Intoleransi
pada Era Jokowi
Alamsyah M Dja’far ; Peneliti the Wahid Institute
|
KORAN
TEMPO, 02 Januari 2015
Dalam dua bulan masa kepemimpinannya, mungkin terlalu
cepat meminta Presiden Jokowi membuktikan janji kampanyenya untuk mengatasi
kasus-kasus intoleransi. Selain kasus-kasus yang tak selesai pada masa
pemerintahan sebelumnya, Jokowi menghadapi kasus-kasus baru pada awal era
kekuasaannya. Ini pekerjaan rumah yang pelik sekaligus membutuhkan
keberanian.
Laporan Tahunan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan the Wahid
Institute Tahun 2014, yang dirilis baru-baru ini, mencatat dalam dua bulan
(November-Desember) masa pemerintahan Jokowi, terdapat 14 peristiwa
pelanggaran yang melibatkan aktor negara, dan 10 peristiwa melibatkan aktor
non-negara. Contohnya, intimidasi massa intoleran dan larangan Satpol PP
terhadap jemaat GKI Yasmin Bogor untuk beribadah. Di Ibu Kota, pelantikan
Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama ditolak dan menjadi korban penyebaran
kebencian (hate speech).
Intoleransi diartikan sebagai setiap perbedaan,
pengecualian, pembatasan, atau preferensi berdasarkan agama atau kepercayaan
dan yang mempunyai tujuan atau membawa akibat hilang atau rusaknya pengakuan,
penikmatan, atau pelaksanaan hak asasi dan kebebasan atas dasar yang setara.
Bentuk tindakan intoleransi beraneka ragam, dari kekerasan dalam bahasa dan
perkataan seperti bullying, penyesatan, diskriminasi lewat regulasi,
pengusiran (expulsion), hingga destruksi.
Intoleransi jelas melanggar kebebasan sebagai hak dasar.
Dalam soal hak dasar ini, negara punya tiga kewajiban utama yang mesti
ditunaikan agar kebebasan tersebut tetap terjaga: menghormati (to respect),
memenuhi (to fulfill), dan melindungi (to protect). Inilah tiga alat ukur
melihat pro-tidaknya sebuah pemerintah terhadap prinsip kebebasan beragama.
Jika membaca "Visi Misi, dan Program Aksi
Jokowi-Jusuf Kalla 2014", sebagian besar publik menaruh harapan besar
bahwa kepemimpinan baru ini bakal melunasi-meminjam judul laporan the Wahid
Institute-"utang" warisan pemerintah sebelumnya dalam kasus-kasus
intoleransi. Hanya, harapan ini tentu masih harus dibuktikan. Setidaknya,
kita mencatat, sejauh ini belum kita dengar Presiden Jokowi mengeluarkan
pernyataan langsung, setidaknya untuk nasib pengungsi Ahmadiyah, pengungsi
Syiah Sampang, atau jemaat gereja-geraja yang disegel pemerintah.
Ada banyak langkah ideal dalam visi-misi yang populer
disebut Nawacita ini. Misalnya menempatkan intoleransi sebagai masalah pokok
bangsa ketiga setelah merosotnya kewibawaan negara dan melemahnya sendi-sendi
perekonomian nasional. Intoleransi ditulis dalam alinea keenam dari 41
halaman visi-misi ini. Penempatan redaksional semacam itu jelas hendak
menunjukkan bobot pesan. "Jati diri bangsa terkoyak oleh merebaknya
konflik sektarian dan berbagai bentuk intoleransi. Negara abai dalam
menghormati dan mengelola keragaman dan perbedaan yang menjadi karakter
Indonesia sebagai bangsa yang majemuk." Begitu bunyi salah satu kutipan
dalam alenia keenam ini.
Untuk mengatasi kasus-kasus intoleransi, ada sejumlah
langkah yang menjadi janji Jokowi-JK. Salah satunya adalah "menghapus
regulasi yang berpotensi melanggar HAM kelompok rentan, termasuk perempuan,
anak, masyarakat adat, dan penyandang disabilitas." Meski tak menyatakan
langsung kelompok minoritas, istilah ini jelas merujuk pula pada kelompok
minoritas agama/keyakinan seperti agama-agama di luar yang enam dan sekte minoritas.
Minoritas ini dipahami bukan semata-mata merujuk jumlah-seperti banyak
disalahpahami. Minoritas juga sangat berkaitan dengan "relasi
kekuasaan" yang dimiliki. Bisa jadi jumlahnya kecil, namun punya
kekuasaan besar atau sebaliknya. Jadi, tidak mengherankan muslim
minoritas-yang di level nasional merupakan mayoritas-di sejumlah daerah
justru menjadi korban intoleransi. Misalnya kasus siswa muslimah salah satu
sekolah di Bali yang dilarang mengenakan jilbab dan panitia masjid di
Batuplat NTT yang sulit mendapat izin. Jadi, intoleransi bukan masalah agama
tertentu, tapi semua agama.
Di tingkat nasional masih ada peraturan perundang-undangan
yang diskriminatif. Korban pada umumnya kelompok minoritas. UU PNPS 1965, UU
Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan masih menggunakan
istilah "agama yang belum diakui". Peraturan Bersama No 9 Tahun
2006 yang mengatur Pendirian Rumah Ibadah juga menjadi contohnya.
Sementara itu, di tingkat lokal, ratusan perda
diskriminatif dan peraturan kepala daerah yang diskriminatif hingga saat ini
juga belum dicabut atau direvisi. Kajian Komnas Perempuan, misalnya, mencatat
342 kebijakan diskriminatif lahir sepanjang 2013. Hasil kajian Yayasan
Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat terdapat 15 peraturan kepala
daerah yang melarang aktivitas jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI).
Meski akan mendapat tentangan, langkah Jokowi-JK yang jika
sesegera mungkin "menghapus regulasi yang berpotensi melanggar HAM
kelompok rentan" itu pasti akan menjadi langkah terobosan di tengah
kebekuan yang ada. Hal ini akan membedakannya dengan pemerintah sebelumnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar