Tabir
di Balik Data Kemiskinan
Elfindri ; Profesor Ekonomi SDM Unand dan
Koordinator Program S-3 Ilmu Ekonomi UNAND
|
KORAN
SINDO, 08 Januari 2015
Sebelum tahun baru teman-teman saya yang bekerja pada
bidang sosial ekonomi di Badan Pusat Statistik (BPS) pusat tidak mau
diganggu. Mereka minta maaf karena pada 2 Januari 2015 pengumuman tentang
kondisi data kemiskinan di Indonesia.
Data yang diumumkan adalah kondisi capaian angka
kemiskinan pada September 2014. Dengan begitu, sedikit ada pembaharuan data
kemiskinan yang sebelumnya menggambarkan kondisi pada Maret 2014. Bisa
dimaklumi tentunya. Namun, sekaligus menyempurnakan series data kemiskinan
selama lima tahun terakhir, sejak periode kepresidenan Bapak SBY dan
Boediono.
Data kemiskinan tahun terakhir dapat dianggap sebagai
baseline dari kondisi kemiskinan. Sebagaimana biasanya, data kemiskinan
ditampilkan dengan menggunakan patokan penetapan garis kemiskinan. Secara
nasional persentase kemiskinan sudah dapat diturunkan menjadi 10,96% pada
2014 di mana pada 2009 angkanya mencapai 14,15%.
Berarti, selama lima tahun terakhir penurunan kemiskinan
dapat ditekan sebesar 3,19 poin yang menyisakan jumlah penduduk miskin di
Indonesia sebesar 27,73 juta orang. Penurunan kemiskinan setiap tahun tidak
sampai satu juta orang (menurut head
count). Dengan capaian laju pertumbuhan ekonomi rata-rata sekitar
5,1-5,3% selama lima tahun terakhir, tampaknya indeks penurunan kemiskinan
semakin lama semakin menurun.
Artinya, sensitivitas pembangunan semakin kurang
menurunkan angka kemiskinan. Karena itu, mesti dipikir ulang ketika
pemerintahan baru menargetkan angka kemiskinan tersisa 5% pada 2019 mesti
dengan laju pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, setidaknya kisaran 7% bisa
dicapai tentunya dengan sasaran yang lebih terarah. Semakin rendahnya angka
kemiskinan pada lima tahun terakhir dimungkinkan terjadi mengingat
perekonomian nasional mendapatkan bonanza.
Penyumbang bonanza itu dari membaiknya harga komoditas
pertanian, besarnya tingkat remitansi para buruh Indonesia dari luar negeri,
dan intensitas program kemiskinan melalui program nasional dan dilanjutkan di
daerah-daerah. Kajian penulis menemukan alokasi belanja pemerintah pusat yang
sensitif terhadap penurunan kemiskinan adalah pengeluaran per kepala untuk
pendidikan, pengeluaran per kepala untuk kesehatan, dan pengeluaran per
kepala untuk program perumahan.
Sementara pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur dan
sektor lain tidak signifikan berdampak dalam pengurangan kemiskinan. Ini
sinyal bahwa alokasi investasi selama ini di luar tiga sektor itu justru
lebih sensitif meningkatkan penghasilan kelompok masyarakat perkotaan serta
kecenderungan pada lokasi- lokasi tertentu.
Dampak lanjutan bisa dimengerti ketika kemiskinan sedikit
turun, angka ketimpangan pembangunan justru naik menggila. Potensial
kemiskinan sebenarnya besar ketika terjadi perubahan eksternal external shocks, berupa melemahnya
harga komoditas internasional, khususnya pertanian, termasukjugaperubahan
cuaca yang tidak menentu seperti kabut asap, kebakaran, dan kekeringan.
Jumlah penduduk di kisaran garis kemiskinan merupakan sebuah tantangan yang
masih besar di Indonesia.
Pemuda Aktif
Memang data kemiskinan kita menunjukkan penurunan
dibandingkan kondisi sebelumnya. Namun, jika kita sepakat untuk menggunakan
standar Bank Dunia, penduduk miskin di bawah USD2, jumlah kemiskinan di
Indonesia diperkirakan akan lebih dari dua kali lipat dari kondisi sekarang.
Secara implisit berarti, persoalan kemiskinan sedikit bergeser dari kondisi
di bawah garis kemiskinan ke persoalan kemiskinan yang berada pada
sekitar-sekitar kemiskinan.
Jika penurunan kemiskinan itu bisa disebabkan oleh semakin
banyak orang bekerja atau semakin meningkat produktivitas kerja, jumlah
penduduk usia kerja yang menganggur juga menurun secara absolut. Pada 2007
misalnya sebanyak 10,0 juta orang (9,1%) penduduk sedang mencari pekerjaan,
dapat menurun menjadi 8,3 juta orang (7,2%) pada 2010, dan dilanjutkan
penurunannya pada 2013 menjadi 7,4 juta orang (6,3%).
Sedikit penurunan angka pengangguran terbuka pada
akhir-akhir ini akan berfluktuasi, biasanya pada laporan Maret jumlah pencari
kerja meningkat, setelah selesainya wisuda akhir tahun,
sementararekrutmenbelum terjadi. Dengan begitu, angka pengangguran anak muda
dan berpendidikan biasanya kembali rendah pada laporan data Susenas pada
September.
Mereka yang menganggur anak muda dan berpendidikan
dianggap sebagai pemuda potensial karena mereka jika tidak bekerja justru
membebankan ekonomi rumah tangga. Justru ketika dapat didorong agar mereka
dapat bekerja, pemuda merupakan potensi untuk membayar pajak dari hasil
pekerjaan mereka.
Banyak yang membahas tentang pengangguran ini. Salah
satunya laporan Bank Dunia tentang “Memenuhi Keterampilan Kerja Anak Muda”
yang berisikan bahwa pendidikan kita belummeningkatkankemampuan kognitif yang
cukup dan belum meningkatkan keterampilan dan soft skills pencari kerja. Hal
yang sama juga dijumpai di berbagai negara seperti Mesir, India, dan
Bangladesh. Tugas menyediakan proses keterampilan untuk anak muda sungguh
mulia akan mampu memecahkan apa yang ada dalam tirai kemiskinan di Indonesia.
Pemuda Pasif
Dimensi yang sangat merisaukan kita adalah ketika angka
pengangguran sekitar 17,4 juta pada kondisi terakhir, para pencari kerja itu
masih optimistis, mereka masih berupaya mencari kerja. Dimensi lain adalah
masuknya kelompok pemuda usia 15-24 tahun yang masuk kategori tidak bekerja,
tidak sedang mencari pekerjaan, tidak sekolah, dan tidak berumah tangga.
Mereka menjawab ketika Susenas dilakukan
berstatus “lainnya”. Kelompok ini fenomena baru di balik data kemiskinan yang
menurun di Indonesia. Justru kelompok penduduk yang menjawab “lainnya”/
”idle“, atau pemuda malas justru mengalami peningkatan yang sangat merisaukan
kita. Pada 2007 di Indonesia jumlah yang masuk kategori “lainnya” ini
sebanyak 8,4 juta orang, meningkat menjadi 8,5 juta pada 2010 dan data
terakhir tetap mengalami peningkatan menjadi 8,7 juta orang pada 2013.
Mereka ini adalah malas dan pasif, sekitar 25% berusia
tua, namun sebanyak seperempat adalah berusia muda. Jika kita jumlahkan,
sebenarnya bobot masalah baru pengangguran dan “idle“ menjadi 16,1 juta.
Sebuah angka yang fantastis di balik sedikit penurunan angka kemiskinan
nasional. Bagaimana kita menjelaskan fenomena ini? Sulit menjelaskan siapa
yang masuk kategori “idle” ini.
Memang pada kisaran 25% di antaranya orang tua dan mereka
memang tidak akan menjadi pekerja lagi. Tetapi, jumlah anak muda yang masuk
kategori ini sebenarnya menunjukkan peningkatan yang tinggi. Kita bisa
berdalih mereka ini menunggu untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang
berikutnya atau menunggu untuk berkeluarga.
Atau sama sekali tidak tahu mau melakukan apa karena tidak
memiliki keterampilan. Kalau mau berusaha, sebagian besar mereka tidak
memiliki keterampilan kerja atau tinggal dengan orang tua yang juga miskin.
Di negara maju mereka yang masuk kategori “idle” ini juga besar, namun “idle”
karena cacat hanya pada kisaran 2-3%.
Pada umumnya karena kemiskinan dan termasuk tersangkut
dengan proses hukum akibat tindakan kriminal. Berjalan jalanlah ke desadesa
akan ketahuan banyak kelompok anak-anak muda yang duduk di dekat balai pemuda
yang tidak tentu pekerjaan. Atau, lihat di perempatan jalan di perkotaan,
sekarang anakanak usia sekolah dasar (SD) saja sudah berani mencari uang
mengatur lalu lintas.
Lihatkah di sudut-sudut kedai, akan kelihatan kelompok
pemuda yang main domino dan gaple membuang waktu. Sekiranya kita wawancarai
mereka, apakah mereka mendapatkan akses terhadap program- program pembangunan
yang memihak kepada pendayagunaan mereka menjadi produktif, jawabannya akan
nihil.
Program tentang pengangguran dan bahkan untuk mereka yang
malas luput dari program pembangunan. Gejala absensinya negara terhadap
fenomena ini menjadi sangat jelas. Sudah saatnya program khusus difokuskan
oleh pemerintahan baru serta dikonkretkan operasionalnya oleh masing- masing
pemerintahan daerah.
Menyiapkan generasi muda untuk mau bekerja dan
meningkatkan nilai tambah. Jika kita ingin memperoleh sumber pemasukan di
daerah semakin meningkat serta mengurangi problema unofficial economy bagi anak-anak muda, program untuk mereka
mesti disiapkan sesegera mungkin.
Caranya? Pertama, mari petakan mereka per kelurahan.
Kedua, ajak mereka berdiskusi apa yang mereka perlukan. Ketiga, sediakan
pemuda penggerak yang akan meningkatkan motivasi kerja. Keempat, kembangkan
pusat keterampilan per nagari/kelurahan, dan siapkan program insentif bagi
mereka yang ingin melakukan kegiatan. Programkan dalam baliho meningkatkan
semangat kerja mereka. Itu baru maknyus. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar