Dimensi
Konflik Politik
Ignas Kleden ; Sosiolog;
Ketua Badan Pengurus Komunitas Indonesia untuk Demokrasi
(KID)
|
KOMPAS,
27 Januari 2015
DALAM karya klasiknya, Democracy
in America, bangsawan Perancis, Alexis de Tocqueville, menulis dalam pengantar
bukunya tahun 1830-an: ”Apakah manusia selalu menghuni suatu dunia seperti
yang ada sekarang, di mana segala sesuatu tidak berada dalam hubungan yang
benar dengan yang lain, di mana kebajikan hadir tanpa kecerdasan, dan
kecerdasan ada tanpa kehormatan; di mana cinta akan tata tertib dikacaukan
dengan selera untuk penindasan, dan penghormatan yang suci terhadap kebebasan
dikacaukan dengan pelecehan terhadap hukum; di mana sinar yang dipancarkan
oleh hati nurani atas tindakan manusia menjadi redup, dan tidak ada lagi yang
terlarang atau diizinkan, terhormat atau memalukan, salah atau benar?”
Tiap ketegangan dan krisis politik mempunyai satu manfaat,
yaitu memperlihatkan mengkristalnya kepentingan-kepentingan politik dan
kekuatan yang mendukung setiap kepentingan yang saling bersaing. Ketegangan
yang muncul karena usul Presiden Joko Widodo kepada DPR pada 9 Januari 2015
agar menyetujui penunjukan Komisaris Jenderal (Pol) Budi Gunawan (BG) sebagai
Kepala Kepolisian Negara RI dan sambutan DPR yang, di luar dugaan, mendukung
pencalonan BG telah menimbulkan heboh politik, khususnya setelah KPK
mengumumkan pada 13 Januari 2015 bahwa calon bersangkutan menjadi tersangka
oleh KPK. Ketegangan agak mereda setelah Presiden Jokowi mengumumkan pada 16
Januari bahwa pelantikan BG ditunda.
Krisis politik tersebut patut dipandang sebagai hanya
salah satu peristiwa politik yang memperlihatkan relasi dan oposisi di antara
beberapa kekuatan sosial-politik yang membawa serta kepentingan politik
mereka. Kalau hubungan di antara berbagai kekuatan politik itu tidak
dibenahi, krisis yang sama akan muncul kembali kalau terjadi benturan
kepentingan dalam pola yang sama di kemudian hari.
Dalam keadaan sekarang relasi dan oposisi itu dapat muncul
dalam hubungan (1) di antara eksekutif dan legislatif, (2) di antara presiden
dan koalisi pendukungnya, (3) di antara koalisi-koalisi dalam DPR, (4) di
antara presiden dan kelompok masyarakat sipil, khususnya kelompok-kelompok
relawan, (5) di antara kepentingan oligarki dan kepentingan demokrasi, dan
(6) di antara prosedur politik dan substansi politik. Setiap hubungan ini
akan ditinjau secara singkat dalam tulisan ini.
Adanya koalisi pendukung presiden menjadi penting karena
dalam Badan Legislatif koalisi pendukung ini menjadi penyeimbang koalisi
oposisi dalam menyetujui atau menolak kebijakan pemerintah dan
program-program pemerintah yang mengimplementasikan kebijakan tersebut. Tanpa
adanya koalisi pendukung yang kuat, kebijakan apa pun dari pemerintah dapat
saja dijegal oleh oposisi dalam DPR. Di negara-negara dengan demokrasi yang
sudah mapan persaingan di antara koalisi didasarkan pada ideologi setiap
pihak. Maka koalisi yang yakin akan pentingnya pertumbuhan ekonomi, khususnya
pertumbuhan industri, akan berhadapan dengan koalisi yang membela terawatnya
lingkungan hidup. Atau sejauh menyangkut pengendalian pertumbuhan penduduk,
persaingan terjadi di antara koalisi yang mengambil posisi pro life dan
koalisi yang menganut paham pro choice.
Seorang eksekutif tertinggi seperti presiden diharapkan
atau bahkan dituntut membuat kebijakan yang sejalan dengan ideologi koalisi
pendukungnya dan bukannya harus sesuai keinginan seorang pemimpin partai
dalam koalisi, yang lebih merupakan kepentingan pribadi dan bukannya
kepentingan ideologi yang dianut dalam koalisi pendukung. Dalam kasus
Indonesia, ideologi partai-partai politik dan ideologi koalisi politik pada
umumnya belum jelas atau baru jelas dalam berbagai pernyataan politik, tetapi
tidak dioperasionalisasikan dalam program-program politik. Akibatnya, sikap
partai dan koalisi lebih bergantung pada kehendak pemimpin partai yang paling
dominan dalam koalisi, meskipun pelaksanaan keinginan ketua partai tersebut
dapat merugikan atau membahayakan posisi koalisi yang dipimpinnya.
Ketika mengusulkan nama BG sebagai calon Kapolri, yang
didukung Koalisi Indonesia Hebat (dan kemudian juga Koalisi Merah Putih),
Presiden pasti mengalami kesulitan menjelaskan hubungan di antara
pengangkatan komjen yang konon kaya-raya itu dengan rencana ekonomi Presiden
Jokowi untuk memberi perhatian utama kepada masyarakat menengah-bawah. Juga
PDI-P akan kelabakan menjelaskan kaitan BG dengan PDI-P sebagai partai wong
cilik. Demikian pun Nasdem sebagai partai perubahan tidak mudah melihat
hubungan di antara perubahan yang dikehendaki dan kondisi seorang arriviste di kalangan elite politik. Quis custodiet custodes? Siapa yang
harus mengawal para pengawal? Itulah pertanyaan para ahli hukum Romawi zaman
dulu. Dalam hal itu sebaiknya pemimpin mendengar suara rakyatnya karena merekalah
yang paling berkepentingan dengan pengawalan yang diberikan kepada mereka.
Relasi timpang
eksekutif-legislatif
Hal ini berhubungan dengan masalah kedua, yaitu relasi dan
oposisi di antara eksekutif dan legislatif. Sejarah politik Indonesia sejak
Orde Baru memperlihatkan bahwa hubungan itu cenderung menjadi hubungan yang
timpang. Dalam pemerintahan Presiden Soeharto, DPR praktis hanya berperan
sebagai stempel yang mengesahkan semua kebijakan yang diajukan oleh
eksekutif. Tidak ada fungsi kontrol oleh DPR sebagaimana diamanatkan oleh
undang-undang. Dapatlah dipahami bahwa sejak Reformasi 1998 DPR berusaha
merebut otonominya kembali dengan membuat tiga fungsinya menjadi efektif,
yaitu legislasi, pengawasan, dan anggaran. Menurut logika tata negara tiga
fungsi ini semestinya mengejawantahkan kedudukan DPR sebagai representative
body, yaitu representasi kepentingan rakyat.
Dalam arti itu keberhasilan tiga fungsi DPR amat
tergantung dari seberapa jauh representasi itu direalisasikan dalam tiga
fungsi itu. Apakah dalam menjalankan fungsi legislasi DPR membuat UU yang
mewakili kepentingan rakyat atau lebih mengutamakan kepentingan negara dan
malahan membela kepentingan pasar dan konglomerat? Apakah pengawasan yang
dilakukan DPR menjadi kontrol terhadap kekuasaan negara dan terhadap
intervensi elite politik dan para anggota oligarki atau hanya menjadi kontrol
terhadap kebebasan rakyat dalam menyatakan pendapat dan memperjuangkan
aspirasinya? Demikian pun dalam mengesahkan anggaran belanja negara, apakah
diperhatikan anggaran yang disusun memihak kepentingan rakyat, kepentingan
penguasa atau kepentingan pasar semata-mata?
Sudah jelas bahwa dalam menyusun usul anggaran para
eksekutif memberi perhatian utama pada target-target yang harus dicapai oleh
setiap departemen pemerintahan. Namun, imbangan yang dapat diberikan oleh DPR
adalah meninjau seberapa jauh target-target dalam program pembangunan
memihak, menjauhi atau bahkan bertentangan dengan kepentingan rakyat. Kalau
tugas-tugas representasi ini dilaksanakan dengan benar dan bertanggung jawab,
dapat dipastikan, para anggota DPR punya lebih dari cukup pekerjaan rumah dan
tidak banyak waktu yang tersisa untuk melakukan manuver-manuver yang tidak
perlu untuk memperoleh lebih banyak kekuasaan atau membuat pertandingan
hegemoni dengan kalangan eksekutif.
Hubungan di antara koalisi dalam DPR, yaitu di antara
koalisi pendukung pemerintah dan koalisi oposisi amat penting untuk menjaga
keseimbangan melalui pembagian peran. Koalisi pendukung pemerintah dapat
menjelaskan dan mendukung kebijakan pemerintah, sementara koalisi oposisi
mempertanyakan dan mempersoalkan hal-hal yang belum jelas atau dianggap tak
sesuai dengan UU. Koalisi pendukung pemerintah dapat menjadi sandaran
legislatif bagi kebijakan yang diajukan oleh eksekutif, dan diharap tidak
mendesak keinginan mereka sendiri agar dilaksanakan oleh pemerintah.
Koalisi partai oposisi perlu ada untuk mengecek, apakah
pelaksanaan kekuasaan eksekutif sesuai atau bertentangan dengan UU dan
sejalan dengan kepentingan rakyat yang direpresentasikan dalam fungsi DPR.
Dalam rumusan yang ekstrem dapat dikatakan, oposisi harus ada agar pemerintah
dan koalisi pendukungnya tidak menjadi sewenang-wenang dan otoriter dalam
penggunaan kekuasaan, sedangkan koalisi pendukung pemerintah perlu ada agar
oposisi tidak menjadi sewenang-wenang dan anarkistis dalam
menjungkir-balikkan kekuasaan yang sah. Keduanya akan bertemu pada dua titik
yang sama, yaitu pelaksanaan kekuasaan (atau machtsaanwending, menurut rumusan Bung Karno) tidak berkembang
hingga keluar batas UU atau bertentangan dengan kepentingan rakyat yang
terwakili dalam diri legislator dan lembaga legislatif.
Ketentuan normatif di atas tidak dengan sendirinya
meniadakan vested interest dalam setiap koalisi. Kasus BG dapat menjadi
ilustrasi. Setelah BG diajukan sebagai calon Kapolri dan disusul penetapan
dirinya sebagai tersangka oleh KPK, baik koalisi pendukung pemerintah maupun
koalisi oposisi kelihatan tidak terpengaruh oleh penetapan KPK ini. Komisi
III DPR tetap melaksanakan uji kepatutan dan kelayakan pada 14 Januari 2015
dengan hasil mendukung pencalonan BG sebagai Kapolri, yang sehari kemudian
diperkuat oleh dukungan rapat paripurna DPR. Muncul pertanyaan: mengapa KIH
sebagai pendukung pemerintah menyetujui pencalonan BG, meskipun sudah
dinyatakan sebagai tersangka? Mengapa juga KMP sebagai oposisi, yang sebelum
ini belum pernah sejalan dengan koalisi pendukung pemerintah, sekali ini
demikian kompak dalam mendukung BG? Tentulah sukar bagi rakyat untuk percaya
bahwa dukungan itu diberikan untuk menjamin pemerintahan yang bersih tanpa
korupsi, meskipun keinginan itu berulang-ulang diucapkan oleh kedua koalisi
selama masa kampanye.
Elite politik vs kekuatan rakyat
Terlihat di sini tegangan antara politik yang dijalankan
elite politik dan politik yang digerakkan oleh kekuatan rakyat dalam
masyarakat sipil, yang telah memainkan peranan yang menentukan dalam
kemenangan Jokowi sebagai capres. Kesulitan yang dihadapi masyarakat sipil
ialah kemampuan mereka dalam mendukung atau menggagalkan perebutan kekuasaan
atau machtsvorming menurut istilah Bung Karno, belum diimbangi dengan
kemampuan mereka dalam membantu penggunaan kekuasaan secara lebih baik oleh
pemegang kekuasaan.
Proses-proses politik intra-parlementer hampir tak ada
hubungannya dengan proses-proses ekstra-parlementer, kecuali dalam bentuk
parlemen jalanan kalau ada krisis politik. Perlu dicari jalan agar suara dan
aspirasi masyarakat sipil dapat diakomodasi sebagai input dalam perdebatan di
DPR, misalnya melalui usul perbaikan rencana UU atau usul perbaikan alokasi
anggaran pada tingkat nasional dan tingkat daerah sehingga fungsi representasi
DPR semakin diperkuat oleh partisipasi aktif dan efektif oleh kelompok
masyarakat sipil. Dirumuskan dalam bentuk ekstrem, suatu politik
intra-parlementer tanpa persinggungan dengan masyarakat sipil hanya
menghasilkan isolasionisme kelembagaan yang akan membuat mandul fungsi
representasi DPR. Sebaliknya, aktivisme kelompok-kelompok masyarakat sipil
yang tak punya titik-temu dengan proses-proses intra-parlementer akan
menghasilkan kesibukan dan sport politik yang tak ada efeknya terhadap
penguatan partisipasi politik.
Ketegangan-ketegangan
itu di atas yang menimbulkan konflik politik merupakan terjemahan dari
tegangan antara prosedur politik dan substansi politik. Menekankan pentingnya
keadilan, pemerintahan yang bersih atau keamanan dan integrasi politik, tanpa
mengindahkan prosedur yang demokratis dalam mencapainya dapat membawa kita ke
sikap otoriter. Sebaliknya, menekankan pentingnya prosedur tanpa
memperhatikan substansi akan menghasilkan oportunisme politik yang selalu
terjebak dalam capaian-capaian jangka pendek yang semata-mata pragmatis
sifatnya. Risiko yang satu adalah tujuan menghalalkan cara, risiko yang lain
adalah cara menghalalkan tujuan. Demokrasi memang sulit karena tujuan yang
benar harus dicapai dengan cara yang benar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar