Mewujudkan
Masa Depan
Daoed Joesoef ; Alumnus Universite Pluridisciplinaires
Pantheon-Sorbonne
|
KOMPAS,
20 Januari 2015
PESTA kembang
api sudah menjadi kebiasaan umum untuk memperingati peralihan tahun. Di
kalangan negara-bangsa maju sudah lama ada kebiasaan tambahan lain sebagai
peringatan umum memasuki ambang tahun mendatang.
Pada saat
itu, presiden atau perdana menteri berpidato yang memaparkan langkah-langkah
prospektif guna mewujudkan masa depan. Mau tidak mau masa mendatang itu harus
ditempuh, bukan dengan pasrah, melainkan dengan tekad yang berperhitungan.
Di Indonesia
perbuatan kenegarawanan yang bersifat begitu didaktis-konstruktif belum
pernah dilakukan oleh presiden yang berfungsi sekaligus sebagai kepala negara
dan kepala pemerintahan. Hal ini kelihatannya juga tidak dikeluhkan oleh
insan Indonesia, termasuk lapisan warganya yang terdidik. Sikap mereka
mengesankan bahwa hal itu bukan merupakan suatu kekurangan
intelektual-politis yang fundamental.
Bagi manusia
individual, sikap tersebut masih layak diterima. Terima saja masa depan
sebagai takdir Ilahi, ono dino ono upo, que sera sera, what will be will be.
Atau kalau toh mau tahu, kunjungi saja juru ramal. Konon sejumlah politikus,
orang partai, menteri, dan pejabat diam-diam sering berkunjung ke juru ramal.
Peran penujum
Dunia di abad
ke-16 pernah mengenal seorang penujum Perancis, yaitu Nostradamus, nama
samaran dari Michel de Nostredame. Ramalannya ditulis dalam buku berjudul
Centuries. Memang tidak semuanya tepat, tetapi ada yang diakui terwujud,
berupa musibah berdarah di Nantes (1793), Revolusi Perancis, pergolakan
politik dan militer di kalangan bangsa Arab, di antaranya dipimpin oleh
seorang prince (Bin Laden?).
Kita juga
pernah punya penujum kondang, Ronggowarsito, pada 1860-an. Sama dengan
Nostradamus, dia menulis ramalan secara puitis. Ramalannya dianggap tepat
ketika menyebutkan pendudukan Jepang di Jawa hanya bersifat ”seumur jagung”
(jika dibandingkan dengan masa penjajahan Belanda). Tembang sinom astrologis
yang tertera dalam Serat Kolotidho dan sekarang sering dibicarakan adalah
mengenai zaman edan karena begitu terasa dan kasatmata dalam kehidupan kita
sehari-hari dewasa ini.
Selaku satu
bangsa, tidak adanya paparan prospektif di awal tahun baru seharusnya
dianggap sebagai suatu kekurangan nasional yang serius. Bangsa Indonesia
bukan hanya terdiri atas satu orang, melainkan juga dibentuk hampir 300-an
juta manusia dan disebut rakyat. Ia bukan sekadar sekumpulan makhluk yang
mengelompok secara sembarangan, tetapi suatu konsentrasi sejumlah besar orang
yang berasosiasi berdasar suatu kesepakatan tentang keadilan dan kemitraan
dalam usaha mewujudkan masa depan bersama yang lebih baik (beradab). Maka,
kebaikan bersama ini merupakan milik bersama dari rakyat. Asosiasi kerakyatan
berbentuk bangsa ini terjadi bukan oleh kelemahan individual, tetapi karena
suatu spirit sosial tertentu yang ditanamkan oleh alam dalam diri manusia,
diri kita.
Jadi, rakyat
pantas diberi tahu langkah-langkah terencana yang akan ditempuh oleh penguasa
negara terpilih, berupa aneka kebijakan kondisional demi membentuk masa depan
bersama yang ideal. Berarti, alih-alih berkonsultasi kepada penujum, jauh
lebih baik jika kita bertekad membuat sendiri masa depan bersama itu.
Perbuatan ini bukan ingin meremehkan suratan takdir, tetapi menunjukkan
kepada Yang Maha Kuasa bahwa kita, makhluk ciptaan-Nya, memang mengopeni
nasib sendiri dengan menggunakan nalar (akal) yang Dia bekali. Kita anggap
sebagai suatu kekurangan fundamental jika tidak ada usaha penyusunan rencana
pembangunan nasional prospektif dan dipaparkan kepada rakyat pada waktu
tertentu yang dianggap penting, seperti di saat warga menggantungkan kalender
baru sebagai pengganti kalender lama.
Apabila kita
bertekad membuat sendiri masa depan itu, kita dituntut mengetahui
faktor-faktor yang membentuk masa depan tadi, guna dikombinasi agar
bersinergi dalam membuahkan hasil (masa depan) yang ideal. Adapun
faktor-faktor itu (i) kecenderungan; (ii) kejadian; (iii) kemauan dan
intelegensi manusia.
Mengenai ”kecenderungan”,
kita pernah lalai hingga dampak negatifnya terasa sampai sekarang di bidang
ekonomi. Internasionalisasi digerakkan oleh pembelajaran ilmu pengetahuan
dengan patut dan benar. Ia mengakibatkan a
boarderless world dan penerapan Western
industrialized civilization. Saya berusaha membenahi kampus menjadi
komunitas ilmiah sejati yang telah ditransformasi oleh para mahasiswa menjadi
bagian dari komunitas politik. Pembenahan ini dilakukan melalui kebijakan
”normalisasi kehidupan kampus” (NKK), tetapi gagal.
Jangankan
masyarakat, civitas academica saja pada umumnya tidak peduli dan pasrah,
berhubung korps mahasiswa ketika itu sudah dipahlawankan sebagai ”penyelamat
negara” dari cengkeraman rezim otoriter dan, karena itu, merajai kampus.
Hayati nilai ”human”
Padahal,
pembelajaran ilmu pengetahuan dengan benar akan membiasakan sang pelajar
menghayati nilai-nilai human yang diperlukan demokrasi, seperti dissent, originality, the habit of truth,
freedom of inquiry, thought, speech, dan tolerance, di samping memperkuat posisi tawar dan daya saing
dalam knowledge based economy
bawaan globalisasi. Akibatnya, globalisasi ini berjalan mulus dan liberal di
Indonesia. Globalisasi berfungsi bahwa orang-orang dari semua bangsa
berpartisipasi secara proaktif dalam kemajuan ilmu terapan dan diakui pantas
berbuat begitu di negara-negara terbelakang berkat kelebihan kemampuan
teknologinya tersebut. Kecenderungan kolonialisasi diganti dengan
kecenderungan pembentukan republik imperial dari negeri-negeri maju mantan
penjajah, yang mereduksi negeri-negeri yang baru merdeka menjadi sekadar
pemasok bahan baku dan pasar bagi produk industri manufakturnya.
Faktor
”kejadian” ada yang disebabkan oleh alam dan yang dicetuskan oleh ulah
manusia. Alam menimbulkan aneka musibah: gempa bumi, erupsi gunung berapi,
angin badai, tsunami. Namun, ia juga mengingatkan kita bahwa bagian bumi yang
kita huni adalah suatu archipelago, bukan negara kepulauan, melainkan negara
maritim, Tanah-Air, karena permukaan airnya tiga kali lebih luas daripada
jumlah permukaan tanah (pulau-pulau)-nya.
Kejadian
karena ulah manusia meliputi banjir, penyusutan humus penyubur tanah, dan
kerusakan ekosistem khas wilayah pesisir. Sejak Ferdinand Magellan menamakan
samudra luas yang ditemuinya Pacific (Lautan Teduh), manusia tidak pernah
berhenti mencari jalan-laut (sea-lanes)
di samudra. Tanah-Air kita menjadi ajang pelayaran global. Daerah pesisir
menjadi wilayah pemukiman dan kegiatan bisnis. Ekosistemnya terganggu karena
penangkapan ikan, transportasi maritim, aneka ragam industri berkonsentrasi
di situ. Limbah ditranspor melalui arus lautan dan dikonsumsi oleh plankton
(tumbuhan dan hewan) dan pada gilirannya dimakan oleh ikan dan selanjutnya
dikonsumsi oleh manusia. Sisa-sisa plankton mengakibatkan kenaikan
konsentrasi nitrat dan fosfat dalam air laut.
Namun, ada
kejadian ulah manusia yang mengukuhkan spirit kemerdekaan pemuda terpelajar
kita. Kemenangan telak perang laut, Jepang dan Rusia di Selat Tsushima pada
1905, menyadarkan bahwa Asia sanggup mengalahkan Eropa, asalkan
berpengetahuan yang sepadan. Pada 1908 sekumpulan mahasiswa kedokteran
membentuk Boedi Oetomo yang bertujuan menggerakkan upaya pendidikan modern,
disusul oleh man-made event lain, yaitu Soempah Pemoeda (1928).
Kemauan
merdeka itu ditindaklanjuti dengan intelegensi yang mumpuni. Indonesia
menjadi satu-satunya negara yang sewaktu masih dijajah sudah berani
mendirikan sistem pendidikan nasional, berhadapan dengan sistem pendidikan
kolonial (Belanda) yang berlaku. Perbuatan itu dipelopori oleh Ki Hadjar
Dewantara, Moh Syafei, dan Willem Iskandar. Semua ”sekolah nasional” itu
menyiapkan manusia Indonesia mewujudkan masa depan Tanah Air yang merdeka dan
berdaulat.
Sudah tentu
masih banyak lagi unsur dari setiap jenis faktor pembentuk masa depan yang
harus kita kumpulkan. Tek- nologi dan peralatan informasi dan komunikasi
supermodern memudahkan kita untuk mengumpulkan data yang diperlukan tersebut.
Menggambarkan
perwujudan masa depan yang mau kita bangun penting sekali bagi pembangunan yang
tepat-guna dari sistem pendidikan nasional sebab sektor pendidikan dan
kebudayaan ini merupakan faktor sangat penentu bagi keberhasilan usaha
mewujudkan masa depan. Karena itu, rencana pembangunan masa depan
dikualifikasi sebagai suatu kebijakan yang didaktis-konstruktif dan
ketidakadaannya merupakan suatu kekurangan intelektual-politis yang serius.
Negarawan di
negara-negara maju rata-rata menganggap hanya ada satu first question of government yaitu how should we live atau what kind of people do we want our citizen to
be? Sistem pendidikan dan kebudayaan nasionallah yang bertugas
menghasilkan jenis warga negara yang kita butuhkan itu. Tugas ini baru bisa
dipenuhi apabila pendidikan sudah tahu sebelumnya jenis masa depan apa yang
kita cita-citakan, yang menjadi ideal bersama yang kita sepakati. Bukan
tujuan pendidikan memproduksi ”manusia-kunci-inggris” sebagaimana yang
dimimpikan oleh Kurikulum 2013.
Manusia
adalah makhluk pembuat nilai dan pemberi makna pada nilai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar