Perdagangan
Perempuan dan Peredaran Narkoba
Sulistyowati Irianto ; Guru Besar Antropologi Hukum Fakultas Hukum UI;
Ketua Program Pascasarjana UI
|
KOMPAS,
21 Januari 2015
PRODUKSI dan
pengedaran narkoba di Indonesia memang sudah sampai titik yang sangat
membahayakan bangsa. Namun, upaya pemberantasannya harus dilandasi peta pengetahuan yang mendasar tentang
pengedaran narkoba dan berbagai persoalan terkait. Tanpa penanganan yang
komprehensif, hukuman mati tidak akan berefek
maksimal terhadap pemberantasan narkoba.
Di antara
mereka yang dihukum mati karena kasus
narkoba adalah para perempuan. Penelitian Pusat Kajian Wanita dan Jender (
PKWJ) Universitas Indonesia yang
mengambil lokasi di Lapas Wanita Tangerang
menunjukkan bahwa di antara
mereka adalah perempuan yang menjadi
korban perdagangan manusia. Ditemukan
adanya indikasi perdagangan manusia (perempuan) dalam peredaran narkoba, yang
menjadikan perempuan sebagai kurir narkoba, bahkan dilibatkan dalam sindikat
internasional.
Perdagangan perempuan
Atribut
perdagangan manusia di antaranya adalah rekrutmen (dengan cara mengelabui),
migrasi (pemindahan), motivasi keuntungan, unsur kekerasan, serta penempatan
korban dalam pekerjaan yang membahayakan
dan merendahkan dirinya, seperti pelacur, pekerja paksa, pengemis,
pengedar narkotika, dan diambil organ tubuhnya. Migrasi dilakukan
untuk tujuan mengisolasi perempuan dari bahasa dan budaya asing
setempat serta sukar mengakses komunikasi atau kemungkinan bantuan dari pihak lain. Dalam
fenomena pengedaran narkoba, ciri-ciri perdagangan manusia itu dapat
dikenali.
Dalam
perdagangan manusia yang menjadikan perempuan sebagai kurir narkoba, sungguh
pun terdapat unsur consent atau korban menyadari tindakannya, seharusnya
tidak menyebabkan tindak pidana perdagangan orang menjadi hapus. Sebab,
korban berada di bawah tekanan.
Bagaimana
cara perekrutan perempuan? Di antaranya adalah menjadikan mereka pacar,
wanita simpanan, atau istri. Pelaku di antaranya adalah laki-laki asing.
Setelah ada relasi, mereka dipaksa dan
mengalami kekerasan untuk menjadi kurir narkoba, bahkan dilibatkan dalam
sindikat internasional. Hubungan tersebut bisa diperluas, perempuan kekasih
atau istri merekrut perempuan lain dari kerabat atau teman. Para perempuan
ini berasal dari negara dunia ketiga, seperti Indonesia, Thailand, dan
Myanmar, dan mendekam di Lapas Wanita Tangerang. Mereka adalah perempuan
baik-baik, perempuan muda, atau ibu
rumah tangga dengan profil beragam.
Ada janda miskin, orangtua tunggal dengan dua
anak , dan berjualan sayur di suatu kampung di Thailand, bersedia menelan 45
butir narkoba karena dijanjikan uang untuk membayar sekolah anaknya. Ada
perempuan muda Myanmar yang dikelabui
suaminya dan terjerat dalam perdagangan manusia.
Ada pula
perempuan Indonesia yang dipaksa suaminya berkebangsaan asing mengedarkan
narkoba ke luar negeri dan dipukuli
jika menolak. Ada perempuan yang
ayahnya terbelit utang dan rumah mereka terancam disita, ia direkrut oleh
saudara perempuannya menjadi kurir dan
dijanjikan bisa mempertahankan rumah ayahnya.
Hukum acara
pidana mewajibkan mereka yang terancam hukuman di atas 5 tahun penjara untuk
didampingi pengacara yang mengerti bahasa dan seluruh proses persidangan.
Perempuan asing yang tertangkap kasus narkoba itu memang didampingi pengacara,
tetapi pengacara negara (pro-bono) yang tidak sepenuhnya bisa berkomunikasi
baik, tidak mengerti bahasa Indonesia, dan tidak mengerti jalannya
persidangan.
Bahkan,
ketika hakim mengetuk palu menjatuhkan hukuman mati, ia tidak paham dan baru
tahu setelah dijenguk oleh per- wakilan negaranya. Ada yang baru menyadari
bahwa fakta terhadapnya selama proses persidangan tidak benar setelah dia belajar bahasa
Indonesia selama di penjara. Pertanyaan feminis terhadap hukum/proses
persidangan adalah, apakah pengalaman dan realitas perempuan diperhitungkan
oleh hukum?
Dalam logika
hukum, tugas hakim adalah ”mencari kecocokan”
antara berita acara polisi, barang bukti, tuduhan jaksa, dan pasal
undang-undang yang dikenakan. Jika semua unsur terpenuhi, secara prosedural
sudah benar.
Ketiadaan perspektif perempuan
Apalagi,
paradigma hakim sebagai ”corong undang-undang” masih sangat kuat, apakah si pelaku
adalah produsen, bandar besar, kurir, pengguna, perempuan atau
laki-laki, tidak penting. Dengan
ketiadaan perspektif perempuan, memang tidak akan tampak adanya relasi kuasa
dalam jalinan aktor pengedaran narkoba. Tidak tampak adanya indikasi
perdagangan perempuan. Hal yang tampak justru adanya unsur consent, ”Perempuannya sukarela, kok.”
Tulisan ini
tidak bermaksud menggugat hukum dan proses persidangan, tetapi hanya ingin
menggambarkan pengalaman dan realitas
kemanusiaan para perempuan yang terjerat kasus narkoba dengan akibat yang paling
fatal. Para pengambil kebijakan dan Badan Narkotika Nasional (BNN) harus
paham bagaimana narkoba sudah begitu masif memasuki ranah keseharian para perempuan.
Lima hal
Pencegahannya
harus sangat komprehensif dan tepat.
Beberapa hal dapat diusulkan.
Pertama,
berantas kemiskinan karena sebagian besar orang miskin adalah perempuan,
berstatus sebagai orangtua tunggal,
berpendidikan rendah, tidak memiliki pengetahuan hukum, dan mudah
terjebak pengedaran narkoba.
Kedua,
sosialisasi di kalangan keluarga agar anak perempuan mereka tidak terjerat
dalam perekrutan perdagangan manusia, yang menjadikan mereka sebagai kurir
narkoba.
Ketiga,
penegak hukum harus bersih dari korupsi karena sukarnya pemberantasan narkoba
berpangkal pada korupsi.
Keempat, perkuat kerja sama kawasan antarnegara
dalam pencegahan dan pemberantasan.
Kelima,
penguatan perspektif perempuan di kalangan penegak hukum agar mampu dan peka
dalam membuat pertimbangan dan putusan yang membedakan antara pelaku
kejahatan narkoba dan korban perdagangan perempuan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar