Perihal
Peninjauan Kembali, Tidak Hanya Sekali
Alek Karci Kurniawan ; Analis Hukum dan Kebijakan UKM
Pengenalan Hukum dan Politik
Universitas Andalas
|
MEDIA
INDONESIA, 07 Januari 2015
KEADILAN substantif tidak boleh
dihalangi keadilan prosedural. Laksana begitulah prinsip yang dipegang Mahkamah
Konstitusi (MK), dalam mengeluarkan putusan MK No 34/PUU-XI/2013. Putusan itu
mengamarkan bahwa Pasal 268 ayat (3) UU No 8 Tahun 1981 tentang Kitab Hukum
Acara Pidana (KUHAP), yang membatasi peninjauan kem bali (PK) atas suatu
putusan hanya sekali ialah inkonstitusional.
Dalam pertimbangan hukumnya, MK
berpendapat bahwa upaya hukum luar biasa PK bertujuan untuk menemukan
keadilan dan kebenaran materiil. Keadilan tidak dibatasi waktu atau ketentuan
formalitas; yang membatasi PK hanya dapat diajukan satu kali. Oleh karena
itu, pengadilan yang seharusnya melindungi HAM, tidak membatasi PK hanya
sekali.
Putusan itu menyiratkan conditionally constitutional, bahwa PK
dapat diajukan le bih dari sekali sepanjang me menuhi syarat yang ditentu kan
Pasal 263 ayat (2) KUHAP, seperti adanya novum ataupun adanya con flict van
rechtspraak dan sesuai yang dijamin Pasal 28C ayat (1) UUD N RI 1945;
khususnya mengenai hak untuk memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan
teknologi dalam kaitannya, dalam rangka mengajukan PK atas perkara yang telah
diputus MA.
Novum adalah keadaan baru yang
dikemukakan pemohon secara faktual mempunyai nilai dan relevansi yang sanggup
melumpuhkan keadaan yang tertuang dalam putusan semula, sedangkan conflict van rechtspraak adalah
terdapatnya saling pertentangan antara pelbagai putusan; maupun dalam putusan
dijumpai keke liruan fatal, yang oleh hukum tidak mungkin ditoleransi.
Maka dari itu, dalam hal ini tidak
dapat diartikan bahwa PK dapat diajukan beberapa kali secara serta-merta
begitu saja karena terdapat syarat syarat yang mesti dipenuhi.
MA
tak perlu khawatir
PK secara historis-filosofis
merupakan upaya hukum yang lahir demi melindungi kepentingan terpidana.
Menurut Mahkamah, upaya hukum PK berbeda dengan banding atau kasasi sebagai
upaya hukum biasa.
Upaya hukum biasa harus dikaitkan
dengan prinsip kepastian hukum karena tanpa kepastian hukum seperti
menentukan limitasi waktu dalam mengajukan upaya hukum biasa justru akan menimbulkan
ketidakpastian hukum; yang tentu akan melahirkan ketidakadilan dan proses
hukum yang tidak selesai.
Dengan demikian, ketentuan yang
menjadi syarat dapat ditempuh dengan upaya hukum biasa, di samping dengan
kebenaran materiil yang hendak dicapai juga terkait dengan persyaratan
formal, yaitu terkait dengan tenggang waktu tertentu, setelah diketahuinya
suatu putusan hakim oleh para pihak secara formal pula.
Adapun upaya hukum luar biasa
bertujuan untuk menemukan keadilan dan kebenaran materiil. Keadilan tidak
dapat dibatasi waktu atau ketentuan formalitas yang membatasi bahwa upaya
hukum luar biasa (peninjauan kembali) hanya dapat diajukan satu kali karena
mungkin saja setelah diajukannya PK dan diputus, ada novum yang substansial
ditemukan pada saat PK sebelumnya belum ditemukan.
Maka dari itu, dalam menyikapi hal
itu, Mahkamah Agung tidak perlu seakanakan terjangkiti moral panic, seperti
dengan menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung No 7 Tahun 2014, pada Rabu
(31/12/2014). Sebuah ambivalensi sikap MA terhadap MK, dengan
menginstruksikan kepada badan peradilan yang berada di bawahnya; agar PK
hanya dapat diajukan satu kali saja. Dengan menilai Putusan MK itu tidak
menjamin kepastian hukum.
Toh, pada ketentuan Pasal 66 ayat
(2) UU No 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah
dengan UU No 5 Tahun 2004, ditentukan bahwa permohonan peninjauan kembali
tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan Pengadilan.
Dari ketentuan pasal tersebut dan
penjelasan pasalnya berbunyi `cukup jelas'. Maka, dapat kita simpulkan bahwa
upaya `peninjauan kembali' tidak akan menunda pelaksanaan putusan yang sudah
berkekuatan hukum tetap.
Dengan demikian, pengajuan PK itu
tidak akan mengganggu keseimbangan antara kepastian hukum dan keadilan karena
kepastian hukum pada prinsipnya sudah mulai tercipta sejak ada putusan in kracht van gewijsde. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar