Jurnalisme
Air Mata, Jurnalisme Tak Beretika
Redi Panuju ; Pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Dr Soetomo, Surabaya;
Komisioner Komisi Penyiaran
Indonesia Daerah (KPID) Jawa Timur
|
KOMPAS, 06 Januari 2015
PERISTIWA
jatuhnya pesawat AirAsia, 28 Desember 2014, hingga 10 hari kemudian, pemirsa
televisi di Indonesia disuguhi menu berita nestapa. Awak media seolah tak
peduli efek kenestapaan pada isi pesan yang membuat penonton menjadi trauma. Dalam
bingkai (framing) industri sebagai
media, yang penting bagaimana membuat berita sebagai tontonan yang bisa
menyedot pemirsa sebanyak mungkin. Adapun soal efek dianggap menjadi hal yang
lain di luar kuasa media. Itu soal selera, kedewasaan individu, selektivitas
menonton, dan sejenisnya.
Maka,
peristiwa tewasnya lebih dari seratus penumpang AirAsia itu dieksplorasi dari
pelbagai sudut agar bisa terus bersambung, seperti halnya sinetron yang
bahkan sering dipaksakan serialnya untuk memenuhi hasrat penonton. Nestapa
musibah AirAsia memenuhi unsur-unsur untuk dapat dirangkai menjadi ”cerita”
yang menakjubkan. Ia bisa merangsek ke dimensi sisi pilu manusia (human
interest), kebijakan publik di bidang kedirgantaraan, ilmu aerodinamika,
bahkan bisa berkembang menjadi bernuansa politik.
Mengonstruksi nestapa
Tak heran
jika dalam peristiwa ini banyak pejabat publik, pusat dan daerah, menyibukkan
diri ”unjuk muka” di area yang padat dengan sorotan kamera ataupun
menyempatkan diri bertandang ke rumah ”korban” semata-mata agar terliput awak
media. Bahkan, ada seorang wali kota, yang tahun depan habis masa baktinya,
rela tidur di lokasi crisis center dengan wajah yang tampak kuyu dan berulang
menyeka air mata ketika kamera membidik ke arahnya.
Setidaknya,
Erving Goffman (1922-1982), sosiolog kelahiran Kanada yang populer di
Amerika, menyatakan, realitas adalah buah dari konstruksi manusia. Sebuah
peristiwa bisa memiliki makna berbeda-beda tergantung dari bagaimana manusia
itu mengarahkan perhatiannya pada obyek, cara berpikir, dan bahkan
kepentingannya. Dalam asumsi industri media, berita identik dengan komoditas.
Karena itu, semua konstruksi yang dilakukan berkaitan dengan masalah ”laku
atau tidak laku” dijual di pasar. Kerja kreatif jurnalistik dipaksa untuk
menggeser orientasi manfaatnya bagi publik menjadi orientasi daya tariknya.
Nilai berita dipaksa menjadi nilai jual.
Danang Sangga
Buwana (2014) menengarai, dalam suatu bingkai pemberitaan selalu ada pihak
yang diafirmasi (ditonjolkan) dan ada yang dinegasi (disingkirkan). Bagi
pihak yang diafirmasi, maka dimunculkan kesan empati, asosiasi, serta
serangkaian keunggulan dan kebaikan. Sebaliknya, pihak yang dinegasi akan
dimunculkan stigmatis.
Dalam kasus
jatuhnya AirAsia QZ 8501 itu, banyak pihak yang diafirmasi, antara lain Badan
SAR Nasional yang di-”besarkan”- (blow-up) sebagai badan penanggulangan
bencana terbaik di dunia dan pejabat-pejabat publik yang tampak sibuk
(responsif). Sementara pihak yang dinegasi adalah maskapai AirAsia.
Pemberitaan
yang berlangsung secara deret ukur itu dapat membentuk generalisasi negatif
(stigma) bahwa AirAsia termasuk jasa penerbangan yang kurang aman. Dalam
konteks marketing, hal ini akan menggerogoti kepercayaan publik,
dan—sebagaimana kisah Adam Air—bisa membuat bangkrut perusahaan ini.
Tuntutan
mengonstruksi nestapa menjadi cerita bersambung sangat mungkin menggelitik
para jurnalis untuk mengembangkan isu-isu yang dapat memperkuat stigma
tersebut. Sempat muncul blow-up isu
tentang pemakaian narkoba oleh seorang pilot AirAsia di Denpasar, Bali.
Meskipun hal itu ada faktanya karena dilansir oleh Dinas Perhubungan Bali
atas hasil tes urine sang pilot, sebetulnya tak ada hubungannya sama sekali
dengan peristiwa jatuhnya QZ 8501. Pilot yang dimaksud bukan pilot atau
kopilot QZ 8501. Apabila manajemen public relations AirAsia kurang sigap, konstruksi berita
seperti ini bisa menjadi api dalam sekam yang akan membakar kepercayaan
publik.
Pilot juga
mulai disisir menjadi pihak yang dinegasi. Misalnya, dengan berita dugaan
mengabaikan laporan cuaca.
Pihak lain
yang dinegasi adalah keluarga korban. Sempat jadi perbincangan masyarakat
maya (media daring) protes terhadap tayangan salah satu stasiun TV berita
yang mengekspos salah satu korban dalam keadaan nestapa. Memang itu fakta,
tetapi tak semua fakta layak dikonsumsi publik karena dapat menyinggung
masalah privasi individu. Keluarga korban makin tersayat hatinya menyaksikan
tayangan ”ekstrem” tersebut. Karena itu, ketika istri Kapten Iriayanto
ditanya wartawan bagaimana kabarnya, ia menjawab: ”Matikan TV, hati menjadi tenang!”
Jurnalisme beretika
Kini saatnya
kita pikirkan sebuah kerja jurnalistik yang beretika. Ketika sebuah
konstruksi fakta dirajut, sesungguhnya banyak kepentingan terhimpun di
dalamnya. Dalam kasus peliputan bencana, orientasi pada layanan informasi
yang akurat dan menarik memang sebuah keniscayaan, tetapi hendaknya ada
filter pra ekspose untuk melindungi kepentingan publik dari kemungkinan efek
traumatik. Juga perlindungan kepada keluarga korban agar tidak makin tersayat
kepiluannya. Etika itu menyangkut bagaimana menghargai perasaan orang lain.
Eksploitasi
terhadap isu jadi negasi terhadap
pihak tertentu sehingga makin meluaskan konteks sesungguhnya berpeluang
menciptakan peluang kejenuhan, yang menyebabkan publik menghindari informasi.
Masalahnya, apakah hal semacam ini sempat terpikirkan oleh manajemen media? Entahlah! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar