Sanksi
Pidana Kecelakaan Air Asia
Agust Riewanto ; Dosen Program Pascasarjana Ilmu Hukum
Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 07 Januari 2015
KECELAKAAN pesawat Air Asia QZ8501
rute Surabaya Singapura di Selat Karimata, Kalimantan Tengah, mencuri
perhatian dunia. Bukan saja karena menelan korban yang cukup besar, yakni 155
penumpang dan 7 awak, melainkan juga keberhasilan tim Basarnas menemukan
tempat kejadian dan mengevakuasi korban dalam waktu yang begitu singkat.
Aspek hukum pidana selalu
dilupakan dalam melihat kecelakaan pesawat udara di negeri ini. Selama ini,
publik selalu didorong untuk memercayai bahwa kecelakaan pesawat hanya
disebabkan faktor kesalahan teknis dan seolah tidak terkait dengan kesalahan
serta pertanggungjawaban yuridis. Itulah sebabnya pascakecelakaan pesawat
selalu diakhiri dengan penemuan kotak hitam.
Setelah itu, semua persoalan
dianggap selesai dan rekomendasinya hanya berkait seputar perbaikan teknologi
pesawat. Hukum penerbangan kita cacat dan tak komprehensif menjawab aneka
problem penegakan hukum dalam kecelakaan pesawat udara sipil.
Kejanggalan
hukum
Berdasarkan investigasi sementara
dari beberapa pihak, terdapat empat kejanggalan hukum yang diduga menjadi
penyebab kecelakaan. Pertama, pesawat tersebut diduga tidak memiliki dokumen
cuaca. Berdasarkan dokumen yang dihimpun BMKG (Badan Meteorologi,
Klimatologi, dan Geofisika) kepada Menhub pada 31/12/2014, ternyata Air Asia
baru mengambil bahan informasi cuaca 42 menit setelah pesawat itu menghilang.
Kedua, pesawat itu diduga tidak
memiliki dokumen keselamatan. Berdasarkan informasi dari keselamatan
penerbangan Air Navigation (Air
Nav), pesawat itu terbang tanpa dokumen keselamatan penerbangan. Dokumen yang
dimaksud ialah Emergency Air worthiness
Directive yang diterbitkan European
Aviation Safety Agency, pada 9/12/2014, untuk Airbus jenis A320-216 yang
dipakai Air Asia.
Ketiga, diduga terjadi
miskomunikasi antara pilot dan petugas air traffic control (ATC). Besar
kemungkinan, ATC di Bandara Soekarno-Hatta tidak memberi tahu cuaca buruk di
atas Selat Karimata. Padahal, BMKG mengetahui keberadaan awan kumulonimbus
yang menjulang tinggi hingga ketinggian 40 ribu kaki.
Permintaan pilot Air
Asia untuk terbang lebih tinggi baru dibalas dua menit kemudian. Keempat,
diduga kuat terjadi jadwal penerbangan ilegal. Berdasarkan data dari
Kemenhub, Air Asia rute ini seharusnya hanya terbang pada Senin, Selasa,
Kamis, dan Sabtu. Bahkan, Air Asia melanggar jadwal waktu, seharusnya terbang
hanya pada pukul 07.30 WIB, namun dimajukan pada pukul 5.35 WIB.
Fakta-fakta itu menunjukkan bahwa
penyebab kecelakaan pesawat Air Asia, selain faktor teknis juga terdapat
faktor kesalahan standard operating procedure (SOP) yang berarti melanggar
ketentuan dan prosedur hukum di dalamnya. Karena itu, investigasi Air Asia
ini tidak boleh berhenti pada investigasi teknis saja. Akan tetapi, juga
dilanjutkan investigasi dari aspek pelanggaran hukumnya, baik berupa hukum
administrasi penerbangan maupun hukum pidana.
Pihak
penanggung jawab pidana
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal
359-361 KUHP; UU No 15/1992 jo UU No 1/2009 tentang Penerbangan dan Permenhub
No KM 47 Tahun 2002 tentang Sertifikasi Operasi Bandar Udara, paling tidak
terdapat tiga pihak yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, yaitu
pengelola bandara, awak pesawat, dan maskapai penerbangan.Tiga pihak itu
seharusnya mendapatkan sanksi administrasi dan pidana sekaligus.
Pengelola bandara dapat dimintakan
pertanggungjawaban pidana apabila terbukti bahwa kecelakaan pesawat terjadi
karena kondisi bandara yang tidak memenuhi syarat. Dalam hal itu, pengelola
bandara Juanda Surabaya telah melakukan pelayanan terbang Air Asia tanpa
disertai prosedur keamanan dan keselamatan penerbangan, maka dapat dikenai
sanksi administrasi teguran hingga pencabutan sertifikat izin operasional.
Awak pesawat, baik pilot maupun
kru lainnya dapat dikenai tanggung jawab pidana jika terjadi kecelakaan pada
pesawat yang mereka operasikan. Tentunya, jika pilot dan krunya masih hidup.
Pasal 359 dan 360 KUHP menetapkan bahwa orang yang karena kesalahannya
menyebabkan orang lain mati atau luka berat, maka diancam pidana penjara
selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun. Ancaman
pidana tersebut bahkan dapat ditambah sepertiga serta dipecat dari pekerjaan,
menurut Pasal 361 KUHP jika tindak pidana tersebut dilakukan terkait dengan
jabatan atau pekerjaan.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal
441 UU No 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, maskapai yang merupakan korporasi
badan hukum di bidang transportasi udara sebenarnya juga dapat dikenai sanksi
pidana jika terjadi kecelakaan pesawat. Pada tubuh maskapai penerbangan
terdiri dari tiga organ, yaitu RUPS, komisaris, dan direksi, pihak lain dan
juga pilot, serta kru pesawat. Sanksi yang dapat diberikan ialah pencabutan
izin operasional dan pemberian ganti rugi bagi korban kecelakaan pesawat.
Berdasarkan ketentuan PBB melalui
Pasal 21 Konvensi Montreal Tahun 1999, telah menetapkan nominal ganti rugi
bagi para korban secara detail. Maskapai harus memberikan kompensasi kepada
penumpang yang cedera ataupun meninggal sebesar 100 ribu special drawing rights (SDR). Pihak maskapai juga wajib
memberikan kompensasi sebesar 17 SDR per kilogram kepada penumpang atau
keluarga korban. SDR merupakan satuan mata uang yang digunakan International Monetary Fund (IMF). Satu
SDR sama dengan US$1,5. Air Asia harus memberi kompensasi kepada 155
penumpang korban sebesar US$23,25 juta atau Rp297,6 miliar (kurs Rp12.800 per
US$). (Metrotvnews, 1/1).
Kelemahan
UU penerbangan
Fakta-fakta hukum dan ketentuan
regulasi pidana itu tampaknya hanya garang di atas kertas, sebab berdasarkan
UU No 1/2009 tentang Penerbangan, tidak menganut model investigasi hukum,
tetapi menganut model investigasi teknis belaka. Bahkan, kinerja Komite
Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), tidak menginvestigasi kesalahan
hukum, tetapi hanya ditugasi untuk menginvestigasi kesalahan teknis yang
mengakibatkan kecelakaan.
Pada tubuh KNKT tidak melibatkan
institusi hukum, baik penyidik kepolisian maupun kejaksaan. Itulah sebabnya,
setiap kali terjadi kecelakaan pesawat terbang tidak pernah terungkap siapa
yang dikenai tanggung jawab pidana, kapan, serta apa sanksi pidana. Itulah
kelemahan utama UU No 1/2009 tentang Penerbangan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar