Darurat
Neraka Narkoba
Teuku Kemal Fasya ; Dosen Antropologi Universitas Malikussaleh,
Banda Aceh
|
MEDIA
INDONESIA, 20 Januari 2015
KETIKA akhir tahun lalu saya
diminta menjadi pembicara pada penyuluhan antinarkotika dan obatobat
terlarang (narkoba) di salah satu kecamatan di Aceh Utara, saya anggap itu
sebagai panggilan intelektual. Meskipun narkoba bukan kajian utama saya, demi
mengingat pentingnya masalah tersebut, sikap itu harus diambil. Pesan-pesan
akademis dan moral harus sampai ke masyarakat agar jangan sampai menyentuh
barang haram itu.
Awalnya saya sempat heran ketika
seorang antropolog Italia, Silvia Vignato, tahun lalu melakukan kajian
tentang ganja di Aceh. Namun kemudian saya mengerti, antropologi juga harus
menjelaskan fenomena narkotika. Ke depan penting juga menyusun satu mata
kuliah khusus tentang narkoba, seperti mata kuliah antropologi kebencanaan
dan konflik.
Serambi
ganja
Aceh sendiri sangat lekat dengan
narkoba. Masih ingat pada akhir awal 90-an, ketika ditemukan ladang ganja di
Aceh Tenggara? Penemuan itu menjadi rekor ladang ganja terbesar bahkan di
Asia Tenggara.Sejak saat itu ingatan tentang Aceh tidak hanya Serambi Mekah
atau Serambi Kekerasan (Verandah of
Violence)--seperti judul buku yang dieditori Anthony Reid, tapi juga
`Serambi Ganja'.
Setelah hampir 30 tahun, masalah
ganja di Aceh tidak semakin berkurang, tapi mewabah dan menginspirasi banyak
tempat. Penemuan perdagangan narkoba di beberapa perguruan tinggi seperti di
Universitas Kristen Indonesia (UKI) dan Universitas Nasional di Jakarta
beberapa waktu lalu juga menyebut daerah Aceh sebagai penyuplai.
Di Aceh sendiri masalah itu
semakin kompleks. Kerusakannya telah menembus lembaga penegakan hukum, bukan
hanya struktur sosial masyarakat. Kerusakan generasi muda akibat narkoba juga
semakin memprihatinkan. Data resmi Polda Aceh, jumlah narapidana narkoba
sepanjang 2013 ada 1.017 orang, mulai sebagai pengguna hingga pengedar, baik
kelas teri maupun kakap.Pada tahun itu ada lebih dari 10 ribu masyarakat Aceh
terjerat narkoba.
Prediksi saya, jika menghitung
kejahatan senyap (silent criminal)
seperti narkoba itu, menggunakan analisis permukaan gunung es, secara riil
bisa jadi ada 10 kali lipat orang yang telah terjerat narkoba atau 100 ribu
orang. Bahkan jika angka itu dikali empat pun (400 ribu orang) tidak
hiperbolis. Pengalaman saya selama ini berinteraksi di tengah masyarakat
menemukan banyak kasus narkoba yang telah menimpa mahasiswa, termasuk sesama
dosen.
Kapolda Aceh mengaku sepanjang
2014 telah memecat 42 anggotanya akibat terlibat kasus narkoba. Sebagian
besar sebagai pengedar dan pelindung perdagangan barang jahat itu. Bahkan
disebutkan, ada 300 anggota Polda Aceh pernah mengonsumsi narkoba, yang ditunjukkan
dari tes urine. Jika aparat penegak hukum sudah sedemikian parah terlibat
narkoba, apalagi masyarakatnya. Bukankah polisi juga berasal dari masyarakat?
Ke depan kepolisian harus melakukan proses perekrutan lebih ketat agar tidak
menerima `sampah' sebagai calon polisi. Rubbish
in, rubbish out!
Gerakan
teologis
Untuk aspek kerusakan menyemesta
itu, tidak ada cara lain kecuali melakukan pendekatan mendasar yaitu agama.
Dalam Alquran seperti yang tersebut di Surah An Nisaa ayat 43, Al Baqarah
ayat 219, dan Al Maidah ayat 90, digunakan istilah khamar untuk narkoba.
Khamar didefinisikan sebagai barang yang memiliki manfaat tapi lebih besar
kerusakan dan dosanya. Khamar menjadi sebab terhalangnya seseorang
melaksanakan salat karena syarat seseorang melakukan ibadah salat harus dalam
keadaan sadar, tidak mabuk.
Ayat-ayat itu menemukan
justifikasi pada hadis nabi bahwa pendefinisian khamar ialah segala sesuatu
yang menghilangkan kesadaran atau menutup akal (sattar al-aql). Dengan motif
(illat) itu, khamar ialah sega la hal yang menutup akal atau memabukkan, baik
dalam bentuk cair maupun padat, baik diminum, diisap, maupun disuntikkan yang
tujuannya di luar kepentingan medis.
Hal itu sesuai dengan definisi UU
No 35 Tahun 2009 yang merupakan penyempurnaan UU No 22 Tahun 1997 tentang
Narkotika, `Narko tika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau
bukan tanaman, baik sin tetis maupun semisintetis, yang dapat me nyebabkan pe
nurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang
dibedakan ke dalam golongangolongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang
ini'.
Jika melihat aspek kedaruratan
narkoba melebihi minuman keras, perlu mengeluarkan fatwa lebih tegas (qath'i) bahwa semua zat yang merusak
akal ialah haram mutlak (hurmah li
dzatihi), baik untuk konsumsi, produksi, ataupun perdagangan. Dampak
kerusakan akibat ganja, sabu-sabu, kokain, dan morfin sangat besar pada
psikologis dan fisiologis, yang telah dianggap sebagai kekejian dan perbuatan
setan (rijsun min amalin as-syaithan).
Tangkap
kakap, jangan teri
Kehadiran UU No 35 Tahun 2009
semakin meneguhkan peran Badan Narkotika Nasional (BNN) sebagai lembaga
penyelidikan dan penyidikan pemberantasan narkoba.Namun, keberadaan BNN
seperti juga KPK untuk fenomena korupsi harus memberikan tantangan bagi
kepolisian yang selama ini dianggap impoten memberantas kasus itu.
UU itu memberikan afirmasi bahwa
seharusnya pengedar yang dihukum dan bukan pengguna. Para pengguna apalagi
untuk usia produktif dan sekolah harus diang gap korban akibat proses penga
wasan sosial yang lemah. Korban seharusnya direhabilitasi dan tidak dipidana
yang membuat mereka semakin rusak ketika melewati proses `pemasyarakatan' di
penjara.
Namun, untuk para pemain dan
pedagang, hukuman yang tepat bagi mereka ialah hukum maksimal demi memenuhi
rasa keadilan dan kedaruratan yang telah terjadi. Kita bisa belajar dari
kasus Fredi Budiman, bandar besar yang telah berkali-kali dihukum tapi tak
pernah jera. Bahkan di balik penjara ia masih mengendalikan impor ekstasi 1,4
juta butir dari Tiongkok pada 2012. Ketika diisolasi ke penjara
Nusakambangan, ia masih sempat menyeludupkan paket narkoba di dalam pakaian.
Bahkan ketika ia dipenjara di Cipinang, ia masih bisa menyuap kepala sipir
untuk pesta narkoba dan seks bersama pacarnya. Untuk kasus 1,4 juta ekstasi
hukumannya telah meningkat menjadi hukuman mati.
Begitu pula kasus bandar dari
Aceh, Faisal. Ia gembong narkoba yang telah divonis 10 tahun penjara oleh PN
Jakarta Pusat pada November 2013 lalu. Kasusnya terungkap melalui
penyelidikan panjang BNN. Ketika ia tertangkap oleh aparat BNN sempat mencoba
menyuap Rp10 miliar, tapi mereka bergeming.
Namun, Faisal tidak hanya dihukum
penjara, tapi juga penyitaan aset kekayaan yang mencapai Rp38 miliar melalui
pemberlakuan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) No 8/2010. Saat ini ia
sedang mengupayakan peninjauan kembali (PK). Untuk sementara ia `berhasil'
meminta pemindahan lokasi hukuman, dari Jakarta ke Aceh.
Tentu kita tunggu bagaimana drama
penegakan hukum ini ke depan. Kita tunggu apakah vonis hukuman mati yang
sudah diberikan kepada Fredi bisa segera dilaksanakan. Demikian pula status
hukuman Faisal, apakah akan mengalami reduksi atau tidak.
Di tengah belum baiknya kinerja pemerintahan
Jokowi-JK, untuk kasus narkoba kita pantas memberikan apresiasi positif.
Sikap pemerintah segera mengeksekusi mati enam mafia narkoba pada 18 Januari
lalu di Nusakambangan ialah sikap terpuji. Upaya dari Raja Belanda dan
Presiden Brasil Dilma Rousseff meminta pembatalan hukuman mati kepada
warganya tidak direspons Jokowi. Bahkan kabar terbaru pemerintah Belanda dan
Brasil telah menarik duta besar mereka dari Indonesia.
Keteguhan ini harus tetap dijaga. Tidak
ada toleransi untuk penjahatpenjahat besar, baik warga sendiri apalagi warga
asing. Hukum tidak boleh tajam ke bawah ke masyarakat kecil, tapi tumpul ke
atas ke para godfather narkoba.
Merekalah para pencipta penderitaan bagi generasi tumbuh kita, yang
menjadikan kehidupan mereka seperti neraka! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar