Selasa, 06 Januari 2015

Manusia Modern II Takhayul

Manusia Modern II Takhayul

Sarlito Wirawan Sarwono  ;  Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
KORAN SINDO,  04 Januari 2015

                                                                                                                       


Pada 10 November 2014 lalu kebetulan saya menghadiri sebuah acara Hari Pahlawan di Gedung Joang, Jakarta Pusat. Selesai acara, ketika bersiap naik mobil mau lanjut ke kampus, Junus, sopir saya, minta uang Rp50.000.

Ketika saya tanya buat apa? Jawabnya, dia baru saja tidak sengaja menggilas kucing yang sedang tidur di bawah roda mobil yang sedang parkir dan dia mau minta tolong satpam untuk mengubur jenazah kucing selayaknya, jangan sampai nanti dia celaka gara-gara arwah si kucing. Karena saya tidak percaya takhayul, saya tidak mau memberinya uang.

Maka kata saya, ”Kucing itu kan kamu yang melindas, bukan saya? Ya, sudah kamu tanggung jawab.” Eeeh... ternyata dia benar-benar mau tanggung jawab, yaitu dia minta uang makannya untuk hari itu, siang itu juga, dan diserahkannya langsung kepada pak satpam. Buat Junus, lebih baik dia pulang tanpa uang makan daripada dia dauber-uber arwah kucing terus.

Sebaliknya, saya pernah berwisata dengan teman-teman dari kampus UI, menuju Cirebon, naik bus wisata. Di tengah jalur pantura yang mulus, bus sedang berjalan kencang, tiba-tiba terdengar suara ”Dug!” dan terasa bis membentur benda keras. Penumpang yang duduk di kursi paling belakang, menyempatkan diri untuk menengok ke belakang. ”Apaan, tuh ?” tanya penumpang yang lain. ”Enggak apa-apa, anjing doang,” jawab yang melihat dan bus itu melaju terus tanpa mengurangi laju bus.

Bahkan, percaya atau tidak, kita sering membaca berita tentang kasus tabrak lari, walaupun yang tewas itu manusia, bukan kucing, apalagi anjing. Lain cerita teman saya yang kebetulan bermukim di Melbourne, Australia. Pada suatu hari dia juga naik bus dan tiba-tiba busnya menabrak kanguru (yang sering menyeberang seenaknya, seperti sapi-sapi di Aceh), maka bus itu pun berhenti.

Tetapi yang mencengangkan ada tiga mobil lain yang ikut berhenti, penumpangnya turun untuk ikut membantu kalau-kalau ada yang bisa dilakukan, dan salah satu di antara mereka melalui ponselnya menelepon petugas taman wisata (kalau di Amerika disebut ranger) untuk melaporkan kejadian dan minta pertolongan. Sesudah mobil petugas datang, barulah orang-orang ini pergi meninggalkan tempat. Di Australia, negara sekuler, nyawa binatang pun dilindungi undang-undang.

Dalam tulisan akhir tahun saya Minggu lalu, 28 Desember 2014, saya menyampaikan cirri-ciri manusia modern menurut versi Alex Inkeles dan Revolusi Mental Prof Dr Paulus Wirutomo. Dua-duanya sosiolog. Yang satu dari Harvard, AS, yang kedua dari UI, Indonesia.

Di samping itu, saya sampaikan juga gambaran mental orang Indonesia menurut budayawan Mochtar Lubis yang menerangkan betapa kontradiksinya mentalitas manusia Indonesia dengan ciri orang modern seperti yang digambarkan oleh Inkeles dan Wirutomo. Salah satu ciri manusia Indonesia yang merupakan kontradiksi dari ciri modern adalah percaya kepada takhayul itu.

Dalam pidato kebudayaannya tahun 1977 di Taman Ismail Marzuki, Mochtar Lubis mencontohkan takhayul bukan tentang kucing, anjing atau jailangkung, melainkan hal-hal yang biasa disampaikan oleh para pemimpin bangsa ketika itu. Berikut saya kutipkan sebagian pidato beliau, ”Manusia Indonesia percaya gunung, pantai, pohon, patung, dan keris mempunyai kekuatan gaib.”

Percaya manusia harus mengatur hubungan khusus dengan ini semua untuk menyenangkan Manusia Indonesia percaya gunung, pantai, pohon, patung, dan keris mempunyai kekuatan gaib. Percaya manusia harus mengatur hubungan khusus dengan ini semua untuk menyenangkan mereka-mereka (baca: kekuatan gaib, yang di atas, yang maha kuasa) agar jangan memusuhi manusia, termasuk memberi sesajen.

Kemudian kita membuat mantra dan semboyan baru, Tritura, Ampera, Orde Baru, the rule of law, pemberantasan korupsi, kemakmuran yang adil dan merata, insan pembangunan. Sekarang kita membikin takhayul dari berbagai wujud dunia modern. Modernisasi satu takhayul baru, juga pembangunan ekonomi. Model dari negeri industri maju menjadi takhayul dan lambang baru, dengan segala mantranya yang dirumuskan dengan kenaikan GNP atau GDP. ”

Tetapi apakah Indonesia bisa maju karena mantra dan semboyan itu? Samasekali tidak. Itulah takhayulisme yang menurut Mochtar Lubis adalah adanya kepercayaan yang di luar logika, yaitu bahwa segala sesuatu ditentukan oleh ”yang di luar kita” dan ”yang di luar kita” itu bisa kita bujuk melalui doa dan mantra. Kalau kita tarik ke zaman reformasi sekarang, kata-kata yang sering jadi jargon pemimpin-pemimpin masa kini seperti demokrasi, otonomi daerah, hati nurani, HAM, kebebasan pers, good governance, akuntabilitas, hukum syariah, dll juga takhayul.

Dengan takhayul, salah satu syarat manusia modern yang tidak bisa dipenuhi adalah bahwa manusia modern itu punya rencana dan pengorganisasian dan lebih percaya pada ilmu pengetahuan dan teknologi dari pada takhayul. Bahkan saya berani mengatakan bahwa agama pun sudah dijadikan takhayul. Seolah-olah kalau sudah meneriakkan takbir Tuhan akan mengizinkan segala sesuatu yang kita kehendaki, termasuk yang merugikan orang lain.

Anak nakal dimasukkan pesantren dengan harapan otomatis akan menjadi baik. Perempuan dilarang membonceng sepeda motor ngangkang supaya tidak merangsang syahwat lakilaki, dan sebagainya. Padahal semua itu tidak ada hubungan sebab akibat, sejauh yang dilakukan hanya simbol-simbol belaka, tanpa ada usaha khusus. Agama seperti yang diajarkan para nabi adalah bekerja/berusaha dulu, baru diiringi doa (dalam bahasa Latin: ora et labora).

Jadi anak nakal didik dulu yang baik sesuai dengan ilmu pendidikan yang benar, baru didoakan (boleh di pesantren, boleh juga tidak), maka anak itu akan menjadi baik. Mau memberantas pelacuran atau perkosaan, laki-lakinya yang dihukum berat, jangan perempuannya yang dilarang ngangkang.

Terus bagaimana caranya agar Junus bisa menyopiri saya dengan selamat? Jaga kondisi fisik, cek kondisi mobil dengan teratur, hati-hati dan fokus di jalan, dan jangan lupa berdoa sebelum jalan. Insya Allah selamat. Jadi enggak usahlah buang-buang uang makan hanya untuk memakamkan seekor kucing yang wafat di Gedung Joang saat Hari Pahlawan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar