Polisi
dan Pelanggaran HAM
Budi Hatees ; Bekerja pada SAHATA Institute
|
KORAN
TEMPO, 02 Januari 2015
Di Papua, 7 Desember 2014, warga sipil bisa mati secara
serentak tanpa ada wabah penyakit dan tak ada bencana alam. Empat orang
tewas, 14 orang lainnya dalam kondisi kritis.
Kabar miris itu datang dari Enarotali, Kabupaten Paniai,
Papua. Warga tewas dan kritis setelah polisi memberondong mereka dengan
senapan. Sulit membayangkan peristiwa penembakan rakyat sipil oleh polisi
bisa terjadi di negeri yang adem-ayem ini. Lebih sulit lagi membayangkan
alasan penembakan itu ternyata prosedur tetap (protap) yang harus dijalankan
saat polisi terdesak dan berada dalam ancaman.
Tapi kenapa polisi sampai merasa terancam oleh rakyat?
Tak ada yang tahu persis, kecuali pengakuan warga
Enaratoli, yang menyaksikan peristiwa itu. Tim penyidik Markas Besar Polri
sudah ada di lokasi, tapi kinerja tim seperti ini sukar diharapkan akan
berpihak pada mereka yang ditembaki. Pengalaman selama ini menyebut, tim
Polri diturunkan untuk mengamankan institusi Polri dari segala bentuk
perusakan citra dan pencemaran nama baik institusi. Tim ini tidak akan
bekerja dari perspektif hukum (perundang-undangan).
Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Badroni Haiti,
kepada media, mengatakan belum tentu senjata yang meletus itu milik anggota
Korps Bhayangkara. Pernyataan yang disampaikan hanya didasari laporan anggota
itu, tampak bagai membangun "garis api" agar institusi Polri tidak
disalahkan.
Publik hanya tahu penembakan itu bermula dari teguran
warga terhadap ulah polisi yang kurang menghormati tradisi beragama
masyarakat di Papua. Ada polisi yang kabarnya "mengejek" tradisi
beragama itu. Warga menegur namun ditanggapi dengan kasar dan penganiayaan.
Tak terima perlakuan polisi, warga mendatangi markas polisi untuk menanyakan
soal penganiayaan itu. Polisi tak menanggapi. Warga kemudian marah dan
membakar mobil. Polisi merasa terancam. Secara psikologis, perasaan terancam
cenderung mendorong seseorang untuk membela diri. Tindakan membela diri acap
membabi-buta. Pola penembakan warga oleh polisi kentara sebagai tindakan
membabi-buta.
Apa pun latar belakang peristiwa ini, penembakan rakyat
merupakan sebuah pelecehan hak asasi manusia (HAM) yang layak dikecam. Karena
itu, tim penyidik Mabes Polri harus diimbangi dengan hadirnya tim penyidik
dari institusi lain, seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Pelakunya harus diganjar sesuai dengan hukum yang berlaku, tidak sekadar
sanksi disiplin yang mengabaikan rasa keadilan rakyat itu.
Jika kasus ini diselesaikan secara transparan, harapannya
bisa mendorong polisi agar mulai membangun tradisi melihat persoalan rakyat
dari sisi kemanusiaan, dan menampilkan diri sebagai polisi yang protagonis di
hadapan rakyat. Polisi harus piawai berkomunikasi dan mulai membuang sosok
antagonis saat berhadapan dengan rakyat. Rakyat menyukai polisi yang egoisme
institusinya dibuang.
Sebagai aparatur yang berada di garis terdepan ketika
berhadapan dengan masyarakat, polisi wajib paham bahwa hukum bukanlah sekadar
perundang-undangan, apalagi protap. Pahamilah hukum secara utuh dan benar
sehingga pendekatan penyelesaiannya terhadap persoalan bersifat holistik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar