Audit
dan Kotak Pandora
Rhenald Kasali ; Pendiri Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali
|
KORAN
SINDO, 08 Januari 2015
Pada banyak perusahaan, entah swasta atau BUMN, ada satu
kata yang bisa membuat perut mulas eksekutif: audit. Apalagi kalau disebut
audit investigatif. Mau dikemas dengan bahasa apa pun, dijanjikan semanis apa
pun, bahkan selembut apa pun, kesannya tetap sama, ada sesuatu yang dicurigai
atau: cari dan temukan sesuatu yang salah.
Itulah yang membuat perut menjadi mulas. Audit biasanya
dilakukan dengan mengevaluasi apakah yang kita lakukan sehari-hari sudah
sesuai dengan standard operating
procedure (SOP). Kalau sudah, tetapi outcome-nya
tetap jelek, SOP-nya yang perlu diperbaiki. Tapi, ini yang celaka, ada saja
orang yang suka bekerja di luar SOP. Misalnya dengan alasan mencari
terobosan.
Kalau hasil akhirnya baik, mungkin pelanggaran itu tak
akan ketahuan. Repotnya kalau hasil akhirnya ternyata tak sesuai dengan
harapan, bahkan terjadi musibah karena satu dan lain hal yang tak ada
hubungannya dengan SOP itu sekalipun. Celakalah kita. Anda tahu hari-hari ini
kata audit tengah naik daun. Pemicunya adalah musibah yang menimpa pesawat
AirAsia QZ8501.
Di luar dugaan, dari pemeriksaan sementara, pesawat nahas
itu terbang di luar jadwal dari izin Kementerian Perhubungan. Kasus inilah
yang kemudian membuat Menteri Perhubungan Ignasius Jonan memerintahkan
dilakukan audit terhadap skedul terbang dari seluruh maskapai. Jangan-jangan kasus
”penerbangan tak sesuai jadwal” tidak hanya terjadi pada AirAsia, tetapi juga
maskapai- maskapai penerbangan lain.
Kenyataannya, ya. Di Bandara Juanda, Surabaya, saja ada 15
kasus penerbangan di luar jadwal yang melibatkan empat maskapai, yakni
AirAsia, Lion Air, Trigana Air, dan Kal Star Aviation. Entah bagaimana dengan
yang terjadi di bandara-bandara lain. Kini, 15 skedul penerbangan dari empat
maskapai tersebut dibekukan sampai izin resmi dikeluarkan oleh Ditjen
Perhubungan Udara, Kementerian Perhubungan. Kapan? Entahlah.
Kotak Pandora
Pembekuan jadwal itu tentu punya dampak berantai.
Perubahan skedul di suatu bandara tentu berdampak pada bandara lain seperti
bandara tujuan. Lalu penumpang yang sudah membeli tiket menjadi korban. Bukan
hanya penumpang dari bandara asal, tetapi juga penumpang di bandara tujuan
yang akan kembali.
Mereka yang betul-betul merasa kesal dan dirugikan akibat
pembatalan tersebut, sesuai dengan UU Perlindungan Konsumen, tentu bisa
menggugat pihak maskapai penerbangan. Persidangannya bakal bergulir. Waktunya
bisa sebentar, bisa sangat lama. Anda tentu tahu, pengadilan di Indonesia
termasuk salah satu yang termahal.
Ini, antara lain, karena tak jelas kapan selesainya dan
terutama juga tak jelas kapan keputusannya bisa dieksekusi. Jadi, bagi saya,
audit yang dilakukan Kementerian Perhubungan terhadap penerbangan yang di
luar skedul betul-betul bak membuka kotak pandora. Sekali terbuka, kita akan
sulit mengendalikan apa saja yang akan bermunculan dari dalam kotak tersebut.
Bisa baik, bisa jelek. Bak bola liar.
Salah satu bola liar itu, kalau terbukti banyak
penerbangan yang di luar jadwal, adalah kemungkinan adanya penyelidikan oleh International Civil Aviation Organization
(ICAO). Lembaga ini tentu akan mencari tahu, bagaimana pesawatpesawat itu
bisa leluasa terbang di luar skedul di atas udara Indonesia.
Tata kelola yang semacam ini tentu tak sesuai dengan
standar ICAO. Kalau temuan ICAO terbukti, saya khawatir sanksi sudah menanti.
Kita pernah mengalaminya. Dalam buku From
One Dollar to Billion Dollars Company (2014), saya mengulas sanksi
larangan terbang ke Amerika Serikat dan Eropa bagi maskapai-maskapai
penerbangan Indonesia, termasuk Garuda Indonesia, tahun 2007.
Itu karena kita tidak menerapkan standar keamanan dan
keselamatan penerbangan sesuai dengan regulasi ICAO. Larangan itu tentu bisa
berimbas ke mana-mana. Industri pariwisata bisa terkena dampak. Reputasi
negara pun bisa tercoreng. Setelah melakukan berbagai perbaikan yang
melelahkan, akhirnya pada Juli 2009, larangan terbang ke Eropa dicabut.
Akankah kasus AirAsia, yang terbang di luar jadwal, bisa
punya imbas serupa? Mungkin saja. Harap diingat, yang melanggar ini bukan
AirAsia Malaysia, melainkan perusahaan patungan yang beroperasi di Indonesia:
AirAsia Indonesia. Bola liar lainnya, audit skedul yang dilakukan terhadap
jadwal penerbangan ternyata mendorong munculnya permintaan serupa di industri
transportasi darat.
Lalu, mungkin saja sebentar lagi juga muncul permintaan
serupa dari para stakeholders di industri transportasi laut. Bagi saya,
permintaan semacam itu sangat wajar. Wajah industri transportasi darat dan
laut kita memang masih centang perenang. Seorang teman pernah diminta menjadi
CEO angkutan laut yang menangani penyeberangan. Setelah melakukan penyamaran
di lapangan, dia jadi mengerti mengapa BUMN yang dipimpinnya selalu merugi.
Faktanya, para manajer dan petugas lapangan begitu mudah
disogok perusahaan-perusahaan swasta yang ingin bisnisnya cepat sukses.
Caranya? Mudah. Mereka melakukan sabotase dengan mengganjal truk-truk yang
mau keluar. Kalau bannya pecah saja, maka truk-truk di belakangnya akan
terhambat keluar. Kapal akan tertambat lama.
Maka penumpang yang siap diangkut pindah ke angkutan milik
tetangga sebelah. Ia pun melalukan pembenahan secara menyeluruh. Mulai dari
rotasi SDM, memasang kamera CCTV, menempatkan pengawasan melalui satelit, dan
sebagainya. Berhasilkah? Ternyata berhasil. Ruang gerak para penyimpang makin
sempit, perusahaan untung.
Tapi pada saat yang bersamaan karyawan mulai resah,
direksi terbagi dua. Menurut kabar, sebagian di antara mereka adalah pelaku
utama yang kelak akan menjadi sasaran sang CEO. Sejak itulah gerakan perlawanan
muncul, mereka membuat mosi tidak percaya. Kawan saya pun dicopot. Anda yang
memimpin perubahan di korporasi tentu paham dengan pola seperti ini.
Hampir semua pelaku perubahan mengalami nasib serupa. Kata
para ahli fengshui , kalaududuk, tempatkan kursi Anda membelakangi tembok
beton yang kuat. Kalau ia diterjang, kau akan aman. Artinya, setiap melakukan
perubahan, kita harus back-up yang
tulus dan kuat. Bukan orang yang gampang digoyang-goyang.
Short Supply dan Kredibilitas
Baiklah, kita lanjutkan. Selain masalah tadi, permintaan
sektor transportasi di negeri kepulauan ini masih jauh melampaui pasokannya.
Kebijakannya tak keruan. Main tambal sulam dan sama sekali tidak berorientasi
jangka panjang. Dengan kondisi yang semacam itu, kita mudah menerka, pasti
banyak kepentingan yang bermain di dalamnya.
Bicara soal potret transportasi darat di Indonesia,
menurut kajian Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2011, kecelakaan lalu
lintas sudah menjadi pembunuh ketiga terbesar setelah penyakit jantung
koroner dan TBC. Celakanya lagi, sekitar 67% dari korban kecelakaan lalu
lintas adalah penduduk yang berada dalam kelompok usia produktif, yakni 22-50
tahun.
Saya yakin, untuk tahun ini potret tersebut belum banyak
berubah. Kondisi angkutan darat kita masih jauh dari harapan. Kendaraan tak
layak jalan masih banyak yang beroperasi. Lihat saja, Senin lalu (5/1), ada
sebuah truk yang baknya terangkat dan tersangkut di jembatan penyeberangan di
jalan tol Jagorawi. Akibatnya kemacetan panjang terjadi di jalan tol itu.
Bagaimana bisa truk yang kondisinya seperti itu lalu
lalang di jalan raya? Pasti ada yang tak beres dengan urusan uji kir. Untuk
memperbaiki layanan transportasi darat, saya sejak lama berteriak, jadikan
kereta sebagai backbone (tulang
punggung)-nya. Sayangnya, saya seperti berteriak di gurun pasir.
Mudah-mudahan pemerintah kali ini lebih responsif.
Auditor
Baiklah, kini kita kembali ke soal audit. Proses audit
selalu melibatkan auditor. Norman Ralph Augustine, seorang penguasa
kedirgantaraan yang kerap dimintai pandangannya oleh Kementerian Pertahanan
Amerika Serikat, punya komentar menarik tentang auditor. Katanya begini, ”Two-thirds of the Earth’s surface is
covered with water. The other third is covered with auditors from
headquarters.”
Begitu besarnya kuasa para auditor. Maka, saya tak heran
kalau banyak pihak yang merasa mulas perutnya ketika mendengar kata audit.
Saya kira ini dialami juga oleh jajaran Kementerian Perhubungan, pihak
pengelola bandara, para petugas air
traffic control (ATC), dan maskapai penerbangan. Bukan mustahil,
orang-orang di jajaran kementerian banyak yang sedang mulas karena sejak lama
kita tahu ada banyak kejanggalan.
Para eksekutif BUMN sudah lama mengeluh. Katanya, kok bisa
pihak kementerian lebih terlihat pro-armada-armada milik asing atau swasta
ketimbang milik negara sendiri? Tapi, saya kira lebih baik semua ikut mulas
dan biarlah terungkap praktik-praktik tak sehat ini. Kalau memang banyak
penyakitnya, lebih baik berobat. Kalau kita tak bisa mengobatinya sendiri,
biarlah orang lain yang melakukannya.
Ketimbang pura-pura tidak ada masalah apa-apa, lalu
musibah berdatangan silih berganti. Ini semata-mata soal nyawa, bukan hanya
harga diri. Siapa bilang pelanggaran jadwal ini tak ada hubungannya dengan
musibah? Semua ini saling berhubungan dan mudah dijelaskan kok. Jangan selalu
menyalahkan alam dan Tuhan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar