Kontroversi
Eksekusi Mati
Amzulian Rifai ; Dekan Fakultas Hukum, Universitas Sriwijaya
|
KORAN
SINDO, 20 Januari 2015
Tidak
tanggung-tanggung, Indonesia mengeksekusi enam terpidana mati sekaligus,
Minggu, 17 Januari 2015 dini hari. Eksekusi mati ini tentu saja kontroversial
bagi negara-negara yang sudah menghapus hukuman mati.
Apalagi di
antara enam terpidana mati, hanya Rani Andriani alias Melisa Aprilia saja
yang WNI. Presiden Brasil mengajukan protes sebelum ataupun setelah eksekusi
mati. Brasil dan Belanda bahkan menarik duta besar mereka. Hukuman mati (capital punishment) merupakan topik
panas di dunia internasional. Terjadi perdebatan panas antara kelompok yang
setuju dan menentang hukuman mati.
Masing-masing
memiliki argumentasi. Posisi Indonesia tetap mengakui adanya hukuman mati
yang tertuang dalam beberapa undang-undang, termasuk Undang- Undang Narkotika
dan Undang-Undang Terorisme. Saya pernah dimarahi orang banyak ketika dalam
suatu seminar HAM terbatas di Swedia, menyatakan dukungan diterapkannya
hukuman mati.
Tidak dikira,
cukup banyak peserta yang mengacungkan tangan menyampaikan argumentasi dan
menilai pendapat itu di luar kebiasaan bagi warga negara yang beradab. Malah,
“saya terus dikejar dan dicecar” dengan pertanyaan hingga berlangsungnya coffee break. Intinya, saya dinilai
memiliki pemikiran sesat dan bertentangan dengan nilai-nilai HAM karena pro dengan
hukuman mati.
Begitulah,
ada beberapa alasan bagi mereka yang kontra dengan hukuman mati. Di antara
alasan itu adalah pemenuhan HAM sebagaimana tertuang dalam beberapa instrumen
hukum HAM internasional atau deklarasi HAM. Pasal 3 United Nations Declaration
on Human Rights (UNDHR) “Setiap orang
berhak atas kehidupan, kemerdekaan, dan keamanan pribadi.”
Memang bentuk
yang paling ekstrem dari pelanggaran hak untuk hidup ini ialah pembunuhan
atau melukai jasmani atau rohani dari seseorang ataupun dari kelompok. Tentu
hukuman mati dinilai melanggar pasal ini. Hukuman mati itu sangat melanggar
hak untuk hidup bagi manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Kelompok yang
kontra juga merujuk ke Kovenan Internasional tentang Hak Sipil Politik
(ICCPR) Pasal 6 ayat (1) Pada setiap insan manusia melekat hak untuk hidup.
Hak ini harus
dilindungi olehhukum. Tidak seorang pun insan manusia yang secara gegabah
boleh dirampas kehidupannya. Seperti halnya dijelaskan pada Pasal 3 UNDHR
bahwa pelaksanaan eksekusi mati telah melanggar pasal 6 ayat (1). Indonesia
meratifikasi ICCPR sebagaimana dituangkan dalam UU No 12 Tahun 2005 tentang
Pengesahan ICCPR.
Bukan itu
saja, kelompok yang kontra hukuman mati tidak menilai eksekusi sebagai
solusi. Dalam kejahatan narkoba, misalnya, hukuman mati tidak mampu
menghentikan kejahatan narkotika. Kenyataannya ada peningkatan signifikan
pengguna narkoba. Di banyak penjara, di atas 60% penghuninya terkait dengan
kejahatan narkoba. Ini membuktikan bahwa hukuman mati tidak mampu menimbulkan
efek jera sebagaimana menjadi alasan adanya eksekusi mati.
Namun, jangan
pula meniadakan argumentasi pihak-pihak yang pro dengan hukuman mati karena
kejahatan yang dilakukan sudah sangat meresahkan masyarakat. Dalam kejahatan
narkoba di Indonesia, misalnya, setiap hari ada 40 sampai 50 orang yang
meninggal karena penyalahgunaan narkoba. Rata-rata mereka yang mati
sia-siaadalahgenerasimuda harapan bangsa.
Mungkin tidak
seberapa dibandingkan dengan jumlah yang dihukum mati karena kejahatan
terkait dengan narkoba. Kini hampir tidak ada wilayah kabupaten (bahkan
kecamatan) di Indonesia yang bebas dari peredaran narkoba. Hampir tidak ada
profesi yang bebas dari penyalahgunaannya, bahkan “berkali-kali” aparat hukum
juga terjerat kasus penyalahgunaan narkoba. Malah, ada yang menjadi bandar
dan pelindung peredaran narkoba.
Eksekusi mati
adalah upaya memberikan efek jera kepada mereka yang bertanggung jawab atas
peredaran barang haram itu. Bukan hanya soal upaya pemberian efek jera, para
outlaws ini juga tetap berpotensi besar menyusahkannegara apabiladibiarkan
tetap hidup. Mereka yang dihukum seumur hidup, misalnya, malah menggunakan
pengaruh dan kelicikannya tetap menjalankan bisnis narkoba dari balik
penjara.
Dihukum
seumur hidup pun tetap menambah beban negara yang harus menanggung ongkos
hidupnya selama dalam masa tahanan, walaupun harus diketahui benar mana yang
pengguna dan mana pula masuk kategori pengedar atau produsen. Tidak boleh
salah dalam memberikan vonis mati sesuai dengan tingkat kesalahan.
Indonesia
telah menjadi negara tujuan utama peredaran narkoba dunia. Bukanitusaja,
malah sekarang sudah naik status menjadi negara produsen narkoba. Sindikat
pengedar narkoba jaringan internasional berlomba-lomba masuk Indonesia karena
dinilai sebagai lahan subur barang haram itu.
Sebelumnya
Indonesia dikenal sebagai negara transit bagi sindikat jaringan narkoba
internasional sebelum melanjutkan perjala nan ke negara tujuan. Sindikat
jaringan internasional belakangan lebih memilih menyelundupkan bahan baku
membuat narkoba ke Indonesia. PengolahandilakukandiIndonesia, karena bahan
baku itu mungkin jarang dicurigai. Untuk mempermudah operasi, mereka
memanfaatkan jaringan lokal, termasuk dengan cara menikah dengan perempuan
Indonesia.
Prediksi
akademik saya, apabila dilakukan survei maka mayoritas masyarakat Indonesia
pro dengan hukuman mati, termasuk terhadap penjahat bidang narkoba. Sikap ini
muncul karena parahnya kerusakan yang ditimbulkan. Nilai sakral dalam
keluarga hancur, ekonomi keluarga tambah berantakan (kemiskinan semakin
merata) dan banyak pengguna yang mati sia-sia.
Walaupun tentu saja berbagai upaya hukum
harus dilakukan sampai pada upaya hukum terakhir, keenam orang terpidana mati
telah melakukan upaya hukum terakhir hingga grasi. Tereksekusi mati Namaona
Denis, WNMalawi, telahmenerima Putusan Pengadilan Negeri 2001, Pengadilan
Tinggi 2002, grasi ditolak 30 Desember 2015. Selanjutnya ada Marco Archer
Cardoso Moreira, WN Brasil, diputus PN 2004.
Ada pula
Daniel Enemuo, WN Nigeria, diputus oleh PN 2004, PT 2004, kasasi 2005, dan
grasi ditolak 30 Desember 2014. Ada Ang Kiem Soei alias Kim Ho alias Ance
Tahir alias Tommi Wijaya, WNI diputus PN 2003, PT 2003, MA 2003, PK 2006,
grasi ditolak 30 Desember 2014. Juga Tran Thi Bich Hanh, WN Vietnam, diputus
PN 2011, PT 2012, ia tidak mengajukan kasasi, langsung grasi dan ditolak.
Terakhir,
Rani Andriani alias Melisa Aprilia (WNI) yang diputus PN 2000, PT 2000, MA
2001, PK 2002, grasi ditolak 30 Desember 2014. Waktu yang lama menuju
eksekusi mati membuktikan negara telah memberikan kesempatan kepada para
terpidana menggunakan semua hak hukum mereka.
Instrumen
hukum internasional seperti ICCPR tidak sepenuhnya melarang hukuman mati.
Pasal 6 ayat (2) ICCPR menyatakan bahwa di negara-negara yang belum
menghapuskan hukuman mati, putusannya dapat diberikan hanya untuk kejahatan
yang paling berat, sesuai dengan undang-undang yang berlaku pada waktu
kejahatan itu dilakukan. Hukuman ini hanya boleh dilaksanakan dengan putusan
terakhir dari pengadilan yang berwenang.
Pasal 6 ayat
(4) ICCPR mengatur bahwa seseorang yang telah dihukum mati harus mempunyai
hak untuk memohon pengampunan atau keringanan hukuman. Maklum saja jika
Brasil dan Belanda sampai menarik pulang duta besar mereka, karena memang
hukuman mati tidak lagi dikenal di dua negara itu. Namun, mereka juga harus
objektif menilai Indonesia yang berdaulat menerapkan hukumnya sendiri.
Bukankah
sejak lama Indonesia dituntut tegas dalam penerapan hukumnya. Eksekusi mati
merupakan bagian dari penegakan hukum Indonesia, setelah segala upaya hukum
yangmenjadihak-hakterpidana telah mentok (exhausted). Indonesia mestinya
tidak ragu dan tidak boleh kalah dengan “tekanan” ini. Apalagi, ke depan
masih ada puluhan terpidana mati lagi yang berpotensi dieksekusi.
Mengacu pada
putusan MK bahwa hukuman mati tidak melanggar konstitusi, apalagi
kompleksitas ekonomi negara, penjara yang kelebihan kapasitas berbaur dengan
oknum aparat yang korup menambah maraknya kejahatan narkoba. Boleh saja
eksekusi mati kontroversi di negara lain, tetapi akan berbeda bagi mayoritas
bangsa Indonesia yang memiliki berbagai cerita duka akibat narkoba.
Sungguhpun, soal eksekusi mati ini, kini dan nanti sikap pro dan kontra itu
sendiri tidak akan pernah berhenti. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar