Manusia
Modern II Takhayul
Sarlito Wirawan Sarwono ; Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
|
KORAN
SINDO, 04 Januari 2015
Pada 10
November 2014 lalu kebetulan saya menghadiri sebuah acara Hari Pahlawan di
Gedung Joang, Jakarta Pusat. Selesai acara, ketika bersiap naik mobil mau
lanjut ke kampus, Junus, sopir saya, minta uang Rp50.000.
Ketika saya
tanya buat apa? Jawabnya, dia baru saja tidak sengaja menggilas kucing yang
sedang tidur di bawah roda mobil yang sedang parkir dan dia mau minta tolong
satpam untuk mengubur jenazah kucing selayaknya, jangan sampai nanti dia
celaka gara-gara arwah si kucing. Karena saya tidak percaya takhayul, saya
tidak mau memberinya uang.
Maka kata
saya, ”Kucing itu kan kamu yang
melindas, bukan saya? Ya, sudah kamu tanggung jawab.” Eeeh... ternyata
dia benar-benar mau tanggung jawab, yaitu dia minta uang makannya untuk hari
itu, siang itu juga, dan diserahkannya langsung kepada pak satpam. Buat
Junus, lebih baik dia pulang tanpa uang makan daripada dia dauber-uber arwah
kucing terus.
Sebaliknya,
saya pernah berwisata dengan teman-teman dari kampus UI, menuju Cirebon, naik
bus wisata. Di tengah jalur pantura yang mulus, bus sedang berjalan kencang,
tiba-tiba terdengar suara ”Dug!” dan terasa bis membentur benda keras.
Penumpang yang duduk di kursi paling belakang, menyempatkan diri untuk
menengok ke belakang. ”Apaan, tuh ?” tanya penumpang yang lain. ”Enggak
apa-apa, anjing doang,” jawab yang melihat dan bus itu melaju terus tanpa
mengurangi laju bus.
Bahkan,
percaya atau tidak, kita sering membaca berita tentang kasus tabrak lari,
walaupun yang tewas itu manusia, bukan kucing, apalagi anjing. Lain cerita
teman saya yang kebetulan bermukim di Melbourne, Australia. Pada suatu hari
dia juga naik bus dan tiba-tiba busnya menabrak kanguru (yang sering
menyeberang seenaknya, seperti sapi-sapi di Aceh), maka bus itu pun berhenti.
Tetapi yang
mencengangkan ada tiga mobil lain yang ikut berhenti, penumpangnya turun
untuk ikut membantu kalau-kalau ada yang bisa dilakukan, dan salah satu di
antara mereka melalui ponselnya menelepon petugas taman wisata (kalau di
Amerika disebut ranger) untuk melaporkan kejadian dan minta pertolongan.
Sesudah mobil petugas datang, barulah orang-orang ini pergi meninggalkan tempat.
Di Australia, negara sekuler, nyawa binatang pun dilindungi undang-undang.
Dalam tulisan
akhir tahun saya Minggu lalu, 28 Desember 2014, saya menyampaikan cirri-ciri
manusia modern menurut versi Alex Inkeles dan Revolusi Mental Prof Dr Paulus
Wirutomo. Dua-duanya sosiolog. Yang satu dari Harvard, AS, yang kedua dari
UI, Indonesia.
Di samping
itu, saya sampaikan juga gambaran mental orang Indonesia menurut budayawan
Mochtar Lubis yang menerangkan betapa kontradiksinya mentalitas manusia
Indonesia dengan ciri orang modern seperti yang digambarkan oleh Inkeles dan
Wirutomo. Salah satu ciri manusia Indonesia yang merupakan kontradiksi dari
ciri modern adalah percaya kepada takhayul itu.
Dalam pidato
kebudayaannya tahun 1977 di Taman Ismail Marzuki, Mochtar Lubis mencontohkan
takhayul bukan tentang kucing, anjing atau jailangkung, melainkan hal-hal
yang biasa disampaikan oleh para pemimpin bangsa ketika itu. Berikut saya
kutipkan sebagian pidato beliau, ”Manusia Indonesia percaya gunung, pantai,
pohon, patung, dan keris mempunyai kekuatan gaib.”
Percaya
manusia harus mengatur hubungan khusus dengan ini semua untuk menyenangkan
Manusia Indonesia percaya gunung, pantai, pohon, patung, dan keris mempunyai
kekuatan gaib. Percaya manusia harus mengatur hubungan khusus dengan ini
semua untuk menyenangkan mereka-mereka (baca: kekuatan gaib, yang di atas,
yang maha kuasa) agar jangan memusuhi manusia, termasuk memberi sesajen.
Kemudian kita
membuat mantra dan semboyan baru, Tritura, Ampera, Orde Baru, the rule of law, pemberantasan
korupsi, kemakmuran yang adil dan merata, insan pembangunan. Sekarang kita
membikin takhayul dari berbagai wujud dunia modern. Modernisasi satu takhayul
baru, juga pembangunan ekonomi. Model dari negeri industri maju menjadi takhayul
dan lambang baru, dengan segala mantranya yang dirumuskan dengan kenaikan GNP
atau GDP. ”
Tetapi apakah
Indonesia bisa maju karena mantra dan semboyan itu? Samasekali tidak. Itulah
takhayulisme yang menurut Mochtar Lubis adalah adanya kepercayaan yang di
luar logika, yaitu bahwa segala sesuatu ditentukan oleh ”yang di luar kita”
dan ”yang di luar kita” itu bisa kita bujuk melalui doa dan mantra. Kalau
kita tarik ke zaman reformasi sekarang, kata-kata yang sering jadi jargon
pemimpin-pemimpin masa kini seperti demokrasi, otonomi daerah, hati nurani,
HAM, kebebasan pers, good governance,
akuntabilitas, hukum syariah, dll juga takhayul.
Dengan
takhayul, salah satu syarat manusia modern yang tidak bisa dipenuhi adalah
bahwa manusia modern itu punya rencana dan pengorganisasian dan lebih percaya
pada ilmu pengetahuan dan teknologi dari pada takhayul. Bahkan saya berani
mengatakan bahwa agama pun sudah dijadikan takhayul. Seolah-olah kalau sudah
meneriakkan takbir Tuhan akan mengizinkan segala sesuatu yang kita kehendaki,
termasuk yang merugikan orang lain.
Anak nakal
dimasukkan pesantren dengan harapan otomatis akan menjadi baik. Perempuan
dilarang membonceng sepeda motor ngangkang supaya tidak merangsang syahwat
lakilaki, dan sebagainya. Padahal semua itu tidak ada hubungan sebab akibat,
sejauh yang dilakukan hanya simbol-simbol belaka, tanpa ada usaha khusus.
Agama seperti yang diajarkan para nabi adalah bekerja/berusaha dulu, baru
diiringi doa (dalam bahasa Latin: ora
et labora).
Jadi anak
nakal didik dulu yang baik sesuai dengan ilmu pendidikan yang benar, baru
didoakan (boleh di pesantren, boleh juga tidak), maka anak itu akan menjadi
baik. Mau memberantas pelacuran atau perkosaan, laki-lakinya yang dihukum
berat, jangan perempuannya yang dilarang ngangkang.
Terus
bagaimana caranya agar Junus bisa menyopiri saya dengan selamat? Jaga kondisi
fisik, cek kondisi mobil dengan teratur, hati-hati dan fokus di jalan, dan
jangan lupa berdoa sebelum jalan. Insya Allah selamat. Jadi enggak usahlah
buang-buang uang makan hanya untuk memakamkan seekor kucing yang wafat di
Gedung Joang saat Hari Pahlawan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar