Demokrasi
dan Ekonomi yang Keropos
M Fajar Marta ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS, 06 Januari 2015
TINGKAT
kematangan demokrasi dan kemajuan ekonomi suatu negara biasanya berbanding
terbalik dengan tingkat korupsinya. Artinya, semakin matang demokrasi atau
semakin bagus perekonomian suatu negara, maka semakin bersih negara itu dari
penyakit korupsi. Negara maju yang sangat demokratis, seperti Denmark,
Selandia Baru, Singapura, dan Swiss, dikenal sebagai negara-negara zero
corruption atau memiliki tingkat korupsi yang rendah. Sebaliknya,
negara-negara otoriter dan terkungkung dalam konflik, seperti Sudan,
Afganistan, Korea Utara, dan Somalia, menjadi negara dengan tingkat korupsi
tertinggi.
Namun, di
Indonesia, hubungan demokrasi dan ekonomi dengan korupsi menunjukkan anomali.
Mengapa bisa demikian? Anomali itu tergambar dari perbandingan antara indeks
demokrasi dan indeks ekonomi dengan indeks korupsi.
Berdasarkan
indeks demokrasi dan indeks kinerja ekonomi dalam Bertelsmann Foundation
Transformation Index 2014, Indonesia berada di atas rata-rata dunia. Untuk
ranah demokrasi, terdapat sejumlah indikator yang disurvei, antara lain
administrasi negara, posisi tentara, partisipasi publik, kebebasan pemilu,
kebebasan berpendapat, pembagian kekuasaan, penegakan hukum, sistem
kepartaian, dan kelembagaan politik.
Adapun di
bidang ekonomi, indikator yang dinilai antara lain pertumbuhan output,
kebijakan anti monopoli, dan kestabilan makro ekonomi.
Skor
Indonesia untuk indeks demokrasi (0-100) adalah 70,5, sedangkan rata-rata
dunia 57,4. Adapun pada indikator kinerja ekonomi, Indonesia memperoleh skor
80, juga lebih tinggi dari rata-rata dunia yang sebesar 62.
Namun,
anehnya, pada Corruption Perception Index 2014 yang dirilis lembaga anti
korupsi global, Transparency International (TI), Indonesia hanya mendapatkan
skor 34 dalam rentang 0-100 (0 berarti sangat korup, dan 100 sangat bersih).
Skor Indonesia itu di bawah skor rata-rata dunia yang sebesar 43. Artinya,
tingkat korupsi di Indonesia masih amat tinggi.
Tidak hanya
Bertelsmann Foundation Transformation Index 2014 yang menyebutkan tingkat
demokrasi dan ekonomi Indonesia relatif bagus. Indeks Demokrasi Indonesia
(IDI) 2013 yang dirilis Badan Pusat Statistik juga menilai demikian. Skor IDI
tahun 2013 mencapai 63,72 (skala 0-100), naik 1,09 poin dibandingkan tahun
2012 yang sebesar 62,63.
Dalam IDI,
ada tiga aspek utama yang diukur, yakni kebebasan sipil, hak-hak politik, dan
lembaga-lembaga demokrasi. Indonesia tergolong memiliki lembaga demokrasi
yang lengkap, sebut saja pemerintah, parpol, pers, dewan perwakilan, dan
lembaga peradilan.
Terkait
hak-hak politik, rakyat sepenuhnya memiliki hak memilih atau dipilih. Pada
Pemilu 2014, tercatat sekitar 188 juta rakyat Indonesia terdaftar dalam
daftar pemilih tetap. Dari jumlah itu, 70 persen menggunakan hak pilihnya.
Indonesia
juga cukup bebas soal mengemukakan pendapat, termasuk kebebasan untuk
berdemonstrasi dan mengkritik kebijakan pemerintah.
Begitu pula
dalam bidang ekonomi. Membaiknya perekonomian Indonesia juga didukung fakta
secara kuantitatif.
Dalam lima
tahun terakhir, rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 6 persen.
Angka itu jauh di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi dunia yang hanya 2,5
persen. Menurut ekonom Ryan Kiryanto, pertumbuhan ekonomi Indonesia merupakan
salah satu yang tertinggi di dunia.
Sekretaris
Jenderal Transparency International Indonesia Dadang Trisasongko mengatakan,
anomali hubungan antara demokrasi dan korupsi atau ekonomi dan korupsi
menandakan perkembangan demokrasi dan ekonomi di Indonesia tergolong rapuh
atau keropos.
Pertumbuhan
ekonomi yang tinggi dan melonjaknya produk domestik bruto juga tidak
meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Pertumbuhan ekonomi
hanya dinikmati kalangan menengah atas, sedangkan rakyat kalangan bawah
justru bertambah miskin.
Dilihat dari
Gini Ratio, yakni metode perhitungan mengenai kesenjangan pendapatan, angka
Indonesia cenderung meningkat. Semakin tinggi Gini Ratio, semakin lebar
jurang kesenjangan antarmasyarakat. Pada tahun 2013, Gini Ratio Indonesia
mencapai 0,41 (skala 0-1), naik dibandingkan lima tahun lalu yang sebesar
0,35.
Meskipun
perekonomian Indonesia dipuji berbagai kalangan, faktanya investor di sektor
riil masih berpikir berkali-kali untuk berinvestasi di Indonesia.
Dalam survei
Doing Business 2015 yang dirilis World Bank, Indonesia berada di posisi 114
dari 189 negara dengan skor 59,15 dalam skala 0-100.
Indonesia
dinilai masih buruk dalam beberapa hal, seperti lamanya proses pemberian
izin, perlindungan usaha, dan administrasi pertanahan.
Sementara
itu, demokrasi Indonesia banyak disebut sebagai demokrasi transaksional atau
demokrasi yang digerakkan oleh uang. Uang menjadi sumber utama bagi kekuasaan
politik untuk memenangkan atau mempertahankan kekuasaan. Karena distribusi
uang tidak merata, kekuasaan juga tidak merata dalam masyarakat. Ini persis
dikatakan Karl-Heinz Nassmacher dalam bukunya Foundation for Democracy (2001).
Akibat
politik uang, kekuasaan tidak dijalankan dengan tawadu untuk kepentingan
rakyat, seperti dipaparkan dalam buku Bureaucracy:
Servant or Master? karya Liat Niskanen (1973).
Politik
transaksional tampak jelas dalam pesta demokrasi saat Pemilu 2014, seperti
dilaporkan Indonesia Corruption Watch
(ICW). Transaksi membeli suara rakyat dilakukan dalam berbagai modus, seperti
pemberian uang, barang, dan jasa.
Selama Pemilu
2014, ICW menemukan 313 pelanggaran, terdiri dari 104 kasus pemberian uang,
128 kasus pemberian barang, 27 kasus pemberian jasa, dan 54 kasus penggunaan
sumber daya manusia. Jumlah uang yang diberikan Rp 25.000-Rp 200.000 per
orang. Adapun barang yang diberikan mulai dari pakaian, bahan pokok, bahan
bangunan, hingga pembangunan fasilitas umum.
Politik
transaksional tersebut dilakukan baik oleh partai politik maupun politisi
yang bertarung memperebutkan kursi kekuasaan di legislatif dan eksekutif.
Menurut Dadang, keroposnya demokrasi dan ekonomi tersebut terjadi karena
korupsi, terutama korupsi politik, amat marak di Indonesia.
Berdasarkan
data yang dihimpun ICW, kasus korupsi cenderung meningkat. Pada tahun 2013,
kasus korupsi di Indonesia mencapai 560 kasus, naik dibandingkan tahun 2012
yang sebanyak 402 kasus. Selama semester I-2014, jumlah kasus korupsi
mencapai 308 kasus.
Khusus untuk
penyidikan kasus korupsi yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
jumlahnya juga meningkat dari 48 kasus pada tahun 2012 menjadi 70 kasus pada
tahun 2013. Hingga November 2014, kasus korupsi yang disidik KPK sudah
mencapai 52 kasus.
Yoshihara
Kunio dalam Ersatz Capitalism menyebut Indonesia sebagai lahan subur
berkembangnya hubungan politico-business yang kemudian menjadi korupsi
politik. Politico-business sinonim dengan patronase democracy, yakni hubungan
antara orang yang memegang jabatan politik dan orang yang memiliki kekayaan
dan kepentingan bisnis. Pelaku bisnis memberikan dana kepada pejabat agar
menggunakan wewenang dan pengaruhnya untuk menguntungkan pelaku bisnis.
Korupsi politik menjadi sumber dari segala korupsi.
Indonesia
sebenarnya memiliki potensi besar untuk cepat matang dalam berdemokrasi dan
juga menerobos jajaran negara-negara maju. Namun, korupsi telah menciptakan
gelembung sehingga demokrasi dan perekonomian Indonesia tampak keropos. Jika
korupsi dibiarkan, kehancuran demokrasi dan ekonomi tinggal menunggu waktu.
Upaya KPK
dalam memberantas dan mencegah korupsi sudah on the track. Namun, KPK tidak
bisa sendirian. Butuh sinergi dari seluruh komponen bangsa untuk
menghancurkan korupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar