Otonomi
Efektif dan Akuntabel
Robert Endi Jaweng ; Direktur Eksekutif KPPOD, Jakarta
|
KOMPAS, 06 Januari 2015
KALENDER 2014
baru saja dilepas dari agenda kerja tahunan kita: tahun yang dicatat sebagai
tahun politik. Tidak kecuali dalam ranah otonomi, politik itu bekerja
determinan. Isi pengaturan desa (UU No 6/2014), pilkada (UU No 22/2014,
diganti Perppu No 1/2014), dan pemerintah daerah (UU No 23/2014) adalah
sebagian bukti. Sesudah politik, kita biasanya gagap merespons perubahan yang
ada. Hal ini mulai terasa sejak akhir 2014. Ketentuan UU No
23/2014—dipertegas Surat Edaran Mendagri No 903/6865/SJ—soal tenggat
penyusunan APBD dan sanksi potong hak keuangan (gaji, tunjangan) kepala
daerah dan DPRD justru membuat pusat dan daerah kaget, tidak siap, dan
ujungnya diam-diam menenggang pelanggaran.
Klausul keras
tersebut sekilas menyiratkan niat baik. Pemerintah daerah mesti disiplin
dalam menyiapkan anggaran. Namun, mencermati latar historis dan misi
kelahirannya, ambisi jalan pintas untuk bisa menjadikan UU ini sebagai
instrumen kendali politik dan tertib administrasi daerah membuat penyusunnya
lupa konteks khas relasi pusat-daerah dan kerumitan implementasi maupun
penegakan sanksi dalam tata desentralisasi.
Amunisi komplet
Banyak pihak
menduga, ruang otonomi tahun 2015 jadi lebih sesak dan terkontrol. Hal ini
sejalan dengan kebutuhan pemerintahan Joko Widodo untuk mengefektifkan aneka
program Nawa Cita. Keterpaduan pusat-daerah, atau persisnya loyalitas daerah
kepada pusat, dinilai sebagai prasyarat bagi kemajuan. Bagi daerah yang tidak
loyal—menyitir pernyataan Jokowi dalam debat capres pada 9/6/2014—berlaku
kontrol lewat instrumen politik anggaran.
UU No
23/2014, sebagai warisan pada akhir pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono,
melapangkan jalan ke sana. Bahkan, jalan itu tak sebatas politik anggaran
berupa penundaan dana transfer ataupun pemotongan hak keuangan.
UU ini juga
menggaransi amunisi komplet: 10 ”wajib” (baik yang sifatnya prosedural maupun
subtantif) dan 5 ”sanksi” (dari teguran hingga pemberhentian kepala daerah).
Lebih fundamental lagi, beleid baru tersebut menghadirkan sosok otoritas
pusat yang garang, juga bergerak jauh meredesain sejumlah sendi pokok otonomi
itu sendiri.
Pertama,
pertama kali terjadi dalam legal-historis pengaturan otonomi di negeri ini,
suatu UU Pemda langsung dibuka dengan sejumlah pasal terkait sosok pusat yang
digdaya. Kalau sepanjang sejarah kemerdekaan Indonesia terdapat tujuh UU
Pemda, dengan klausul awal pengaturan selalu soal kewenangan daerah, pada halaman
awal UU baru ini sudah langsung terasa hadirnya negara lewat pengaturan
otoritas pusat. Lihat, misalnya, soal ”pembagian wilayah” atau ”kekuasaan
pemerintahan” yang mendudukkan presiden sebagai pemilik segala urusan.
Konstruksi
perundang-undangan demikian tentu bukan tanpa maksud tertentu. Melalui UU
baru ini, Jakarta (pusat) hendak mengingatkan daerah bahwa segala pasal
selanjutnya harus dibaca dalam kerangka ketaatan akan kekuasaan pusat sebagai
sumber otonomi, muara ketaatan dan pertanggungjawaban, dan pemangku otoritas
yang sewaktu-waktu bisa menjatuhkan palu sanksi, bahkan penarikan kembali
urusan otonomi.
Kedua,
penguatan provinsi/gubernur sebagai wakil pusat di daerah. Melihat disfungsi
gubernur dan keberadaan provinsi yang seolah menjadi the-missing-link dalam konstruksi perwilayahan selama ini, semua
pihak tentu sepakat provinsi/gubernur harus diperkuat. Namun, pendekatan
penguatannya harus tepat, yakni pada status provinsi sebagai wilayah
administrasi dan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Pendekatan itu
berimplikasi pada jenis kewenangan yang diberikan, yakni pembinaan dan
pengawasan atas kabupaten/kota (dekonsentrasi).
Sayangnya,
dalam UU baru, pendekatan penguatan itu bergerak terlalu jauh. Justru yang
menonjol adalah penguatan dalam status provinsi sebagai daerah otonom dengan
cara menarik kembali urusan yang selama ini dikelola kabupaten/kota
(pertambangan, kehutanan, kelautan, perikanan) ke provinsi. Alih-alih
”menarik ke bawah” otoritas pusat ke provinsi, yang terjadi justru ”menarik
ke atas” urusan daerah ke provinsi.
Terlepas dari
alasan ekonomi (skala efisiensi), ekologi (eksternalitas), dan kapasitas
lemah sebagian pemda, dari perspektif otonomi hal ini adalah redesain
fundamental yang berpotensi tergelincir ke resentralisasi parsial atau
mikro-sentralisasi: menjauhkan jarak publik dan letak masalah dengan pusat
kekuasaan yang mengurusnya. Paradoks jarak (paradox of distance) akan bekerja pada arah lain yang membuat
otonomi menjadi tidak efisien dan menyulitkan masyarakat dalam melakukan
partisipasi dan kontrol yang efektif.
Fasilitasi, bukan sanksi
Memang,
kebutuhan strategis kita hari ini adalah suatu otonomi yang akuntabel dan
efektif. Rakyat tentu yang akan dirugikan jika daerah, misalnya, terlambat
menyusun APBD, entah karena alasan politik maupun teknis. Bahkan, lebih dari
sekadar akuntabilitas prosedural tersebut, kita meniscayakan akuntabilitas
kinerja: memastikan belanja berkualitas dan APBD efektif sebagai instrumen
fiskal bagi stimulans ekonomi, bukan habis terpakai untuk belanja birokrasi,
rapat dan perjalanan dinas, apalagi dirampok para pemburu rente dan koruptor.
Dalam tata
desentralisasi, rezim sanksi tak banyak terbukti menjamin pemerintahan
akuntabel dan efektif. Daerah bisa berpura-pura loyal (takut dana ditunda,
formasi PNS tak dipenuhi), atau melihat sanksi itu sebagai alasan untuk
menolak berinovasi. Saya yakin, meski pernah mengumbar sanksi politik
anggaran, Presiden Jokowi—yang tumbuh dari candradimuka kepemimpinan lokal
berkat ruang gerak otonomi yang leluasa telah berhasil membangun Solo,
melahirkan banyak terobosan, bahkan berani beda sikap dari Gubernur Jawa
Tengah Bibit Waluyo saat itu—memahami elan otonomi dan memiliki cara terbaik
mendorong akuntabilitas dan efektivitas desentralisasi.
Dengan keyakinan
tersebut, saya membayangkan sejumlah jalan berikut yang akan diambil
pemerintah. Pertama, menyadari bahwa problem loyalitas daerah juga adalah
resonansi dari disharmoni di pusat. Kalau untuk membikin pelayanan terpadu
satu pintu (PTSP) dalam kerangka reformasi perizinan saja mereka sudah
bingung dengan pilihan model konfliktual antara Kemendagri dan BKPM, sanksi
dalam UU No 23/2014 atas daerah yang tak punya PTSP tak boleh langsung
diberlakukan. Tanpa beres di pusat (satu kebijakan, satu model), secara moral
jelas tak patut meminta daerah menjalankan daftar ”wajib” dalam UU.
Kedua, entah
karena tak sabar, atau lantaran masih mewarisi alam pikir dan cara kerja era
sentralistik, pusat gampang tergoda bertindak represi ketimbang prevensi dan
fasilitasi. Fungsi pusat jelas tak saja pengawasan yang berujung sanksi,
tetapi juga terutama dan mesti didahului pembinaan berupa fasilitasi
penguatan kapasitas dan sistem integritas agar kekuasaan daerah bisa
terkelola secara akuntabel dan efektif. Selama 14 tahun berotonomi,
fasilitasi ini nyaris absen atau sekadar jadi proyek dengan metode kuno,
tetapi gemar melompat ke ujung untuk evaluasi, pengawasan, dan sanksi.
Ketiga, tata
kelola pemerintahan tak semata soal aturan dan desain institusional, tetapi
juga politik. Di sini krusialnya kepemimpinan presiden, mendagri, hingga para
gubernur mengelola relasi dengan 500 bupati/wali kota. Komunikasi politik,
partisipasi, dan dialog inklusif, serta transparansi kebijakan nasional
menjadi penentu langgam pemerintahan ke depan. Realitas politik lokal majemuk
(asimetris), termasuk pembelahan kubu (koalisi) nasional yang berimbas ke
ranah lokal, bisa bergerak liar jika jalan keras regulasi tak secara cermat
berkombinasi dengan negosiasi, fasilitasi, dan usaha lainnya.
Relasi
pusat-daerah mungkin akan memasuki babak baru, ruang otonomi boleh jadi
menciut. Namun kebutuhan berotonomi yang efektif dan akuntabel mesti bergayut
dengan cara-cara normal dalam tata desentralisasi. Seni mengelola hubungan,
mungkin juga ketegangan yang ada, jadi titik uji tersendiri bagi mimpinan
Jokowi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar