Rabu, 07 Januari 2015

Demokrasi dan Ekonomi yang Keropos

Demokrasi dan Ekonomi yang Keropos

M Fajar Marta  ;  Wartawan Kompas
KOMPAS,  06 Januari 2015

                                                                                                                       


TINGKAT kematangan demokrasi dan kemajuan ekonomi suatu negara biasanya berbanding terbalik dengan tingkat korupsinya. Artinya, semakin matang demokrasi atau semakin bagus perekonomian suatu negara, maka semakin bersih negara itu dari penyakit korupsi. Negara maju yang sangat demokratis, seperti Denmark, Selandia Baru, Singapura, dan Swiss, dikenal sebagai negara-negara zero corruption atau memiliki tingkat korupsi yang rendah. Sebaliknya, negara-negara otoriter dan terkungkung dalam konflik, seperti Sudan, Afganistan, Korea Utara, dan Somalia, menjadi negara dengan tingkat korupsi tertinggi.

Namun, di Indonesia, hubungan demokrasi dan ekonomi dengan korupsi menunjukkan anomali. Mengapa bisa demikian? Anomali itu tergambar dari perbandingan antara indeks demokrasi dan indeks ekonomi dengan indeks korupsi.

Berdasarkan indeks demokrasi dan indeks kinerja ekonomi dalam Bertelsmann Foundation Transformation Index 2014, Indonesia berada di atas rata-rata dunia. Untuk ranah demokrasi, terdapat sejumlah indikator yang disurvei, antara lain administrasi negara, posisi tentara, partisipasi publik, kebebasan pemilu, kebebasan berpendapat, pembagian kekuasaan, penegakan hukum, sistem kepartaian, dan kelembagaan politik.

Adapun di bidang ekonomi, indikator yang dinilai antara lain pertumbuhan output, kebijakan anti monopoli, dan kestabilan makro ekonomi.

Skor Indonesia untuk indeks demokrasi (0-100) adalah 70,5, sedangkan rata-rata dunia 57,4. Adapun pada indikator kinerja ekonomi, Indonesia memperoleh skor 80, juga lebih tinggi dari rata-rata dunia yang sebesar 62.

Namun, anehnya, pada Corruption Perception Index 2014 yang dirilis lembaga anti korupsi global, Transparency International (TI), Indonesia hanya mendapatkan skor 34 dalam rentang 0-100 (0 berarti sangat korup, dan 100 sangat bersih). Skor Indonesia itu di bawah skor rata-rata dunia yang sebesar 43. Artinya, tingkat korupsi di Indonesia masih amat tinggi.

Tidak hanya Bertelsmann Foundation Transformation Index 2014 yang menyebutkan tingkat demokrasi dan ekonomi Indonesia relatif bagus. Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) 2013 yang dirilis Badan Pusat Statistik juga menilai demikian. Skor IDI tahun 2013 mencapai 63,72 (skala 0-100), naik 1,09 poin dibandingkan tahun 2012 yang sebesar 62,63.

Dalam IDI, ada tiga aspek utama yang diukur, yakni kebebasan sipil, hak-hak politik, dan lembaga-lembaga demokrasi. Indonesia tergolong memiliki lembaga demokrasi yang lengkap, sebut saja pemerintah, parpol, pers, dewan perwakilan, dan lembaga peradilan.

Terkait hak-hak politik, rakyat sepenuhnya memiliki hak memilih atau dipilih. Pada Pemilu 2014, tercatat sekitar 188 juta rakyat Indonesia terdaftar dalam daftar pemilih tetap. Dari jumlah itu, 70 persen menggunakan hak pilihnya.

Indonesia juga cukup bebas soal mengemukakan pendapat, termasuk kebebasan untuk berdemonstrasi dan mengkritik kebijakan pemerintah.

Begitu pula dalam bidang ekonomi. Membaiknya perekonomian Indonesia juga didukung fakta secara kuantitatif.

Dalam lima tahun terakhir, rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 6 persen. Angka itu jauh di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi dunia yang hanya 2,5 persen. Menurut ekonom Ryan Kiryanto, pertumbuhan ekonomi Indonesia merupakan salah satu yang tertinggi di dunia.

Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia Dadang Trisasongko mengatakan, anomali hubungan antara demokrasi dan korupsi atau ekonomi dan korupsi menandakan perkembangan demokrasi dan ekonomi di Indonesia tergolong rapuh atau keropos.

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan melonjaknya produk domestik bruto juga tidak meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati kalangan menengah atas, sedangkan rakyat kalangan bawah justru bertambah miskin.

Dilihat dari Gini Ratio, yakni metode perhitungan mengenai kesenjangan pendapatan, angka Indonesia cenderung meningkat. Semakin tinggi Gini Ratio, semakin lebar jurang kesenjangan antarmasyarakat. Pada tahun 2013, Gini Ratio Indonesia mencapai 0,41 (skala 0-1), naik dibandingkan lima tahun lalu yang sebesar 0,35.

Meskipun perekonomian Indonesia dipuji berbagai kalangan, faktanya investor di sektor riil masih berpikir berkali-kali untuk berinvestasi di Indonesia.

Dalam survei Doing Business 2015 yang dirilis World Bank, Indonesia berada di posisi 114 dari 189 negara dengan skor 59,15 dalam skala 0-100.

Indonesia dinilai masih buruk dalam beberapa hal, seperti lamanya proses pemberian izin, perlindungan usaha, dan administrasi pertanahan.

Sementara itu, demokrasi Indonesia banyak disebut sebagai demokrasi transaksional atau demokrasi yang digerakkan oleh uang. Uang menjadi sumber utama bagi kekuasaan politik untuk memenangkan atau mempertahankan kekuasaan. Karena distribusi uang tidak merata, kekuasaan juga tidak merata dalam masyarakat. Ini persis dikatakan Karl-Heinz Nassmacher dalam bukunya Foundation for Democracy (2001).

Akibat politik uang, kekuasaan tidak dijalankan dengan tawadu untuk kepentingan rakyat, seperti dipaparkan dalam buku Bureaucracy: Servant or Master? karya Liat Niskanen (1973).

Politik transaksional tampak jelas dalam pesta demokrasi saat Pemilu 2014, seperti dilaporkan Indonesia Corruption Watch (ICW). Transaksi membeli suara rakyat dilakukan dalam berbagai modus, seperti pemberian uang, barang, dan jasa.

Selama Pemilu 2014, ICW menemukan 313 pelanggaran, terdiri dari 104 kasus pemberian uang, 128 kasus pemberian barang, 27 kasus pemberian jasa, dan 54 kasus penggunaan sumber daya manusia. Jumlah uang yang diberikan Rp 25.000-Rp 200.000 per orang. Adapun barang yang diberikan mulai dari pakaian, bahan pokok, bahan bangunan, hingga pembangunan fasilitas umum.

Politik transaksional tersebut dilakukan baik oleh partai politik maupun politisi yang bertarung memperebutkan kursi kekuasaan di legislatif dan eksekutif. Menurut Dadang, keroposnya demokrasi dan ekonomi tersebut terjadi karena korupsi, terutama korupsi politik, amat marak di Indonesia.

Berdasarkan data yang dihimpun ICW, kasus korupsi cenderung meningkat. Pada tahun 2013, kasus korupsi di Indonesia mencapai 560 kasus, naik dibandingkan tahun 2012 yang sebanyak 402 kasus. Selama semester I-2014, jumlah kasus korupsi mencapai 308 kasus.

Khusus untuk penyidikan kasus korupsi yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), jumlahnya juga meningkat dari 48 kasus pada tahun 2012 menjadi 70 kasus pada tahun 2013. Hingga November 2014, kasus korupsi yang disidik KPK sudah mencapai 52 kasus.

Yoshihara Kunio dalam Ersatz Capitalism menyebut Indonesia sebagai lahan subur berkembangnya hubungan politico-business yang kemudian menjadi korupsi politik. Politico-business sinonim dengan patronase democracy, yakni hubungan antara orang yang memegang jabatan politik dan orang yang memiliki kekayaan dan kepentingan bisnis. Pelaku bisnis memberikan dana kepada pejabat agar menggunakan wewenang dan pengaruhnya untuk menguntungkan pelaku bisnis. Korupsi politik menjadi sumber dari segala korupsi.

Indonesia sebenarnya memiliki potensi besar untuk cepat matang dalam berdemokrasi dan juga menerobos jajaran negara-negara maju. Namun, korupsi telah menciptakan gelembung sehingga demokrasi dan perekonomian Indonesia tampak keropos. Jika korupsi dibiarkan, kehancuran demokrasi dan ekonomi tinggal menunggu waktu.

Upaya KPK dalam memberantas dan mencegah korupsi sudah on the track. Namun, KPK tidak bisa sendirian. Butuh sinergi dari seluruh komponen bangsa untuk menghancurkan korupsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar