Restorasi,
Revolusi Mental, dan PLTN
Markus Wauran ; Peneliti Indonesia Nuclear Society
|
MEDIA
INDONESIA, 08 Januari 2015
ADA perkembangan menarik terkait
isu nuklir akibat krisis energi listrik yang belakangan ini mulai ramai
diperbincangkan. Setidaknya, itu tergambar dari sebuah sarasehan nasional di
Jakarta yang bertajuk `Peranan
Teknologi Nuklir Dalam Bidang Pangan dan Energi Untuk Kesejahteraan Rakyat'
yang digagas Media Indonesia (11/12/2014).
Bagi penulis, pelaksanaan
sarasehan itu suatu kejutan karena awalnya Media Indonesia dalam
pemberitaannya sangat kritis terhadap kehadiran pembangkit listrik tenaga
nuklir (PLTN) di Indonesia. Namun, ide restorasi bangsa yang diusung CEO
Media Group, Surya Paloh, untuk membangun Indonesia ke depan, menjadi linier
dengan isu PLTN. Pertimbangan yang rasional, objektif, dan strategis demi
kemajuan bangsa ke depan. Khususnya dalam memenuhi kebutuhan energi listrik
yang terus mengalami krisis, itu membuat harian ini menjadi welcome.
Sikap merestorasi ke dalam diri
sendiri yang meletakkan kepentingan bangsa di atas segala kepentingan lain,
perlu diikuti pihak-pihak untuk kehadiran PLTN.
Pemanfaatan, pengembangan, dan
penguasaan teknologi nuklir sejatinya telah dimulai sejak Presiden Soekarno
meresmikan beroperasinya reaktor TRIGA Mark II di Bandung 1965. Peresmian
reaktor tersebut didampingi ahli-ahli nuklir muda Indonesia, seperti Djali Ahimsa,
Sutaryo Supadi, dan Iyos Subki. TRIGA ialah singkatan dari training, research, isotop, general atomic.
Reaktor buatan general atomic (AS) itu ialah reaktor yang berfungsi untuk
training, riset, dan produksi isotop (TRI). Atas rintisan Presiden Soekarno
tersebut, maka pemanfaatan, pengembangan, dan penguasaan iptek nuklir di
Indonesia ialah yang termaju di Asia Tenggara. Bahkan, Indonesia lebih dahulu
jika dibandingkan dengan Korea Selatan.
Saat ini, ada tiga reaktor nuklir
yang sedang beroperasi di Indonesia. Selain TRIGA Mark II di Bandung, yaitu
reaktor Kartini di Yogyakarta dan reaktor Siwabessy di Serpong dan
operatornya ialah putra-putra terbaik bangsa. Kemudian, di tiga tempat itu
menjadi kawasan nuklir karena telah dibangun berbagai sarana dan prasarana
serta fasilitas nuklir lainnya. Di samping itu, tersedia berbagai ahli nuklir
tamatan dalam dan luar negeri yang bekerja di lembagalembaga pemerintahan,
seperti Batan, Bapeten, dan pengajar di berbagai universitas. Berbagai
perangkat hukum juga sudah ditetapkan baik dalam bentuk UU, Peraturan
Pemerintah, dan Peraturan Presiden. Semua perangkat aturan itu diadakan dalam
rangka pembangunan PLTN demi menunjang pembangunan nasional yang
berkelanjutan berwawasan lingkungan. Sejak Orde Baru, sebenarnya PLTN sudah
layak untuk dibangun karena telah memenuhi syarat termasuk studi tapak di
Muria, Jawa Tengah. Di lokasi itu layak untuk dibangun PLTN.
Politisasi
Namun, kehadiran PLTN di Indonesia
telah menjadi polemik dan debat kusir berkepanjangan. Bahkan, itu menjadi
mangsa permainan politik dengan berbagai kepentingan sepihak, sesaat, dan
sesat yang muaranya mengorbankan kepentingan strategis bangsa untuk menjadi
bangsa yang kuat, maju, dan terhormat.Para pejabat pemerintah juga ikut
terlibat dalam permainan yang tidak bergengsi itu, sekaligus mengkhianati
perencanaan yang sudah dibuat sendiri.Sejarah mencatat bahwa krisis
energi/listrik yang melanda bangsa ini selama bertahuntahun akibat krisis
global ataupun nasional. Seharusnya, itu menjadi pelajaran berharga bagi kita
untuk mengatasinya secara strategis dan bertahap yang berdampak positif bagi
penguatan ketahanan energi nasional untuk jangka menengah dan panjang. Dalam
kenyataan penyelesaiannya hanya sesaat, tidak tuntas, bahkan dibiarkan terus
terjadi karena dijadikan objek para mafia untuk mengambil keuntungan secara
kontinu.
Berbagai pihak sebetulnya sadar
bahwa untuk mengatasi krisis energi/listrik sekaligus memperkuat ketahanan
energi nasional dalam jangka menengah dan panjang, jalan satusatunya ialah
dengan membangun PLTN. Namun, karena berbagai kepentingan sesaat yang
membelit dirinya, jadi yang bersangkutan bersikap tidak sesuai dengan hati
nuraninya. Oleh karena itu, seruan restorasi yang kemudian diperkuat Presiden
Joko Widodo perlu ada revolusi mental dan sudah saatnya diterapkan dalam
rangka kehadiran PLTN di Indonesia.
Restorasi dan revolusi mental itu
diarahkan untuk mengubah sikap perilaku kita dalam segala hal yang merugikan
kepentingan dan kemajuan bangsa. Mental malas, boros, korup, tidak percaya
diri terhadap kemampuan bangsa sendiri, mengidolakan produkproduk asing
secara berlebihan, menghalalkan segala cara, SARA, hingga mau menang sendiri,
sangatlah tidak menguntungkan bangsa ini.Hal itu sudah saatnya ditinggalkan.
Restorasi dan revolusi mental ini harus dimulai dari eksekutif, legislatif,
yudikatif, dan lembaga tinggi negara lainnya. Merekalah yang akan menjadi
teladan bagi masyarakat untuk ikut melakukan restorasi dan revolusi mental
tersebut.
Untuk melakukan restorasi dan
revolusi mental tidaklah gampang karena penuh tantangan dan ujian berat,
bahkan terasa tidak mungkin. Namun, untuk mengubah bangsa ini menjadi bangsa
yang maju, modern, kuat, dan terhormat, tidak ada jalan lain selain melakukan
dua hal tersebut. Presiden Jokowi harus memimpin langsung pelaksanaan
restorasi dan revolusi mental ini. Bila perlu harus ada tindakan-tindakan
tegas dan keras demi kepentingan nasional. Rakyat banyak dan rakyat
kebanyakan, pemuda, mahasiswa, dan dunia pers, serta siapa saja yang
menginginkan perubahan dan kemajuan mendasar bagi bangsa ini pasti akan
mendukung.
Simbiosis
Terkait dengan kehadiran PLTN,
restorasi, dan revolusi mental yang diperlukan ialah mengubah sikap mental
dari sejumlah pihak bahwa kehadiran PLTN bukan menjadi pesaing yang merugikan
para pengusaha dan pejabat yang memiliki usaha di bidang migas. Jangan sampai
mereka dengan berbagai cara berupaya menggagalkan kehadiran PLTN di
Indonesia. Sebaliknya, kehadiran PLTN merupakan simbiosis mutualisme dan
saling melengkapi dengan sumber energi lainnya pada program pemenuhan
kebutuhan energi dalam rangka memperkuat ketahanan energi nasional yang mampu
menghadapi berbagai krisis global. Jadi, kehadiran PLTN bukan untuk saling
menghambat apalagi mematikan satu sama lain.
Di sisi lain, program kehadiran
PLTN hanya untuk tujuan damai dan tidak ada maksud terselubung untuk mengolah
limbah PLTN menjadi plutonium sebagai bahan baku senjata dan bom nuklir.
Kecurigaan dari sejumlah pihak atas kehadiran PLTN perlu direstorasi.
Tegasnya, Indonesia tidak akan menyalahgunakan kehadiran PLTN untuk pembuatan
senjata dan bom nuklir karena terikat ketat dengan berbagai perjanjian
internasional, seperti NPT (nuclear
weapons non-proliferation treaty), ZOPFAN (Asean zone of peace, freedom, and neutrality), SEANWFZ Treaty (South East Asian Nuclear Weapon Free Zone
Treaty), CTBT (comprehensive test
ban treaty), serta mendapat pengawasan ketat dan kontinu dari IAEA (International Atomic Energy Agency).
Semoga gagasan restorasi untuk
mengisi revolusi mental bangsa dalam rangka kehadiran PLTN dan bidang-bidang
lainnya di Indonesia akan diikuti berbagai pihak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar