Paris,
Paniai, dan Postkolonial
Dominggus Elcid Li ; Sosiolog; Peneliti IRGSC;
Saat Ini Meneliti di Ash Center, Harvard Kennedy School
|
KOMPAS,
21 Januari 2015
PARIS dan
Paniai! Meski keduanya sama-sama tertera dalam peta geografis, dalam perkara
kematian ternyata rasa manusia Indonesia sungguh berbeda.
Manusia
Indonesia lebih tergerak untuk berkomentar soal kematian para
kartunis/jurnalis Charlie Hebdo dan para konsumen di salah satu supermarket
Kosher di Paris, Perancis. Sementara
komentar soal kematian belasan anak remaja tanggung yang ditembak mati saat
mereka sedang menari di lapangan terbuka di Paniai, Papua, Indonesia, pada
Desember 2014, hingga kini masih senyap.
Tanpa
menunggu waktu lama, Presiden Joko Widodo memberikan ucapan belasungkawa
untuk para korban di Paris beberapa jam setelah kabar kematian itu berembus
ke pelbagai penjuru dunia. Seolah beliau tidak ingat bahwa ia hampir tidak
bersuara sepatah kata pun untuk kematian di Paniai, Papua. Di kalangan
intelektual Indonesia pun sikapnya hampir sama: ada yang ikut bersuara ’saya
adalah Charlie’ atau ’saya adalah Ahmed’, tetapi yang jelas tidak ada yang
pernah menulis ’saya adalah Paniai’.
Ketiga pemuda
yang memberontak di Paris merupakan bagian dari komunitas keturunan warga eks
jajahan Perancis. Dua di antaranya berasal dari Aljazair, negeri yang juga
bergolak setelah Vietnam memberontak.
Tidak semua
anak eks daerah jajahan dapat menjadi Zinedine Zidane: bisa bermain bola,
kaya, dan keluar dari ghetto. Tidak mudah bagi anak-anak para imigran untuk
ikut merasakan janji egalite dan fraternite.
Republik
Perancis masih belum keluar dari krisis pasca kolonial. Tetapi itu persoalan
di Perancis. Bagaimana dengan kita di Indonesia?
Politik etis Indonesia
Di Indonesia,
kawasan politik yang diakui dunia pasca Perang Dunia II, warganya tidak mampu
keluar dari persoalan laten pasca pembentukan negara. Kebanyakan masih mengutip bahwa penjajah
hanya terkait dengan rasialisme kulit putih. Struktur legal rasisme yang
dipraktikkan Belanda di Hindia Belanda tidak dicermati. Seolah slogan
emansipasi di negara baru langsung terjadi setelah penjajah Belanda pulang.
Tidak
mengherankan jika Hardt dan Negri (2000) menyebut national liberation sebagai ’hadiah beracun’. Mimpi emansipasi
egaliter di antara warga negara tidak terjadi sebab kaum terdidik awal
kemudian malah berubah menjadi ’penjajah’ untuk kawanannya yang lain.
Politik etis
Belanda ’seolah’ menemukan duplikatnya 100 tahun kemudian di tangan para
bangsa kulit coklat muda. Katanya Pemerintah Indonesia sedang melakukan studi
kelayakan pembangunan kereta api di Papua. Lalu, apa bedanya dengan Daendels
yang membuka jalan Anyer-Panarukan dua abad silam? Mengapa usul Perdana
Menteri Tiongkok untuk Presiden RI juga ada dalam struktur yang sama?
Dalam gaya
politik etis, subyek adalah tunggal dan tak butuh konfirmasi. Pelaku
pembangunan senantiasa memiliki alasan etis untuk merasa telah berbuat baik.
Yang jelas interpretasi kaum yang dianggap tidak memiliki peradaban dianggap
tidak penting dan tidak diperlukan.
Partha
Cattharjee (2005), salah seorang penulis dari India yang menulis ulang soal
Konferensi Asia Afrika lima dekade silam, mengutip ungkapan Soekarno dalam
pidatonya bahwa neokolonialisme kini kembali di tangan segelintir elite.
Janji kemerdekaan tak mudah terlihat dalam kenyataan setelah enam dekade
merdeka dari Eropa. Posisi senja India yang sudah dialami Indira Gandhi kini
juga dialami Megawati Soekarnoputri. Jika Cattharjee lidah kelu terhadap
nasib kaum dalit, di Indonesia
orang Papua-lah yang menjadi warga di luar kasta. Kematiannya tidak dianggap
dan tanahnya dirampas.
Papua batas modernitas
Perkara
kepedulian di era globalisasi media informasi sudah menjadi amat mekanis.
Penderitaan populer diukur dengan trending
topic. Artinya mungkin seperti ini: kematian di Paris itu kelas satu,
kematian di Ferguson kelas dua, eksekusi ribuan orang oleh Boko Haram di
Nigeria itu kelas tiga, dan kematian di Paniai nyaris tidak ada dalam peta
imajinasi para kaum literer. Padahal, manusia yang tidak bisa keluar dari
banjir informasi dan menemukan ’persoalan riil’ untuk kawanan kolektifnya
jelas-jelas tidak bisa diajak ke mana-mana.
Ingatan
kolektif dalam sejarah kemerdekaan Indonesia soal Papua bagi Indonesia amat
terkait dengan Boven Digul, tempat para tahanan politik yang menentang
Pemerintah Hindia Belanda dibuang. Kini perilaku KNIL di Hindia Belanda
terhadap warga pribumi seolah ditiru lurus oleh aparat keamanan terhadap
orang asli Papua.
Upaya
mengingat ulang gerak maju kolonialisme di Jawa dengan tumbangnya Pangeran
Diponegoro kini kerap dibahas dan diperingati sebagai titik kekalahan
menentang penjajahan. Tapi, mengapa pembunuhan Theys Elluay tak dianggap
sebagai perulangan gerak maju siasat kolonialisme kontemporer?
Jika struktur
peradaban disandingkan antara yang mentah (natural) dan gerak mengubah yang
asli diukur sebagai kemajuan (progress),
ketelanjangan dengan mudah diartikan sebagai tidak beradab.
Modernisme/kolonialisme
adalah satu paket. Kaum yang menyatakan diri modern merasa lebih berhak
mengatur manusia yang dianggap tidak memiliki peradaban. Mereka butuh
’diajari’. Kolonialisme juga bergerak di dataran yang sama: penjajah selalu
merasa lebih tinggi dan berhak memerintah.
Selama
tataran berpengetahuan terus bergeser ke irama autocracy, selama itu pula korban dianggap sebagai harga
pembangunan yang obyektif. Di titik ini subyek tidak lagi ada dan ini sudah
bukan lagi politik etis, yang masih menempatkan subyek sebagai diri yang
otonom dan bertanggung jawab. Keputusan hanya mengikuti manual untung rugi.
Diam kali ini menandakan subyek tidak lagi memiliki otonomi. Diam kali ini
merupakan kekalahan total.
Marhaenisme
sebagai ideologi politik Jokowi pun belum sampai pada persoalan yang sedang
dihadapi di Papua. Marhaenisme merupakan asimilasi terjemahan kaum literer
tentang kaum proletar pasca revolusi industri yang tetap ada dalam horizon
modernis praindustri di negeri jajahan. Tidak mengherankan jika Jokowi diam
dan tak punya kata ketika berhadapan dengan kematian di Paniai. Diam di sini
tidak sekadar tunda bicara, tetapi ketiadaan kata.
Krisis
epistemologi ini harus dijawab, sebelum perangkat-perangkat modernitas terus
dipaksakan dan kematian menjadi banal di Papua. Mungkin ini penjelasan
mengapa Jokowi dan Prabowo mampu mengecam aksi pembunuhan di Paris dan
dua-duanya diam terhadap pembunuhan di Paniai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar