Kamis, 08 Januari 2015

Perihal Peninjauan Kembali, Tidak Hanya Sekali

Perihal Peninjauan Kembali, Tidak Hanya Sekali

Alek Karci Kurniawan  ;  Analis Hukum dan Kebijakan UKM
Pengenalan Hukum dan Politik Universitas Andalas
MEDIA INDONESIA,  07 Januari 2015

                                                                                                                       


KEADILAN substantif tidak boleh dihalangi keadilan prosedural. Laksana begitulah prinsip yang dipegang Mahkamah Konstitusi (MK), dalam mengeluarkan putusan MK No 34/PUU-XI/2013. Putusan itu mengamarkan bahwa Pasal 268 ayat (3) UU No 8 Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang membatasi peninjauan kem bali (PK) atas suatu putusan hanya sekali ialah inkonstitusional.

Dalam pertimbangan hukumnya, MK berpendapat bahwa upaya hukum luar biasa PK bertujuan untuk menemukan keadilan dan kebenaran materiil. Keadilan tidak dibatasi waktu atau ketentuan formalitas; yang membatasi PK hanya dapat diajukan satu kali. Oleh karena itu, pengadilan yang seharusnya melindungi HAM, tidak membatasi PK hanya sekali.

Putusan itu menyiratkan conditionally constitutional, bahwa PK dapat diajukan le bih dari sekali sepanjang me menuhi syarat yang ditentu kan Pasal 263 ayat (2) KUHAP, seperti adanya novum ataupun adanya con flict van rechtspraak dan sesuai yang dijamin Pasal 28C ayat (1) UUD N RI 1945; khususnya mengenai hak untuk memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi dalam kaitannya, dalam rangka mengajukan PK atas perkara yang telah diputus MA.

Novum adalah keadaan baru yang dikemukakan pemohon secara faktual mempunyai nilai dan relevansi yang sanggup melumpuhkan keadaan yang tertuang dalam putusan semula, sedangkan conflict van rechtspraak adalah terdapatnya saling pertentangan antara pelbagai putusan; maupun dalam putusan dijumpai keke liruan fatal, yang oleh hukum tidak mungkin ditoleransi.

Maka dari itu, dalam hal ini tidak dapat diartikan bahwa PK dapat diajukan beberapa kali secara serta-merta begitu saja karena terdapat syarat syarat yang mesti dipenuhi.

MA tak perlu khawatir

PK secara historis-filosofis merupakan upaya hukum yang lahir demi melindungi kepentingan terpidana. Menurut Mahkamah, upaya hukum PK berbeda dengan banding atau kasasi sebagai upaya hukum biasa.

Upaya hukum biasa harus dikaitkan dengan prinsip kepastian hukum karena tanpa kepastian hukum seperti menentukan limitasi waktu dalam mengajukan upaya hukum biasa justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum; yang tentu akan melahirkan ketidakadilan dan proses hukum yang tidak selesai.

Dengan demikian, ketentuan yang menjadi syarat dapat ditempuh dengan upaya hukum biasa, di samping dengan kebenaran materiil yang hendak dicapai juga terkait dengan persyaratan formal, yaitu terkait dengan tenggang waktu tertentu, setelah diketahuinya suatu putusan hakim oleh para pihak secara formal pula.

Adapun upaya hukum luar biasa bertujuan untuk menemukan keadilan dan kebenaran materiil. Keadilan tidak dapat dibatasi waktu atau ketentuan formalitas yang membatasi bahwa upaya hukum luar biasa (peninjauan kembali) hanya dapat diajukan satu kali karena mungkin saja setelah diajukannya PK dan diputus, ada novum yang substansial ditemukan pada saat PK sebelumnya belum ditemukan.

Maka dari itu, dalam menyikapi hal itu, Mahkamah Agung tidak perlu seakanakan terjangkiti moral panic, seperti dengan menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung No 7 Tahun 2014, pada Rabu (31/12/2014). Sebuah ambivalensi sikap MA terhadap MK, dengan menginstruksikan kepada badan peradilan yang berada di bawahnya; agar PK hanya dapat diajukan satu kali saja. Dengan menilai Putusan MK itu tidak menjamin kepastian hukum.

Toh, pada ketentuan Pasal 66 ayat (2) UU No 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan UU No 5 Tahun 2004, ditentukan bahwa permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan Pengadilan.

Dari ketentuan pasal tersebut dan penjelasan pasalnya berbunyi `cukup jelas'. Maka, dapat kita simpulkan bahwa upaya `peninjauan kembali' tidak akan menunda pelaksanaan putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap.

Dengan demikian, pengajuan PK itu tidak akan mengganggu keseimbangan antara kepastian hukum dan keadilan karena kepastian hukum pada prinsipnya sudah mulai tercipta sejak ada putusan in kracht van gewijsde.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar