Selasa, 06 Januari 2015

Tahun Baruan : Tradisi dan Larangan

Tahun Baruan : Tradisi dan Larangan

Dedi Mulyadi  ;  Bupati Purwakarta
KORAN SINDO,  05 Januari 2015

                                                                                                                       


Perayaan malam pengujung akhir tahun atau malam tahun baruan yang dalam istilah bahasa Inggris new yearnew years eve merupakan tradisi baru bagi masyarakat Indonesia.

Setiap malam pergantian tahun, seluruh masyarakat riuh rendah membuat berbagai acara untuk menyambutnya seolaholah malam itu begitu sakral dan menentukan nasib dan kehidupan seseorang. Bahkan malam tersebut dianggap sebagai makhluk yang harus mendapat perlakuan istimewa dengan berbagai persiapan dan penataan ritual upacara, mulai penataan hiburan, kembang api, terompet, bahkan makanan dan minuman dengan beragam jenis menurut kemampuan masing-masing.

Mereka yang tidak memiliki acara karena keterbatasan kemampuan keuangan biasanya tumpah ruah ke jalan untuk menunggu detik-detik pergantian tahun dengan penuh sukacita sehingga kemacetan merupakan kegiatan rutin yang biasa dijumpai.

Ingar-bingar lampu yang berwarnawarni, musik yang berdentum dengan keras, suara penyanyi mulai dari kelas miliaran, seratusan juta, puluhan juta, kelas jutaan, kelas ratusan ribu, bahkan penyanyi yang tidak kebagian kelas, melengking mengisi langit-langit malam, menggetarkan jantung seluruh pengunjungnya, membawa mereka pergi terbang ke angkasa menuju singgasana kebahagiaan, melupakan berbagai peristiwa yang menimpanya dalam setahun ke belakang.

Tawa dan jerit pengunjung terus bergemuruh diiringi jingkrak badan, geleng kepala, dan kepalan tangan tanpa terbatasi oleh usia, tua muda sama saja, pokona mah palebah malam taun baru mah, aki-aki jeung nini-nini jadi ngora deui. Padahal pergantian tahun adalah berkurangnya umur. Ketika waktu menunjukkan pukul 23:59:51, tibalah saat istimewa itu.

Terhitung angka mundur dari 9, 8. 7, 6 , 5, 4, 3, 2 ,1, maka pecahlah seluruh kegembiraan itu. Langit menjadi berwarna-warni karena dihiasi kembang api, suara terompet bergemuruh membelah keheningan malam, setiap orang menjerit mengekspresikan kegembiraan, saling mengucapkan salam dan berpelukan seolah-olah mendapat hadiah besar dari langit ketujuh.

Berbagai aksi pecahlah setelah itu, suara motor yang meraung, knalpot yang tiada henti, musik yang semakin keras membuat bumi menjadi bergetar, langit pun ikut bergoyang. Setelah itu berbagai peristiwa itu diekspresikan dengan berbagai tingkah manusia pawai berkeliling jalan, melanjutkan duduk bergerombol atau hal-hal lain yang 17 tahun ke atas. Itu dulu, sekarang sudah bukan 17 tahun ke atas, tetapi sudah merambah 17 tahun ke bawah, pokona mah kitu we lah.

Sebagai masyarakat yang gehgeran (latah), peringatan tahun baru itu seperti menjadi kenduri wajib yang mesti dilaksanakan. Tanpa harus digerakkan negara, masyarakat rela melakukan apa pun dengan biaya sendiri. Mereka keluar rumah sejak sore hari membawa berbagai perbekalan yang dianggap perlu untuk menyambut tibanya pukul 00.01. Kini budaya tahun baru dengan terompetnya sebagai aksesori ritual bukan hanya dominasi masyarakat perkotaan.

 Di pinggirpinggir desa kini ritual tersebut mulai dilaksanakan. Entah siapa yang memulainya dan entah mulai kapan kebudayaan ini begitu kuat pengaruhnya bagi masyarakat Indonesia.

Berbagai imbauan dan larangan terus digulirkan oleh berbagai pihak yang tidak sepakat dengan peringatan tahun baru karena dianggap bertentangan dengan nilai ajaran dan keyakinan, bahkan untuk tahun ini imbauan itu juga muncul dari institusi negara karena Indonesia sedang berduka dengan jatuhnya pesawat AirAsia QZ 8501 yang memberikan duka yang cukup dalam bagi bangsa Indonesia.

Terlepas dari persoalan duka itu, sebuah keharusan kemanusiaan kita mesti memberikan doa dan empati bagi korban dan keluarganya atas musibah yang dialami. Sebagai bangsa dan masyarakat yang memiliki nilai solidaritas, kemanusiaan, dan persatuan, alangkah naifnya apabila empati tersebut harus tergerus oleh berbagai keinginan yang bersifat sesaat.

Walaupun selalu saja ada tanya dari Mang Udin di kampung saya, mengapa bila pesawat yang jatuh semua orang menjadi sibuk, menjadi berita besar, sedangkan bila tabrakan motor, tergulingnya bus atau kereta, atau Ma Icih yang sakit hingga meninggal karena tak mampu berobat tidak pernah jadi berita besar apalagi mendapat empati dunia? Kata saya, pertama, peristiwa jatuhnya pesawat merupakan peristiwa yang langka.

Yang kedua , penerbangan itu melibatkan hubunganinternasional. Yang ketiga, korban dalam pesawat bukan hanya orang Indonesia, melainkan warga dari berbagai negara sehingga peristiwa tersebut selalu menjadi berita utama baik berita nasional maupun internasional. Keempat, peristiwa tersebut juga menjadi perhatian para kepala negara dan kepala pemerintahan di berbagai belahan dunia.

Namun peristiwa duka tersebut seolah tidak memberikan pengaruh bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Tetap saja peringatan tahun baru memiliki catatan kemeriahan di berbagai tempat.

*** Kalau bicara tahun baru, orang Indonesia itu memiliki 3 peristiwa tahun baru. Pertama, Tahun Baru Masehi, yang kedua Tahun Baru Hijriah, dan yang ketiga tahun baru daerah seperti tahun baru dalam sistem penanggalan Jawa, tahun baru dalam sistem penanggalan Sunda, dan tahun baru dalam sistem penanggalan di berbagai daerah di seluruh Nusantara.

Tahun Baru Masehi dalam tradisi ibu saya selalu disebutnya dengan bulan umum, artinya sistem penanggalan yang mengadopsi tradisi budaya Masehi dan menjadi penanggalan resmi pemerintah. Tahun Masehi merupakan standardisasi penanggalan Pemerintah Indonesia yang berlaku untuk dunia birokrasi, dunia perbankan, dan kepentingan penanggalan lain.

Atas nama hukum penanggalan yang berlaku secara internasional, kita sudah masuk secara budaya penanggalan menjadi subordinasi dari sebuah kebudayaan global yang merupakan tradisi orang lain. Yang kedua adalah bulan Hijriah, merupakan sistem penanggalan yang didasarkan pada peristiwa Hijrah Rasulullah SAW dengan sistem penanggalan bulan sebagai rujukan perhitungan.

Dari sisi wilayah, peristiwa tersebut terjadi pada wilayah Timur Tengah yang menjadi pusat lahir dan berkembangnya ajaran Islam. Penanggalannya diawali pada 1 Muharam. Dalam sistem penanggalan Hijriah sering kali saya dibuat bingung dengan sistem penetapan 1 Ramadan dan 1 Syawal karena sering kali terjadi perbedaan pendapat antara satu golongan dengan golongan yang lain.

Terlepas dari perbedaan itu adalah hikmah, ada pertanyaan yang sampai hari ini belum terjawab, kenapa kalau menentukan 1 Ramadan dan 1 Syawal sering berbeda, sedangkan menentukan 1 Muharam selalu sama? Logikanya adalah kalau ada 1 tanggal yang beda pada bulan Ramadan dan bulan Syawal, kenapa tanggal 1 Muharam bisa sama?

Atau mungkin perbedaan itu hanya khusus untuk 1 Ramadan dan 1 Syawal. Kalau begitu saya memiliki usul terbalik, tanggal yang lain boleh beda, tapi kalau tanggal 1 Ramadan dan 1 Syawal harus sama karena tanggal ini sangat strategis dan sakral bagi saya dan masyarakat muslim Indonesia.

Penanggalan berikutnya adalah penanggalan yang didasarkan pada kebudayaan pada setiap daerah. Ibu saya menyebutnya bulan urang. Dalam sistem penanggalan Jawa yang di dalamnya dikenal istilah wage, pahing, kliwon, legi, setiap tanggal dan hari memiliki makna sendiri-sendiri bagi setiap orang, tergantung pada hari dan tanggal kelahiran.

Penanggalan dalam tradisi sering kali berhubungan dengan hal-hal yang bersifat mistis spiritual atau mistis rasional, tergantung pada kita melihat dari sudut pandang masing-masing. Tradisi penggunaan tanggal ini masih sangat hidup di tengahtengah masyarakat tradisional yang digunakan untuk penanggalan pernikahan, musim tanam, musim panen, bahkan dalam dunia pelayaran yang dilakukan para nelayan tradisional.

Rujukan yang digunakan dalam penanggalan ini didasarkan pada peredaran bintang. Dari situlah para petani dan nelayan mengambil keputusan untuk menanam, memanen atau berlayar. Tanpa lembaran kalender yang tertera dalam kertas dan perangkat elektronik, mereka cukup hafal seluruh penanggalan tersebut dan menjadi bagian dari keyakinan hidup mereka sebagai bangsa yang memiliki warisan kebudayaan leluhurnya. Setiap pergantian tahun mereka selalu melaksanakan ritual.

Dalam kebudayaan Sunda ada yang dikenal dengan peristiwa Seren Taun yang ditandai dengan diturunkannya padi yang tersimpan di leuit setahun yang lalu untuk ditumbuk dan disimpannya padi hasil panen tahun ini di dalam leuit . Hal tersebut menunjukkan sistem penghitungan tanggal mereka telah melahirkan sistem pertanian yang tertata. Kebutuhan akan beras pun tercukupi dengan baik, bahkan mereka memiliki cadangan yang cukup untuk setahun ke depan.

Begitu juga para nelayan yang menggunakan sistem penanggalan dan pelayaran dengan kebudayaan mereka. Sebenarnya mereka cukup mapan dengan hasil yang diraihnya. Kehancuranmerekalebihdisebabkan persaingan yang tidak seimbang di tengah laut antara kaum tradisi dengan kaum kapitalis serta budaya tauke yang terjadi ketika mereka di darat. Sebesar apa pun penghasilan mereka, hal itu tidak membuat mereka menjadi kaya, yang kaya tetap saja para tauke.

Kalau kaum tradisi dengan keyakinan penanggalan leluhurnya telah mampu menjadi masyarakat yang makmur dan mandiri, kenapa kita yang menggunakan penanggalan internasional  berdasarkan tradisi yang dimiliki orang lain menjadi bangsa yang terus bergantung kepada mereka?

Jangan-jangan kita ini memang salah dalam menggunakan penanggalan sehingga penghitungan politik, ekonomi, dan hubungan perdagangan kita mudah dilacak dan dibaca teknologi yang mereka miliki. Bagi para pegawai, kini tanggal 1, 2, 3 atau tanggal muda sudah tidak menarik lagi karena seluruh gajinya sudah habis dipotong oleh bank yang bertanggalkan internasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar