Ponsel
di Penjara Kolonial
Ashadi Siregar ; Peneliti Media dan Pengajar Jurnalisme
|
KOMPAS,
20 Januari 2015
SEBUAH
artikel bergaya feature di rubrik Politik dan Hukum Kompas belum lama lalu
sungguh menarik. Ini mengenai Komisi Pemberantasan Korupsi yang inspeksi
mendadak rumah tahanan di bawah kewenangannya. Kembali berulang temuan,
tahanan menyimpan uang di atas jumlah yang diperbolehkan dan memiliki telepon
seluler.
Atas inspeksi
mendadak ini, beberapa tahanan KPK membuat surat keberatan yang ditujukan
kepada kepala rumah tahanan. Tahanan itu Anas Urbaningrum, Akil Mochtar, dan
nama-nama top lainnya. Begitu pun pengacara senior Adnan Buyung Nasution
bersuara keras (Kompas, 30 November
2014).
Baik
dikutipkan di sini: ”Dalam surat
keberatan itu dinyatakan, sejumlah larangan KPK terhadap tahanan ini lebih
buruk daripada pengelolaan tahanan di zaman penjajahan Belanda”.
Bahkan, Adnan
Buyung Nasution, yang juga merupakan pengacara Anas, menyatakan, perlakuan
KPK terhadap tahanan melanggar hak asasi manusia. Adnan Buyung Nasution
mengatakan, larangan-larangan yang diberlakukan KPK terhadap tahanannya,
seperti tak boleh membaca koran dan buku, lebih kejam daripada tindakan
pemerintah Orde Baru terhadap tahanan politik sekalipun. Dia kembali mengatakan,
KPK sebaiknya dibubarkan.
Soal batasan
banyaknya uang, bolehlah dipersoalkan. Mungkin inflasi membuat nilainya
semakin merosot. Adapun larangan membaca buku dan koran, hal itu dibantah
KPK. Tahanan boleh membaca koran dan membawa lima buku ke dalam sel. Tidak
jelas, apakah Adnan Buyung Nasution sungguh-sungguh memprotes soal baca koran
dan buku yang bersifat teknis atau memang secara fundamental bersikap untuk
membubarkan KPK, sebagai pendukung lanjutan slogan cicak lawan buaya. Jika
larangan membawa telepon seluler (ponsel) ke dalam sel tahanan disebut
sebagai pelanggaran hak asasi manusia, perlu dicermati sebab berasal dari
seorang tokoh yang biasa disapa Abang yang (pernah) menjadi panutan bagi
kalangan muda.
Korupsi di masa Kolonial
Anas Urbaningrum
dan Akil Mochtar seorang terdidik, tentulah mengetahui secara persis kondisi
penjara dan perlakuan pemerintah kolonial terhadap tahanan. Penjara berisi
tahanan kriminal dan politik, tahanan mana yang dianalogikan dengan diri
mereka sekarang? Sebagai sarjana yang mendalami ilmu politik (Anas) dan ilmu
hukum (Akil), punyakah referensi perihal tahanan korupsi di masa kolonial?
Jika ada koruptor di masa Hindia Belanda, tak pelak berasal dari dunia
birokrasi baik bangsa Belanda maupun elite pribumi.
Diingatkan
dengan masa kolonial oleh Anas dan teman-teman, hanya secuil perilaku korupsi
yang dapat dikisahkan. Adalah Eduard Douwes Dekker (1820- 1887), seorang
mantan pejabat tinggi Hindia Belanda, yang memaparkan perilaku korup pegawai
kolonial Belanda dan elite pribumi. Sebagai pejabat, dia berusaha memberikan
masukan kepada pemerintah agar memperbaiki sistem birokrasi yang busuk.
Namun, upayanya sia-sia, dia kembali ke negeri Belanda, hidup frustrasi, lalu
menulis novel Max Havelaar (1860), dengan memakai nama pena Multatuli.
Perilaku korupsi di novel itu dalam bahasa gaul sekarang akan dianggap cemen
jika dibandingkan dengan berkardus-kardus uang yang disita KPK dari pelaku
korupsi. Tetapi, betapapun ceteknya, di zaman itu sudah membuat pejabat yang
jujur mati nelangsa memikirkannya.
Kisah tahanan
kriminal masa kolonial sudah sering diungkapkan, bahkan bekas-bekasnya dapat
ditelusuri di Sawahlunto (Sumatera Barat), yaitu mengenai orang rantai
(harfiah) yang kerja paksa menggali batubara. Begitu pun tahanan politik di
masa penjajahan, dapat dibaca dalam memoar yang ditulis para pejuang dan para
pendiri republik.
Anas, Akil,
dan kawan-kawannya tidak sampai dirantai oleh KPK. Tidak terbayang tahanan
kerah putih kakinya diganduli besi sambil melinggis bumi. Dan kalau
menganalogikan diri dengan pejuang yang disekap oleh pemerintah kolonial,
duhai, luar biasa self-esteem-nya.
Perbandingan dengan masa kolonial perihal aturan larangan membawa ponsel ke
dalam sel boleh jadi anak zaman sekarang akan bilang, ”kejauhan oom...”.
Korupsi di masa Orde Baru
Tokoh
nasional Adnan Buyung Nasution rancu menganalogikan tahanan pelaku korupsi
dengan tahanan politik di masa Orde Baru. Kerancuan sang Abang mungkin saking
semangatnya ingin membubarkan KPK. Soalnya, tahanan politik (tapol) mana yang
dimaksudnya di masa Orde Baru. Ada tapol pada masa Orde Lama, sejumlah tokoh
nasional yang berseberangan dengan Presiden Soekarno. Berikutnya puluhan ribu
tapol ada di Pulau Buru dan penjara-penjara yang tersebar pasca 1965. Lalu
ada tapol para aktivis yang mengkritisi pemerintahan Soeharto sejak tahun
1970-an sampai menjelang lengsernya sang Presiden.
Bagaimana
mungkin mempersamakan tapol dengan pelaku korupsi? Kalau mau membandingkan,
coba ceritakan bagaimana korupsi dilakukan dan bagaimana perlakuan
pemerintahan Soeharto terhadap pelaku. Sang Abang agaknya bernostalgia dengan
permisifnya pemerintah sehingga korupsi mendapat taman yang nyaman di masa
Orde Baru.
Semoga
pembelajar hukum dan politik tidak tergelincir dengan licinnya logika sang
Abang. Dalam berbagai pelatihan jurnalisme untuk jurnalis, biasa disebutkan
sejumlah kejahatan luar biasa, yang dibedakan dari kejahatan sosial biasa.
Dalam menghadapi fakta kejahatan luar biasa, jurnalis tidak perlu menggunakan
standar pemberitaan konvensional seperti penyamaran identitas (hanya
mencantumkan inisial nama). Kategorinya adalah kejahatan HAM, kejahatan
korupsi, dan kejahatan seksual terhadap anak. Sepanjang kejahatan sudah
diproses oleh aparat, pers dapat memberitakan pelaku dengan identitas terang
dan lengkap. Di sini, pers dituntut menjalankan fungsi ethicizing dalam peran
kontrol sosialnya terhadap perilaku publik.
Korupsi
merupakan kejahatan luar biasa, itu sudah menjadi kesepakatan internasional.
PBB melalui Majelis Umum mengeluarkan sejumlah resolusi mulai tahun 2000 guna
memerangi korupsi. Dapat dibaca pertimbangan yang mendasari resolusi-resolusi
itu, yang menggambarkan perbuatan korupsi sebagai kejahatan luar biasa karena
menghancurkan suatu negara dengan pembusukan dalam kehidupan publik.
Dipenjarakannya
seseorang pada dasarnya untuk mengisolasi secara fisik dari masyarakat.
Ponsel adalah fenomena mutakhir untuk berkomunikasi tanpa batas. Lalu, apa
artinya pengisolasian fisik jika setiap tahanan boleh membawa ponsel secara
otonom?
Dengan
mereduksi korupsi analog dengan perbuatan mengkritisi pemerintah pada masa
Orde Baru, disengaja atau tidak, Abang mengajak publik untuk permisif
terhadap kejahatan luar biasa. Karena itu, tidak mengherankan jika ahli hukum
bersikap longgar terhadap kejahatan HAM, dan berikutnya kejahatan seksual
terhadap anak. Bangsa ini memang sedang berjalan ke titik nadir. Apakah
revolusi mentalnya Joko Widodo-Jusuf Kalla juga memasukkan soal ini sebagai
landasan keprihatinannya, dapat dilihat nanti. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar