Hukuman
Mati
Soe Tjen Marching ; Komponis dan Aktivis
|
KORAN
TEMPO, 20 Januari 2015
Masih banyak
yang mendukung keputusan Jokowi mempertahankan hukuman mati dengan alasan
ketegasan serta pencegahan tindakan kriminal. Tapi, benarkah hal ini?
Beratus tahun
yang lalu, hukuman tak bisa dipisahkan dari unsur ekonomi. Para raja bisa
mendapat keuntungan dengan mendenda mereka yang dianggap bersalah atau
menetapkan kerja paksa atas mereka, sehingga kerajaan mendapat tenaga gratis.
Dan tidak kebetulan bila hukum kemudian banyak dimanipulasi demi keuntungan
penguasa dan mempergemuk kantong mereka.
Tentu saja,
zaman berubah. Hukuman seperti ini dikritik habis-habisan. Hukum seharusnya
dibuat untuk melindungi yang lemah, bukan untuk memperkukuh kedudukan
penguasa. Hukum seharusnya dibuat untuk menjamin bahwa setiap orang mempunyai
kedudukan yang sama. Karena pandangan ini, bentuk hukuman pun berubah:
hukuman-hukuman yang melibatkan penyiksaan, yang dulu sempat merajalela pada
zaman kerajaan-kerajaan kuno, mulai ditiadakan.
Hukuman
ditujukan untuk mencegah sang pelaku mengulang tindakannya, sekaligus
memperbaiki dan menyadarkan si pelaku, bukan melampiaskan dendam atau amarah
semata. Hukuman adalah sebuah bentuk rehabilitasi, terutama karena masyarakat
juga semakin sadar bahwa individu yang melanggar hukum tidak bisa dipisahkan
dari sistem atau keadaan sosial yang mendorongnya.
Hukuman
seberat apa pun sering kali tak akan menghentikan tindakan tersebut, karena
hukuman mungkin akan menjerat individu yang tertangkap, namun sering kali
alpa pada pangkal penyebab atau pemicunya, sehingga akar permasalahan terus
berkembang biak.
Salah satu
contohnya adalah hukuman berat yang dijatuhkan terhadap pencopet di Inggris
pada abad ke-18 hingga awal abad ke-19. Karena merajalelanya pencopetan saat
itu, hukum gantung dijatuhkan terhadap pencopet. Tapi, apa yang terjadi? Saat
hukuman gantung dilaksanakan di alun-alun, saat itu jugalah para pencopet
paling aktif beraksi. Karena kebutuhan mereka untuk mencopet jauh lebih besar
daripada rasa takut akan hukuman mati tersebut.
Kemiskinan
dan ketimpangan sosial telah menyebabkan maraknya geng-geng copet. Inilah
yang seharusnya ditanggulangi oleh pemerintah. Ditambah pula dengan kecilnya
kemungkinan bahwa para pencopet akan tertangkap, karena yang berwajib lebih
sibuk mengawasi keamanan anggota kerajaan daripada mengurus rakyat.
Alasan
dilaksanakannya hukuman mati untuk mencegah kriminal adalah ambigu. Dengan
hukuman mati, kita memotong tali komunikasi terhadap pelaku dan tak bisa lagi
mempelajari akar dari kriminalitas tersebut dari pelaku ini.
Selain itu,
proses hukum tak selalu sempurna. Amnesty International mencatat bahwa di AS
ada 130 orang yang dijatuhi hukuman mati sejak 1973, ternyata terbukti tidak
bersalah dan hukuman mati mereka dibatalkan. Namun bagaimana dengan kasus
George Stinney, manusia termuda yang pernah dijatuhi hukuman mati pada abad
ke-20 di AS? Dengan tuduhan membunuh dua gadis belia, ia dieksekusi pada 16
Juni 1944. Setelah kasus ini dibuka kembali, Stinney dinyatakan tak bersalah
pada 17 Desember 2014, 70 tahun setelah kematiannya.
Hukuman mati
dalam hal ini adalah sebuah pernyataan kecongkakan bahwa tidak akan ada
kesalahan atau hal yang perlu direvisi dalam keputusannya. Sebuah bentuk
kekerasan tersendiri yang seharusnya ditiadakan dalam zaman modern ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar