Tahun
Baruan : Tradisi dan Larangan
Dedi Mulyadi ; Bupati Purwakarta
|
KORAN
SINDO, 05 Januari 2015
Perayaan
malam pengujung akhir tahun atau malam tahun baruan yang dalam istilah bahasa
Inggris new yearnew years eve merupakan tradisi baru bagi masyarakat
Indonesia.
Setiap malam
pergantian tahun, seluruh masyarakat riuh rendah membuat berbagai acara untuk
menyambutnya seolaholah malam itu begitu sakral dan menentukan nasib dan
kehidupan seseorang. Bahkan malam tersebut dianggap sebagai makhluk yang
harus mendapat perlakuan istimewa dengan berbagai persiapan dan penataan
ritual upacara, mulai penataan hiburan, kembang api, terompet, bahkan makanan
dan minuman dengan beragam jenis menurut kemampuan masing-masing.
Mereka yang
tidak memiliki acara karena keterbatasan kemampuan keuangan biasanya tumpah
ruah ke jalan untuk menunggu detik-detik pergantian tahun dengan penuh
sukacita sehingga kemacetan merupakan kegiatan rutin yang biasa dijumpai.
Ingar-bingar
lampu yang berwarnawarni, musik yang berdentum dengan keras, suara penyanyi
mulai dari kelas miliaran, seratusan juta, puluhan juta, kelas jutaan, kelas
ratusan ribu, bahkan penyanyi yang tidak kebagian kelas, melengking mengisi
langit-langit malam, menggetarkan jantung seluruh pengunjungnya, membawa
mereka pergi terbang ke angkasa menuju singgasana kebahagiaan, melupakan
berbagai peristiwa yang menimpanya dalam setahun ke belakang.
Tawa dan
jerit pengunjung terus bergemuruh diiringi jingkrak badan, geleng kepala, dan
kepalan tangan tanpa terbatasi oleh usia, tua muda sama saja, pokona mah
palebah malam taun baru mah, aki-aki jeung nini-nini jadi ngora deui. Padahal
pergantian tahun adalah berkurangnya umur. Ketika waktu menunjukkan pukul
23:59:51, tibalah saat istimewa itu.
Terhitung
angka mundur dari 9, 8. 7, 6 , 5, 4, 3, 2 ,1, maka pecahlah seluruh
kegembiraan itu. Langit menjadi berwarna-warni karena dihiasi kembang api,
suara terompet bergemuruh membelah keheningan malam, setiap orang menjerit
mengekspresikan kegembiraan, saling mengucapkan salam dan berpelukan
seolah-olah mendapat hadiah besar dari langit ketujuh.
Berbagai aksi
pecahlah setelah itu, suara motor yang meraung, knalpot yang tiada henti,
musik yang semakin keras membuat bumi menjadi bergetar, langit pun ikut
bergoyang. Setelah itu berbagai peristiwa itu diekspresikan dengan berbagai
tingkah manusia pawai berkeliling jalan, melanjutkan duduk bergerombol atau
hal-hal lain yang 17 tahun ke atas. Itu dulu, sekarang sudah bukan 17 tahun
ke atas, tetapi sudah merambah 17 tahun ke bawah, pokona mah kitu we lah.
Sebagai
masyarakat yang gehgeran (latah), peringatan tahun baru itu seperti menjadi
kenduri wajib yang mesti dilaksanakan. Tanpa harus digerakkan negara,
masyarakat rela melakukan apa pun dengan biaya sendiri. Mereka keluar rumah
sejak sore hari membawa berbagai perbekalan yang dianggap perlu untuk
menyambut tibanya pukul 00.01. Kini budaya tahun baru dengan terompetnya
sebagai aksesori ritual bukan hanya dominasi masyarakat perkotaan.
Di pinggirpinggir desa kini ritual tersebut
mulai dilaksanakan. Entah siapa yang memulainya dan entah mulai kapan
kebudayaan ini begitu kuat pengaruhnya bagi masyarakat Indonesia.
Berbagai
imbauan dan larangan terus digulirkan oleh berbagai pihak yang tidak sepakat
dengan peringatan tahun baru karena dianggap bertentangan dengan nilai ajaran
dan keyakinan, bahkan untuk tahun ini imbauan itu juga muncul dari institusi
negara karena Indonesia sedang berduka dengan jatuhnya pesawat AirAsia QZ
8501 yang memberikan duka yang cukup dalam bagi bangsa Indonesia.
Terlepas dari
persoalan duka itu, sebuah keharusan kemanusiaan kita mesti memberikan doa
dan empati bagi korban dan keluarganya atas musibah yang dialami. Sebagai
bangsa dan masyarakat yang memiliki nilai solidaritas, kemanusiaan, dan
persatuan, alangkah naifnya apabila empati tersebut harus tergerus oleh
berbagai keinginan yang bersifat sesaat.
Walaupun
selalu saja ada tanya dari Mang Udin di kampung saya, mengapa bila pesawat
yang jatuh semua orang menjadi sibuk, menjadi berita besar, sedangkan bila
tabrakan motor, tergulingnya bus atau kereta, atau Ma Icih yang sakit hingga
meninggal karena tak mampu berobat tidak pernah jadi berita besar apalagi
mendapat empati dunia? Kata saya, pertama, peristiwa jatuhnya pesawat
merupakan peristiwa yang langka.
Yang kedua ,
penerbangan itu melibatkan hubunganinternasional. Yang ketiga, korban dalam
pesawat bukan hanya orang Indonesia, melainkan warga dari berbagai negara
sehingga peristiwa tersebut selalu menjadi berita utama baik berita nasional
maupun internasional. Keempat, peristiwa tersebut juga menjadi perhatian para
kepala negara dan kepala pemerintahan di berbagai belahan dunia.
Namun
peristiwa duka tersebut seolah tidak memberikan pengaruh bagi sebagian besar
masyarakat Indonesia. Tetap saja peringatan tahun baru memiliki catatan
kemeriahan di berbagai tempat.
*** Kalau
bicara tahun baru, orang Indonesia itu memiliki 3 peristiwa tahun baru.
Pertama, Tahun Baru Masehi, yang kedua Tahun Baru Hijriah, dan yang ketiga
tahun baru daerah seperti tahun baru dalam sistem penanggalan Jawa, tahun
baru dalam sistem penanggalan Sunda, dan tahun baru dalam sistem penanggalan
di berbagai daerah di seluruh Nusantara.
Tahun Baru
Masehi dalam tradisi ibu saya selalu disebutnya dengan bulan umum, artinya
sistem penanggalan yang mengadopsi tradisi budaya Masehi dan menjadi penanggalan
resmi pemerintah. Tahun Masehi merupakan standardisasi penanggalan Pemerintah
Indonesia yang berlaku untuk dunia birokrasi, dunia perbankan, dan
kepentingan penanggalan lain.
Atas nama
hukum penanggalan yang berlaku secara internasional, kita sudah masuk secara
budaya penanggalan menjadi subordinasi dari sebuah kebudayaan global yang
merupakan tradisi orang lain. Yang kedua adalah bulan Hijriah, merupakan
sistem penanggalan yang didasarkan pada peristiwa Hijrah Rasulullah SAW
dengan sistem penanggalan bulan sebagai rujukan perhitungan.
Dari sisi
wilayah, peristiwa tersebut terjadi pada wilayah Timur Tengah yang menjadi
pusat lahir dan berkembangnya ajaran Islam. Penanggalannya diawali pada 1
Muharam. Dalam sistem penanggalan Hijriah sering kali saya dibuat bingung
dengan sistem penetapan 1 Ramadan dan 1 Syawal karena sering kali terjadi
perbedaan pendapat antara satu golongan dengan golongan yang lain.
Terlepas dari
perbedaan itu adalah hikmah, ada pertanyaan yang sampai hari ini belum
terjawab, kenapa kalau menentukan 1 Ramadan dan 1 Syawal sering berbeda,
sedangkan menentukan 1 Muharam selalu sama? Logikanya adalah kalau ada 1
tanggal yang beda pada bulan Ramadan dan bulan Syawal, kenapa tanggal 1
Muharam bisa sama?
Atau mungkin
perbedaan itu hanya khusus untuk 1 Ramadan dan 1 Syawal. Kalau begitu saya
memiliki usul terbalik, tanggal yang lain boleh beda, tapi kalau tanggal 1
Ramadan dan 1 Syawal harus sama karena tanggal ini sangat strategis dan
sakral bagi saya dan masyarakat muslim Indonesia.
Penanggalan
berikutnya adalah penanggalan yang didasarkan pada kebudayaan pada setiap
daerah. Ibu saya menyebutnya bulan urang. Dalam sistem penanggalan Jawa yang
di dalamnya dikenal istilah wage, pahing, kliwon, legi, setiap tanggal dan
hari memiliki makna sendiri-sendiri bagi setiap orang, tergantung pada hari
dan tanggal kelahiran.
Penanggalan
dalam tradisi sering kali berhubungan dengan hal-hal yang bersifat mistis
spiritual atau mistis rasional, tergantung pada kita melihat dari sudut
pandang masing-masing. Tradisi penggunaan tanggal ini masih sangat hidup di
tengahtengah masyarakat tradisional yang digunakan untuk penanggalan
pernikahan, musim tanam, musim panen, bahkan dalam dunia pelayaran yang
dilakukan para nelayan tradisional.
Rujukan yang
digunakan dalam penanggalan ini didasarkan pada peredaran bintang. Dari
situlah para petani dan nelayan mengambil keputusan untuk menanam, memanen
atau berlayar. Tanpa lembaran kalender yang tertera dalam kertas dan
perangkat elektronik, mereka cukup hafal seluruh penanggalan tersebut dan
menjadi bagian dari keyakinan hidup mereka sebagai bangsa yang memiliki
warisan kebudayaan leluhurnya. Setiap pergantian tahun mereka selalu
melaksanakan ritual.
Dalam
kebudayaan Sunda ada yang dikenal dengan peristiwa Seren Taun yang ditandai
dengan diturunkannya padi yang tersimpan di leuit setahun yang lalu untuk
ditumbuk dan disimpannya padi hasil panen tahun ini di dalam leuit . Hal
tersebut menunjukkan sistem penghitungan tanggal mereka telah melahirkan
sistem pertanian yang tertata. Kebutuhan akan beras pun tercukupi dengan
baik, bahkan mereka memiliki cadangan yang cukup untuk setahun ke depan.
Begitu juga
para nelayan yang menggunakan sistem penanggalan dan pelayaran dengan
kebudayaan mereka. Sebenarnya mereka cukup mapan dengan hasil yang diraihnya.
Kehancuranmerekalebihdisebabkan persaingan yang tidak seimbang di tengah laut
antara kaum tradisi dengan kaum kapitalis serta budaya tauke yang terjadi
ketika mereka di darat. Sebesar apa pun penghasilan mereka, hal itu tidak
membuat mereka menjadi kaya, yang kaya tetap saja para tauke.
Kalau kaum
tradisi dengan keyakinan penanggalan leluhurnya telah mampu menjadi
masyarakat yang makmur dan mandiri, kenapa kita yang menggunakan penanggalan
internasional berdasarkan tradisi yang
dimiliki orang lain menjadi bangsa yang terus bergantung kepada mereka?
Jangan-jangan
kita ini memang salah dalam menggunakan penanggalan sehingga penghitungan
politik, ekonomi, dan hubungan perdagangan kita mudah dilacak dan dibaca
teknologi yang mereka miliki. Bagi para pegawai, kini tanggal 1, 2, 3 atau
tanggal muda sudah tidak menarik lagi karena seluruh gajinya sudah habis
dipotong oleh bank yang bertanggalkan internasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar