Persetujuan
Perppu Pilkada
Saldi Isra ; Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat
Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
|
KORAN
SINDO, 20 Januari 2015
Melihat
perkembangan politik di sekitar Senayan, hampir dapat dipastikan anggota
Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang No 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali
Kota.
Apalagi
kemarin Komisi 2 DPR telah menyepakati membawa perppu tersebut ke rapat
paripurna hari ini. Kemungkinan hari ini produk hukum yang mencabut dan
menyatakan tidak berlakunya Undang-Undang No 22 Tahun 2014 akan mendapat
persetujuan sesuai dengan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945.
Meski
demikian, beberapa partai politik menghendaki dilakukan revisi atas sejumlah
substansi Peraturan Peme-rintah Pengganti Undang-Undang No 1 Tahun 2014
(Perppu Nomor 1/2014 atau Perppu Pilkada). Alasan mendasar yang dikemukakan,
sejumlah pasal memiliki kelemahan substansial untuk bisa menghasilkan
pemilihan kepala daerah yang demokratis dan berkualitas.
Setuju atau Tidak
Terlepas dari
perbedaan sikap dalam memandang Perppu Nomor 1/2014, pilihan politik untuk
menyetujui produk hukum yang lahir dari hak subjektif presiden ini jelas
merupakan upaya untuk memulihkan daulat rakyat dalam memilih kepala daerah.
Apalagi, kalau dibaca risalah pembahasan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, maksud
frase “dipilih secara demokratis” sama dengan model pemilihan presiden dan wakil
presiden.
Sekalipun
arah semua partai politik di DPR telah mengerucut pada persetujuan, DPR tidak
diperbolehkan melakukan perubahan substansi perppu. Dalam ihwal ini, Pasal 22
ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan “peraturan pemerintah itu harus mendapat
persetujuan DPR dalam persidangan berikut” membatasi wewenang legislasi DPR.
Dengan konstruksi itu, DPR hanya diberi pilihan, menyetujui atau tidak
menyetujui perppu.
Sekiranya
menyetujui, DPR (apalagi pemerintah) tidak boleh mengubah ketentuan dalam perppu.
Tidak hanya sebatas pemaknaan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 tersebut, pilihan
setuju atau tidak setuju tersebut juga ditegaskan dalam Undang-Undang No 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU Nomor
12/2011).
Ihwal tindak
lanjut perppu, Pasal 52 ayat (3) UU Nomor 12/2011 menegaskan bahwa DPR hanya
memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap perppu.
Jikalau DPR setuju, perppu ditetapkan menjadi UU. Artinya, secara
konstitusional, tindak lanjut perppu untuk memenuhi Pasal 22 UUD 1945 tidak
memungkinkan dilakukan perubahan substansi.
Karena
keterbatasan pilihan tersebut, dalam pembahasan perppu yang dinilai atau
diuji DPR adalah alasan-alasan subjektif presiden dalam menetapkan perppu.
Bila diletakkan dalam konteks Perppu Nomor 1/ 2014, yang harus diperdebatkan
dalam proses pembahasannya adalah alasan-alasan pre-siden sebagaimana
tertuang dalam konsideran menimbang.
Dalam hal
ini, apakah alasan: (1) menghormati daulat rakyat; (2) perbaikan mendasar
atas berbagai masalah pemilihan langsung; dan (3) penolakan luas rakyat
benar-benar telah menimbulkan kegentingan yang memaksa? Secara hukum, untuk
menilai kondisi kegentingan yang memaksa tersebut DPR dapat menggunakan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/ PUU-VII/2009.
Merujuk pada
putusan ini, perppu diperlukan apabila: (1) adanya keadaan kebutuhan mendesak
untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU; (2) UU yang
dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau ada UU tetapi
tidak memadai; (3) kekosongan hukum tidak dapat diatasi dengan membuat UU
secara prosedur biasa karena memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan
keadaan yang mendesak perlu kepastian untuk diselesaikan.
Berpijak pada
putusan MK tersebut, sangat terbuka kemungkinan memperdebatkan alasan
subjektif presiden dalam menerbitkan Perppu Nomor 1/ 2014. Namun jikalau
dilacak dan ditelusuri semua perppu yang pernah ada dan kemudian disetujui
menjadi UU, sebagian besar dapat dinilai tidak memenuhi alasan objektif ditetapkannya
perppu. Artinya, pengalaman selama ini, proses persetujuan perppu lebih
banyak ditentukan oleh “komunikasi” presiden dan kekuatan politik di DPR.
Secara
sederhana, kepentingan politik hampir selalu menjadi alasan utama persetujuan
perppu. Sulit dibantah, kepentingan politik pulalah yang menjadi alasan
persetujuan Perppu Nomor 1/2014. Meski semua partai politik akan menyetujui
Perppu Nomor 1/2014, sebagai sebuah hak subjektif yang diberikan konstitusi,
DPR perlu menambahkan catatan penting saat memberikan persetujuan untuk
mengingatkan presiden agar tidak mudah menetapkan perppu pada masa mendatang.
Selain mem-by pass wewenang legislasi DPR, perppu
mestinya hanya dapat ditetapkan dalam situasi yang benar-benar memenuhi
syarat “dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa”. Singkatnya, perppu tidak
boleh jadi instrumen untuk menempatkan DPR dalam posisi sulit.
Kebutuhan Revisi
Dalam posisi
dukungan yang nyaris tidak terbelah terhadap persetujuan Perppu Nomor 1/2014,
diharapkan proses pengesahan dan pengundangan segera dilakukan. Langkah cepat
ini perlu untuk menindaklanjuti keinginan sejumlah kalangan agar dilakukan
revisi terbatas terhadap substansi Perppu Nomor 1/2014.
Salah satu
substansi baru yang diatur dalam Perppu No 1/2014 adalah hadirnya tahapan
baru yang disebut dengan uji publik. Jika dilihat dari semua tahapan yang
ada, uji publik dilakukan sebelum tahap pendaftaran calon. Sebagai sebuah
tahapan yang secara eksplisit diwajibkan bagi setiap bakal calon, uji public sebetulnya
menjadi sesuatu yang sangat aneh.
Misalnya,
bagaimana menentukan bakal calon yang dinilai layak untuk diteruskan oleh
partai politik? Pertanyaan ini menjadi penting karena berdasarkan Pasal 38
ayat (2) Perppu Nomor 1/2014 partai politik atau gabungan partai dapat
mengusulkan lebih dari satu bakal calon gubernur, bakal calon bupati, dan
bakal calon wali kota untuk dilakukan uji publik.
Dengan
terbukanya kesempatan mengajukan calon lebih dari satu orang, uji publik
terasa kian aneh karena proses ini ditegaskan tidak menggugurkan pencalonan.
Karena uji publik tidak memberikan jaminan untuk menghadirkan calon
berkualitas dan memiliki integritas, menjadi masuk akal membahas ulang dan
merevisi keberadaannya sebagai salah satu tahapan. Bahkan, tahapan uji publik
berpotensi menimbulkan ketegangan baru sebelum memasuki tahapan pencalonan.
Dalam
berbagai kesempatan saya kemukakan, gagasan ini menarik, tetapi akan jauh
lebih bermakna jika partai politik dipaksa melakukan proses pencalonan yang
terbuka dan transparan seperti konvensi agar calon tidak lahir melalui proses
oligarkis partai politik. Bagi partai politik yang tidak melakukan proses
terbuka dan partisipatif dibatalkan hak pengajuan calonnya oleh komisi
pemilihan umum.
Catatan
terhadap uji publik hanya salah satu saja di antara beberapa substansi yang
memerlukan revisi terbatas dalam Perppu Nomor 1/2014. Misalnya, isu lain
mengenai penyelesaian hasil sengketa pemilihan, kampanye, dana kampanye, dan
lainlain. Bahkan isu wakil kepala juga tidak kalah menarik. Revisi memang
menjadi kebutuhan, tetapi usul tersebut baru dapat dilakukan setelah Perppu
Nomor 1/ 2014 menjadi UU. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar