Kamis, 08 Januari 2015

Sanksi Pidana Kecelakaan Air Asia

Sanksi Pidana Kecelakaan Air Asia

Agust Riewanto  ;   Dosen Program Pascasarjana Ilmu Hukum
Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta
MEDIA INDONESIA,  07 Januari 2015

                                                                                                                       


KECELAKAAN pesawat Air Asia QZ8501 rute Surabaya Singapura di Selat Karimata, Kalimantan Tengah, mencuri perhatian dunia. Bukan saja karena menelan korban yang cukup besar, yakni 155 penumpang dan 7 awak, melainkan juga keberhasilan tim Basarnas menemukan tempat kejadian dan mengevakuasi korban dalam waktu yang begitu singkat.

Aspek hukum pidana selalu dilupakan dalam melihat kecelakaan pesawat udara di negeri ini. Selama ini, publik selalu didorong untuk memercayai bahwa kecelakaan pesawat hanya disebabkan faktor kesalahan teknis dan seolah tidak terkait dengan kesalahan serta pertanggungjawaban yuridis. Itulah sebabnya pascakecelakaan pesawat selalu diakhiri dengan penemuan kotak hitam. 

Setelah itu, semua persoalan dianggap selesai dan rekomendasinya hanya berkait seputar perbaikan teknologi pesawat. Hukum penerbangan kita cacat dan tak komprehensif menjawab aneka problem penegakan hukum dalam kecelakaan pesawat udara sipil.

Kejanggalan hukum

Berdasarkan investigasi sementara dari beberapa pihak, terdapat empat kejanggalan hukum yang diduga menjadi penyebab kecelakaan. Pertama, pesawat tersebut diduga tidak memiliki dokumen cuaca. Berdasarkan dokumen yang dihimpun BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika) kepada Menhub pada 31/12/2014, ternyata Air Asia baru mengambil bahan informasi cuaca 42 menit setelah pesawat itu menghilang.

Kedua, pesawat itu diduga tidak memiliki dokumen keselamatan. Berdasarkan informasi dari keselamatan penerbangan Air Navigation (Air Nav), pesawat itu terbang tanpa dokumen keselamatan penerbangan. Dokumen yang dimaksud ialah Emergency Air worthiness Directive yang diterbitkan European Aviation Safety Agency, pada 9/12/2014, untuk Airbus jenis A320-216 yang dipakai Air Asia.

Ketiga, diduga terjadi miskomunikasi antara pilot dan petugas air traffic control (ATC). Besar kemungkinan, ATC di Bandara Soekarno-Hatta tidak memberi tahu cuaca buruk di atas Selat Karimata. Padahal, BMKG mengetahui keberadaan awan kumulonimbus yang menjulang tinggi hingga ketinggian 40 ribu kaki. 

Permintaan pilot Air Asia untuk terbang lebih tinggi baru dibalas dua menit kemudian. Keempat, diduga kuat terjadi jadwal penerbangan ilegal. Berdasarkan data dari Kemenhub, Air Asia rute ini seharusnya hanya terbang pada Senin, Selasa, Kamis, dan Sabtu. Bahkan, Air Asia melanggar jadwal waktu, seharusnya terbang hanya pada pukul 07.30 WIB, namun dimajukan pada pukul 5.35 WIB.

Fakta-fakta itu menunjukkan bahwa penyebab kecelakaan pesawat Air Asia, selain faktor teknis juga terdapat faktor kesalahan standard operating procedure (SOP) yang berarti melanggar ketentuan dan prosedur hukum di dalamnya. Karena itu, investigasi Air Asia ini tidak boleh berhenti pada investigasi teknis saja. Akan tetapi, juga dilanjutkan investigasi dari aspek pelanggaran hukumnya, baik berupa hukum administrasi penerbangan maupun hukum pidana.

Pihak penanggung jawab pidana

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 359-361 KUHP; UU No 15/1992 jo UU No 1/2009 tentang Penerbangan dan Permenhub No KM 47 Tahun 2002 tentang Sertifikasi Operasi Bandar Udara, paling tidak terdapat tiga pihak yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, yaitu pengelola bandara, awak pesawat, dan maskapai penerbangan.Tiga pihak itu seharusnya mendapatkan sanksi administrasi dan pidana sekaligus.

Pengelola bandara dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana apabila terbukti bahwa kecelakaan pesawat terjadi karena kondisi bandara yang tidak memenuhi syarat. Dalam hal itu, pengelola bandara Juanda Surabaya telah melakukan pelayanan terbang Air Asia tanpa disertai prosedur keamanan dan keselamatan penerbangan, maka dapat dikenai sanksi administrasi teguran hingga pencabutan sertifikat izin operasional.

Awak pesawat, baik pilot maupun kru lainnya dapat dikenai tanggung jawab pidana jika terjadi kecelakaan pada pesawat yang mereka operasikan. Tentunya, jika pilot dan krunya masih hidup. Pasal 359 dan 360 KUHP menetapkan bahwa orang yang karena kesalahannya menyebabkan orang lain mati atau luka berat, maka diancam pidana penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun. Ancaman pidana tersebut bahkan dapat ditambah sepertiga serta dipecat dari pekerjaan, menurut Pasal 361 KUHP jika tindak pidana tersebut dilakukan terkait dengan jabatan atau pekerjaan.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 441 UU No 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, maskapai yang merupakan korporasi badan hukum di bidang transportasi udara sebenarnya juga dapat dikenai sanksi pidana jika terjadi kecelakaan pesawat. Pada tubuh maskapai penerbangan terdiri dari tiga organ, yaitu RUPS, komisaris, dan direksi, pihak lain dan juga pilot, serta kru pesawat. Sanksi yang dapat diberikan ialah pencabutan izin operasional dan pemberian ganti rugi bagi korban kecelakaan pesawat.

Berdasarkan ketentuan PBB melalui Pasal 21 Konvensi Montreal Tahun 1999, telah menetapkan nominal ganti rugi bagi para korban secara detail. Maskapai harus memberikan kompensasi kepada penumpang yang cedera ataupun meninggal sebesar 100 ribu special drawing rights (SDR). Pihak maskapai juga wajib memberikan kompensasi sebesar 17 SDR per kilogram kepada penumpang atau keluarga korban. SDR merupakan satuan mata uang yang digunakan International Monetary Fund (IMF). Satu SDR sama dengan US$1,5. Air Asia harus memberi kompensasi kepada 155 penumpang korban sebesar US$23,25 juta atau Rp297,6 miliar (kurs Rp12.800 per US$). (Metrotvnews, 1/1).

Kelemahan UU penerbangan

Fakta-fakta hukum dan ketentuan regulasi pidana itu tampaknya hanya garang di atas kertas, sebab berdasarkan UU No 1/2009 tentang Penerbangan, tidak menganut model investigasi hukum, tetapi menganut model investigasi teknis belaka. Bahkan, kinerja Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), tidak menginvestigasi kesalahan hukum, tetapi hanya ditugasi untuk menginvestigasi kesalahan teknis yang mengakibatkan kecelakaan.

Pada tubuh KNKT tidak melibatkan institusi hukum, baik penyidik kepolisian maupun kejaksaan. Itulah sebabnya, setiap kali terjadi kecelakaan pesawat terbang tidak pernah terungkap siapa yang dikenai tanggung jawab pidana, kapan, serta apa sanksi pidana. Itulah kelemahan utama UU No 1/2009 tentang Penerbangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar