Digital
Disruption
Rhenald Kasali ; Pendiri
Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali
|
KORAN
SINDO, 29 Januari 2015
Sekitar 65 juta tahun silam, dua asteroid menghantam bumi.
Dampaknya Anda tentu pernah mendengar, yakni punahnya dinosaurus dan sejumlah
makhluk mamalia lainnya.
Rupanya fenomena ala asteroid tersebut tak hanya terjadi
sekali. Menurut Peter H Damianis dan Steven Kotler dalam bukunya BOLD: How to Go Big, Create Wealth and
Impact The World (2014), fenomena tersebut bakal berulang. Hanya bentuk
asteroidnya kali ini bukan lagi berupa bebatuan, melainkan teknologi.
Di antaranya teknologi digital. Fenomenanya ada di depan
mata. Anda tentu kerap mendengar kata ”berubah” atau ”punah”. Maksudnya,
kondisi memaksa kita untuk berubah. Jika tidak, kita bakal tersingkir.
Contohnya tersebar di mana-mana. Di luar negeri, Anda tentu pernah mendengar
nama Kodak, Nokia, Palm, Borders, RIM, Compaq, atau Circuit City. Nama-nama
itu kini terlempar dari kancah persaingan bisnis. Itu pada level korporasi.
Sekarang kita bahas level negara.
Ini soal tol laut yang didukung kluster industri dan ICT
yang memadai. Bayangkan kalau Pelabuhan Sorong yang luasnya ribuan hektare
kelak menjadi pelabuhan internasional. Bisa-bisa muatan dari PNG dan negara
di sekitarnya yang akan menuju Pasifik beralih ke sana. Dalam kasus lain,
beberapa waktu lalu, dalam wawancaranya dengan CNBC , PM Finlandia Alexander
Stubb menyalahkan Apple atas merosotnya kinerja ekspor utama negaranya, yang
berimbas pada anjloknya kinerja perekonomian.
Bayangkan apa jadinya bisnis pelabuhan Singapura dan Brisbane
(Australia). Anda tentu bisa menduga-duga mengapa PM Stubb menyalahkan Apple.
Saya kutipkan saja pernyataannya, ”iPhone
telah membunuh Nokia dan iPad menghantam industri kertas kami.” Bisnis
telekomunikasi, utamanya Nokia, dan kertas adalah dua andalan ekspor
Finlandia.
Sepanjang 1998 sampai 2007, Nokia menyumbang kira-kira
seperempat dari pertumbuhan ekonomi Finlandia. Lalu anggaran riset Nokia
sendiri bisa mencapai 30% dari total anggaran riset negara itu. Kolega saya
bercerita, begitu besarnya peran Nokia sehingga di negaranya mereka mendapat
perlakuan khusus.
Di bandara, tamu-tamu Nokia tak perlu melewati prosedur
kedatangan sebagaimana tamu-tamu biasa. Ada jalur khusus untuk mereka. Kini?
Cobalah Anda tengok ke kanan-kiri. Siapa yang masih memakai ponsel atau
smartphone merek Nokia? Padahal dulu ia menyandang label sebagai handphone sejuta umat.
Kini, dalam setiap kelompok, jumlah pemiliknya mungkin
bisa dihitung dengan jari. Begitulah, hadirnya kebijakan baru dan inovasi
teknologi mampu mengubah perilaku konsumen dan pada akhirnya mengguncang
perekonomian suatu negara.
Fenomena perubahan perilaku konsumen akibat hadirnya
teknologi baru, saya kira, bukan khas Finlandia. Itu terjadi di seluruh
dunia, termasuk di negara kita. Belum lama ini saya membaca hasil survei
tentang perubahan perilaku konsumen akibat hadirnya smartphone. Ada dua yang
saya catat. Pertama, sebanyak 95% responden menggunakan smartphone untuk
melakukan sesuatu menjelang tidur.
Kedua, separuh dari responden ketika terbangun di tengah
malam—apa yang mereka lakukan? Langsung mengecek smartphone -nya. Mirip bukan
dengan yang terjadi dinegara kita! Saya bisa menambah beberapa. Anda pernah
mendengar kata twiplomacy? Itu
adalah diplomasi yang menggunakan media sosial Twitter. Beberapa pemimpin
dunia menggunakannya.
Presiden Amerika Serikat Barack Obama, Paus Franciscus
dari Vatikan, bahkan Ratu Elizabeth asal Inggris dan PM Rusia Vladimir Putin.
Di banyak negara, selfie menjadi fenomena yang luar biasa. Anda pernah
mendengar cerita tentang Xenia Ignatyeva, seorang remaja Rusia yang berusia
17 tahun.
Saking tergila-gilanya dengan selfie dan untuk membuat
teman-temannya terkesan, Xenia memanjat sebuah jembatan. Ia melakukan selfie
dari ketinggian jembatan tersebut. Malang, keseimbangannya goyah dan Xenia
pun terjatuh. Tubuhnya tersangkut di kabel listrik. Ia tewas. Kasus Xenia
tentu tak layak ditiru. Tapi, siapa yang bisa membantah bahwa kita begitu
tergila-gila melakukan selfie?
Bahkan saat mengunjungi pabrik telepon seluler di
negaranya, Presiden Korea Utara pun berbaik hati mau ber-selfie ria dengan
sejumlah karyawan di sana. Selfie mampu mencairkan kekakuan Kim Jong-un.
Begitulah, teknologi mengubah perilaku kita. Bahkan bukan hanya itu.
Teknologi digital membuat dunia hanya memiliki dua kewarganegaraan.
Pertama, digital
native. Mereka adalah anak-anak kita yang sejak lahir langsung terkoneksi
dengan teknologi digital tanpa perlu bersusah payah mempelajarinya. Merekalah
pribumi di dunia digital ini. Ukuran pribumi bukan lagi tanah kelahiran, tapi
tahun kelahiran dan apakah mereka mahir atau tidak berselancar di dunia
digital.
Kedua, digital
immigrant. Mereka adalah orang-orang tua, seperti kita, yang mesti
bersusah payah untuk memahami berbagai produk digital. Sudah gaptek,
serbatelat, konservatif, gak tahu apa-apa, kaget-kaget, malas pula belajar
dari bawah. Celakanya, di kantor-kantor generasi imigran ini justru tengah
berkuasa. Lantas apa akibatnya bagi bisnis? Mudah saja. Terjadi generation gap yang lumayan memudarkan
banyak perusahaan dalam menghadapi persaingan.
Ketika pasar beralih ke kaum muda, mereka masih berkutat
di segmen tua yang berakibat perusahaan tampak tua dan kumuh, lalu
perlahan-lahan transit, istirahat, lalu punah. Kedua , dunia ini diubah dan
diperbarui oleh kaum muda.
Yang kalau karyanya tak tertampung di lumbung-lumbung
dinosaurus tua yang branding-nya
sudah kuat, mereka akan menciptakan platform sendiri dan menjadi ledakan
asteroid baru yang menciptakan bisnis-bisnis baru. Itulah yang tengah terjadi
di sektor keuangan dan perbankan yang dikuasai bankir-bankir tua. Maafkan
saya harus mengatakan demikian.
Tengoklah kedatangan alat-alat pembayaran baru yang sama
sekali bukan dikendalikan perbankan: Square,
Pay Pal, Google Wallet, dan seterusnya. Makanya belum lama ini Bill Gates
membuat pernyataan yang patut direnungkan para CEO perbankan: Bangking is
necessary, banksarenot. Nah.... ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar