Sabtu, 10 Januari 2015

Polisi dan Pelanggaran HAM

Polisi dan Pelanggaran HAM

Budi Hatees  ;   Bekerja pada SAHATA Institute
KORAN TEMPO,  02 Januari 2015

                                                                                                                       


Di Papua, 7 Desember 2014, warga sipil bisa mati secara serentak tanpa ada wabah penyakit dan tak ada bencana alam. Empat orang tewas, 14 orang lainnya dalam kondisi kritis.

Kabar miris itu datang dari Enarotali, Kabupaten Paniai, Papua. Warga tewas dan kritis setelah polisi memberondong mereka dengan senapan. Sulit membayangkan peristiwa penembakan rakyat sipil oleh polisi bisa terjadi di negeri yang adem-ayem ini. Lebih sulit lagi membayangkan alasan penembakan itu ternyata prosedur tetap (protap) yang harus dijalankan saat polisi terdesak dan berada dalam ancaman.

Tapi kenapa polisi sampai merasa terancam oleh rakyat?

Tak ada yang tahu persis, kecuali pengakuan warga Enaratoli, yang menyaksikan peristiwa itu. Tim penyidik Markas Besar Polri sudah ada di lokasi, tapi kinerja tim seperti ini sukar diharapkan akan berpihak pada mereka yang ditembaki. Pengalaman selama ini menyebut, tim Polri diturunkan untuk mengamankan institusi Polri dari segala bentuk perusakan citra dan pencemaran nama baik institusi. Tim ini tidak akan bekerja dari perspektif hukum (perundang-undangan).

Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Badroni Haiti, kepada media, mengatakan belum tentu senjata yang meletus itu milik anggota Korps Bhayangkara. Pernyataan yang disampaikan hanya didasari laporan anggota itu, tampak bagai membangun "garis api" agar institusi Polri tidak disalahkan.

Publik hanya tahu penembakan itu bermula dari teguran warga terhadap ulah polisi yang kurang menghormati tradisi beragama masyarakat di Papua. Ada polisi yang kabarnya "mengejek" tradisi beragama itu. Warga menegur namun ditanggapi dengan kasar dan penganiayaan. Tak terima perlakuan polisi, warga mendatangi markas polisi untuk menanyakan soal penganiayaan itu. Polisi tak menanggapi. Warga kemudian marah dan membakar mobil. Polisi merasa terancam. Secara psikologis, perasaan terancam cenderung mendorong seseorang untuk membela diri. Tindakan membela diri acap membabi-buta. Pola penembakan warga oleh polisi kentara sebagai tindakan membabi-buta.

Apa pun latar belakang peristiwa ini, penembakan rakyat merupakan sebuah pelecehan hak asasi manusia (HAM) yang layak dikecam. Karena itu, tim penyidik Mabes Polri harus diimbangi dengan hadirnya tim penyidik dari institusi lain, seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Pelakunya harus diganjar sesuai dengan hukum yang berlaku, tidak sekadar sanksi disiplin yang mengabaikan rasa keadilan rakyat itu.

Jika kasus ini diselesaikan secara transparan, harapannya bisa mendorong polisi agar mulai membangun tradisi melihat persoalan rakyat dari sisi kemanusiaan, dan menampilkan diri sebagai polisi yang protagonis di hadapan rakyat. Polisi harus piawai berkomunikasi dan mulai membuang sosok antagonis saat berhadapan dengan rakyat. Rakyat menyukai polisi yang egoisme institusinya dibuang.

Sebagai aparatur yang berada di garis terdepan ketika berhadapan dengan masyarakat, polisi wajib paham bahwa hukum bukanlah sekadar perundang-undangan, apalagi protap. Pahamilah hukum secara utuh dan benar sehingga pendekatan penyelesaiannya terhadap persoalan bersifat holistik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar