurut dia, unsur pemimpin KPK sudah membahas soal impunitas ini.
Namun, belum diserahkan ke Presiden Jokowi. Perlukah
impunitas tersebut? Permintaan tersebut tak dapat dilepaskan dari ekses
penangkapan Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto, oleh Bareskrim Mabes Polri.
Impunitas hanya berlaku selama bekerja di KPK. Impunitas diperlukan agar
pemberantasan korupsi tidak terhambat (Koran
Jakarta, 26 Januari 2015).
Usulan itu perlu dikritisi karena tidak ada dalam
ketentuan perundangan. Setiap warga negara kedudukannya sama di depan hukum,
tak ada perbedaan etnis, budaya, agama, pendidikan, atau jabatan. Semua harus
diperlakukan sama di depan hukum.
“All human beings are born free
and equal in dignity and rights. they are endowed with reason and conscience
and should act towards one another in a spirit of brotherhood” (Pasal 1 Universal Declaration of Human Rights/UDHR).
Jadi, setiap orang dilahirkan merdeka dan memiliki
martabat serta hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal budi dan hendaknya
bergaul satu sama lain dalam semangat persaudaraan.
Hak-hak yang sama seperti disebut UDHR merupakan pengakuan
universal, tidak seorang pun boleh dibedakan, termasuk pejabat KPK atau
aparat kepolisian bila kedapatan terlibat tindak pidana (straafbaarfeit). Pertanggungjawaban secara egaliter merupakan
bentuk perlindungan keadaban yuridis. Tidak ada yang lebih superior di dalam
hukum.
Konsekuensi
Konsekuensinya, tidak pada tempatnya seseorang memperoleh
hak impunitas, meski dia pejabat sekalipun. Pasal 28 D Ayat (1) Undang-Undang
Dasar 1945 amendemen IV secara eksplisit menyebutkan setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
sama di hadapan hukum.
Kata “setiap” dalam konstitusi itu ditafsirkan oleh
Zamroni (2013) sebagai pengakuan berbasis kesederajatan, tanpa diskriminasi.
Jadi, segala bentuk pembedaan harus ditolak. Konstitusi berlaku bagi seluruh
warga, baik orang biasa maupun penyelenggara peradilan.
Keduanya memunyai tempat yang sama untuk mendapatkan
proteksi hukum. Kalau ada di antara keduanya yang berupaya membuat perbedaan,
bisa menimbulkan kekacauan hukum.
KPK banyak mendapat apresiasi publik karena bekerja sangat
baik dalam memberantas korupsi sekalipun menyangkut orang-orang kuat di
lingkungan parpol, eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
Perlakuan berbeda dari sisi hukum bisa menjadi arus balik.
Presiden dan Wakil Presiden saja tetap dapat dijatuhkan atau di-impeach jika
terbukti melanggar hukum, seperti makar, menerima gratifikasi, suap, korupsi,
perbuatan tercela, dan sebagainya.
Artinya, keduanya bisa tidak memunyai hak impunitas dari
kesalahan yang diperbuat. Perppu sebagaimana dimina KPK bisa ditafsirkan,
lembaga tersebut tidak bisa salah dalam menjalankan tugas memberantas
korupsi.
Jika pun sampai melakukan kesalahan karena sedang
menjalankan tugas pemberantasan korupsi atau diberi hak privilitas impunitas,
sepanjang sedang bertugas, aparat penegak hukum dari institusi peradilan mana
pun tidak boleh mengganggu.
Kees Bertens menyatakan dalam pemikiran Romawi Kuno, kata ius-iurus (Latin: hak) hanya
menunjukkan hukum dalam arti objektif.
Dengan kata lain, hak dilihat sebagai keseluruhan
undang-undang, aturan-aturan, dan lembaga-lembaga yang mengatur kehidupan
masyarakat demi kepentingan umum. Berdasarkan pemikiran Bertens itu,
permintaan KPK atas hak impunitas, berlawanan dengan kepentingan umum.
Apalagi, KPK bekerja demi kepentingan umum. Itu sesuai
dengan Pasal 5 huruf (d) Undang-undang Nomor 39 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Di situ disebutkan dalam menjalankan
tugas dan wewenangnya, Komisi Pemberantasan Korupsi berasaskan kepentingan
umum.
Jika pun ada di antara koruptor yang keberatan dengan cara
kerja KPK, tidak serta merta, lembaga tersebut harus minta negara menyediakan
senjata baru (perppu) untuk melawannya. Ini justru menunjukkan dirinya tidak
memunyai stamina prima.
Usulan KPK terhadap hak impunitas merupakan upaya
memperoleh hak privasi atau eksklusif. Mereka tak ubahnya menempatkan diri
sebagai subjek yang selalu benar.
Mereka merasa tidak mungkin melakukan tindakan yang
menyimpang dari hukum selama menjabat. Presiden Jokowi tidak perlu meluluskan
permohonan tersebut karena bisa mencederai hukum.
Asalkan KPK
teguh menjaga kode etik profesinya dan tidak tergoda melakukan pelanggaran
norma yuridis, sikap ini menjadi “impunitas” tersendiri. Jadi, tidak akan ada
yang mengganggu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar