Pasar
Klewer
Aris Setiawan ; Esais
|
KORAN
TEMPO, 02 Januari 2015
Masyarakat yang sedang khusyuk menikmati sajian gamelan
Sekaten di pelataran Masjid Agung Keraton Surakarta, 27 Desember lalu,
tiba-tiba dikejutkan bunyi sirene mobil-mobil pemadam kebakaran. Pasar Klewer
terbakar! Pasar batik terbesar itu dilalap api selama lebih dari 15 jam.
Kerugian ditaksir mencapai Rp 5 triliun.
Pasar Klewer bukan hanya berkisah tentang aktivitas
jual-beli sandang, tapi juga sosio kultural masyarakat Solo. Ia masih mampu
bertahan hingga kini karena keunikan dan kekhasan yang dimilikinya, di saat
pasar (market) modern dan mal bertebaran. Terdapat ikatan emosional dan sisi
historis yang kuat antara Pasar Klewer dan dinamika hidup masyarakat Solo.
Pasar Klewer kemudian menjadi identitas kota. Terbakarnya pasar itu menjadi
tragedi yang memilukan bagi masyarakat Solo.
Di Pasar Klewer, kita bisa mendengar negosiasi antara
penjual dan pembeli. Pertukaran informasi dan pengetahuan terjadi di wilayah
itu. Hubungan pedagang-pembeli tidak sekadar hubungan produsen-konsumen, tapi
juga ada ikatan emosional, kepercayaan, dan kekeluargaan yang kuat. Pedagang
Pasar Klewer pada awalnya menjajakan dagangannya di sekitar muka Keraton
Kasunanan. Mereka biasanya menggantungkan barang dagangannya secara acak di
bahu dan di-klewer-kan begitu saja. Maka, tidak salah bila pasar rakyat itu
dikenal dengan sebutan "Pasar Klewer"; di mana pedagang menggelar
dagangannya secara pating klewer atau menjuntai sampai bawah (Febrie
Hastiyanto, 2008).
Pasar Klewer terletak di sebelah barat Keraton Kasunanan
Surakarta, sehingga menempati posisi yang ideal. Para wisatawan yang
menikmati bangunan keraton dapat langsung membawa oleh-oleh kain batik dari
Klewer dengan hanya berjalan kaki sekitar lima menit. Keramahan khas Solo
senantiasa menyertai transaksi jual-beli. Bagi sejarawan kondang Soedarmono
S.U., Pasar Klewer juga menjadi kiprah perjuangan kaum perempuan Jawa yang
selama ini dilupakan. Ia mendekonstruksi anggapan bahwa kaum perempuan Jawa
tak mampu menjadi "saudagar" atau pengusaha. Sebaliknya, mereka justru
menguasai modal dan jaringan yang sangat luas.
Dinamika dan jejak sejarah kaum perempuan pembatik Solo
memperoleh napas baru ketika Sunan Paku Buwana X pada 1930-an memberi
kesempatan hak lisensi untuk berbisnis sandang bagi kaum perempuan. Dan
Klewer menjadi puncak dari segala aktivitas itu. Batik bukan lagi sekadar
baju, tapi juga seni. Era baru kebangkitan batik di Nusantara ditandai dengan
semakin gencarnya promosi setelah UNESCO mengakuinya sebagai warisan dunia
bersama keris dan wayang. Hal itu menempatkan Klewer sebagai salah satu
pemasok dan distributor terbesar di Asia Tenggara.
Pasar Klewer menyimpan memori kolektif tentang pembangunan
sebuah kota. Ia saksi sejarah perkembangan Solo menjadi kota perniagaan yang
besar. Setiap pasar tradisional memiliki makna, identitas, dan sejarah
masing-masing, yang menjadikannya unik dan memiliki karakter yang khas (Agus
Ekomadyo, 2012). Keunikan itu adalah kebertahanan dan eksistensi di masa kini
yang tak dimiliki oleh pasar modern mana pun yang cenderung seragam itu.
Namun Klewer kini telah hangus terbakar. Tumpukan batik
itu menjadi debu. Hujan tangis para pedagang tak dapat dielakkan. Yang
tersisa kemudian adalah kenangan dan harapan. Kenangan manis tentang
sumbangan besarnya dalam membesarkan Kota Solo. Semoga ke depan Pasar Klewer
dapat bangkit dan menjadi lebih baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar